Kawazu, kota di luar Tokyo, Februari 2016. Saya kehilangan fokus di dalam sebuah perjalanan keluarga. Bunga Sakura yang mulai bermekaran seolah kalah menarik dengan sebuah tawaran yang masuk lewat salah satu pesan Whatsapp yang diterima.
Pengirimnya adalah Anitha Silvia, seorang kawan asal Surabaya. Kami berurusan dalam beberapa hal. Yang kali ini kapasitasnya sebagai penyelenggara acara. Ia menawarkan kesempatan untuk AriReda bermain di Folk Music Festival, festival tahunan yang kali ini digelar di Malang. Tanggalnya hanya beberapa hari sebelum AriReda pergi untuk bermain di Makassar International Writer’s Festival.
Di Whatsapp group kami, ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan, “Kita terusin jadi tur apa?”
Sebelum Ari Malibu dan Reda Gaudiamo merespon, saya langsung mengeluarkan catatan kecil yang memang selalu ada di tas. Menyusun tanggal, mengecek jadwal penerbangan dan sejumlah hal mendasar yang berkaitan dengan urusan logistik pindah kota.
Waktu itu, api untuk mengorganisir sebuah perjalanan tur sedang besar-besarnya. Jika sebelumnya hanya sekedar keinginan, maka setelah mengikuti Radio of Rock Tour Serial 2 yang digelar RURUradio, ia bisa berubah menjadi sebuah aksi nyata. Terinspirasi ceritanya. Karena melihat sendiri, jadi bisa lebih paham bagaimana level feasibilitynya.
Coretan sembari menunggu sesi foto si ibu dan teman-temannya yang tidak selesai-selesai itu, akhirnya menghasilkan beberapa tanggal. Pembicaraan grup masih bergulir perkara mungkin atau tidaknya ini dilangsungkan. Tapi, saya langsung memberikan sebuah rancangan tanggal yang lebih detail. Di jendela lain aplikasi itu, saya menghubungi sejumlah teman untuk mengorganisir sejumlah pertunjukan tambahan.
Di akhir hari, rencana yang lebih detail sudah bisa dibagi via email. Lengkap dengan rancangan perjalanan dan sebuah pertunjukan kecil yang jadi kick off di kota kami, Jakarta.
Ari dan Reda punya reaksi yang berbeda. Reda lebih meluap-luap, sementara Ari cenderung kalem menanggapi kemungkinan yang menyenangkan ini. Plus, Reda harus mengecek jadwal cutinya di kantor. Mengingat kami masih punya beberapa rencana besar lainnya, bermain-main dengan hitungan cuti ini mutlak dilakukan. Ia lumayan pintar mengakalinya.
Beberapa hari kemudian, rencana menjadi final. Kami akan pergi tur, bertiga; AriReda dan saya. Mereka bernyanyi dan berinteraksi dengan orang di jalanan, sementara saya akan mengurus tetek bengek lainnya. Klop.
Nama pun ketemu: Still Crazy After All These Years Tour 2016.
Nama itu dicuri dari salah satu judul album sekaligus lagu milik Paul Simon. Idenya dari saya dan langsung diamini oleh keduanya. Tumben. Biasanya suka mentah. Haha. Kalimat itu rasanya cocok untuk menanggap bagaimana energi yang mereka miliki sebagai musisi. Walaupun konteks lagunya tidak begitu.
Energi yang besar itu, benar-benar menjadi bensin dari semua rencana perjalanan ini. Tidak ada yang lain.
***
“Kami ada di fase yang ‘sekarang atau tidak sama sekali, Lix,’” kata Reda beberapa hari setelah mereka menyelesaikan tur tanpa rencana matang ke Eropa di kuartal terakhir 2015 yang lalu. Saya ingat sekali pembicaran itu.
Tur tanpa rencana itu terjadi karena ada celah. AriReda diajak bermain di Frankfurt Book Fair 2015 dan diberikan dua buah jadwal main dengan jeda waktu lima hari. Ketika ditanyakan ke penyelenggara, harus melakukan apa dalam interval jeda itu, mereka dipersilakan melakukan apapun, seenak-enaknya.
“Ya sudah, kami menghubungi beberapa kenalan di sejumlah kota. Nanya apakah bisa main ke kota mereka dan bikin pertunjukan. Ternyata gayung bersambut,” lanjut Reda lagi.
Akhirnya, mereka berhasil menggelar tur pendek dengan total tujuh pertunjukan. Pindah kota dilakukan nyaris tiap hari. Dan ongkos hidup disumbang oleh penjualan cd.
“Kami bawa seratus dua puluh cd dan tinggal sisa sepuluh. Duit itulah yang akhirnya bisa dipakai untuk ongkos operasional dan pindah kota,” repetnya lagi.
Tur mandiri bin kepepet tanpa nama itu adalah pengalaman pertama mereka pergi tur. Ya, bersama-sama selama lebih dari tiga puluh tahun, ternyata tidak memberikan banyak pengalaman tur untuk mereka.
Tapi ada militansi di sana. Itu yang tidak pernah bisa disembunyikan dari raut wajah keduanya.
Yang disebut Reda “Sekarang atau tidak sama sekali” adalah pertarungan dengan waktu. Ia berusia lima puluh empat, Ari lebih tua dua tahun. Tidak banyak lagi waktu tersisa untuk bisa memulai karir musikal di pasar yang lebih variatif. Keberanian untuk mereset semua dari awal dan menjalankan perjalanan dari fase dasar adalah sesuatu hal yang sangat berharga. Mereka memiliki itu.
Sejak saat itu, kami jadi intens untuk berkomunikasi, menyusun rencana-rencana. Saya berjanji pada diri sendiri untuk terlibat di dalam rencana-rencana besar mereka.
“Gue pengen AriReda menemukan pendengar yang baru, mereka yang muda dan nggak punya singgungan dengan kami di kampus dulu. Dan gue pengen jalan-jalan main musik,” ujar Reda beberapa waktu kemudian.
Dua keinginan itu –juga mewakili Ari— jadi benang merah banyak kegiatan yang terjadi di antara kami beberapa bulan kemudian, sampai hari ini.
“Tapi, one step at a time ya,” timpal saya. Saya tertarik, tapi sadar bahwa berurusan dengan orang yang relatif baru untuk urusan pekerjaan adalah sebuah fase yang harus dijalani dengan hati-hati. Jangan sampai faktor bersenang-senangnya hilang.
Kami mulai berkolaborasi; AriReda membuka penampilan Frau di dua pertunjukan Konser Tentang Rasa di Jakarta dan seri pertama Bermain di Cikini di Teater Kecil TIM adalah salah dua yang pertama. Ternyata kerjasamanya menarik. Karena sempat masuk ke dapur, ada sebuah fakta yang sangat mengesankan; AriReda bisa menjual rekaman dengan mudah ketika mereka main langsung di depan orang banyak.
Di dua pertunjukan Konser Tentang Rasa, kami menjual delapan puluh lima cd. Di Bermain di Cikini, selama dua pertunjukan, kami menjual nyaris tiga ratus cd. Luar biasa besar angkanya. Dan itu terus berulang. Band ini bisa hidup dengan menjual karyanya. Yang terjadi tur Eropa itu, ternyata bisa diulang dengan baik. Kalau di rata-rata, setiap pertunjukan, kami bisa menjual 40-50 cd sekaligus.
Serangkaian fakta tersebut, akhirnya menguatkan kami untuk menggulirkan ide tur yang gila ini. Setelah diatur-atur, sepanjang interval 13-19 Mei 2016, kami akan memainkan tujuh pertunjukan. Hampir setiap hari harus berpindah, termasuk mengambil sejumlah jalur perjalanan yang tidak biasa. Misalnya saja, Jogja-Denpasar, Denpasar-Makassar atau Surabaya-Jogja. Kalau tidak gara-gara tur, mungkin kami tidak pernah menjalani perjalanan di rute-rute tersebut.
Saya sebagai orang ketiga, sebenarnya hanya menjawab. Mereka yang jauh lebih tua secara jeroan saja berani, kenapa saya tidak berani merespon? Dari sinilah ketahuan bahwa Ari dan Reda tidak pernah tua. Mereka punya nyali untuk memperjuangkan musik yang mereka percaya bisa membawa petualangan-petualangan baru ke dalam karir duo ini.
Yes, jadi, Still Crazy After All These Years Tour 2016 akan dijalankan dengan jadwal sebagai berikut:
Jumat, 13/5 – Jakarta, Coffeewar
Sabtu, 14/5 – Malang, Folk Music Festival 2016
Minggu, 15/5 – Surabaya, C20 Library (*)
Senin, 16/5 – Jogjakarta, Kedai Kebun Forum
Selasa, 17/5 – Denpasar, Teras Gandum at Rumah Sanur
Rabu, 18/5 – Makassar, Makassar International Writer’s Festival 2016
Kamis, 19/5 – Makassar, Makassar International Writer’s Festival 2016
(*) Masih dalam konfirmasi final
Ini bisa dibilang tur mandiri dengan bantuan orang-orang tersayang yang telah berjaringan selama beberapa tahun terakhir. Beberapa harus diyakinkan bahwa kami tidak punya masalah sama sekali untuk main di depan jumlah penonton yang tidak besar, misalnya 50-100 orang.
Kami sangat menyadari bahwa AriReda adalah pendatang baru yang memang harus menjalani fase awal untuk berkenalan dengan publik-publik lokal di sana yang biasanya hanya berinteraksi lewat internet. Jika memang punya keinginan untuk membuat pertunjukan yang lebih besar, tahapannya belum sekarang. Kami juga sejujurnya tidak punya rencana untuk menggarap sesuatu yang besar tahun ini. Seperti sudah disinggung di atas, ada beberapa rencana lain yang memang harus dijalankan. Energi harus dikeluarkan dengan bijak. Jangan semuanya dikejar di saat yang bersamaan.
Toh, ketika menjalaninya, tetap akan banyak letupan kecil yang disiapkan. Nantinya, di setiap pertunjukan, kami akan menjual seluruh rekaman yang telah dihasilkan oleh AriReda. Termasuk merilis Tour EP yang memang khusus dicetak sebanyak lima ratus keping di tur ini.
EP itu berisi empat buah lagu yang belum pernah dirilis sebelumnya di kedua album yang telah dihasilkan AriReda. Ia tidak akan dijual di toko dan baru akan dijual online selepas tur berakhir. Cara mendapatkannya ya dengan datang ke pertunjukan kami. Harganya masuk di akal kok. Saya, kemungkinan besar, akan ada di setiap lapak yang kami buka di venue pertunjukan.
Selain EP, kami juga punya sejumlah merchandise yang memang sering ada di berbagai macam pertunjukan AriReda. Termasuk kaos tur. Saya agak tidak nyaman bilang ini, tapi, seluruh pembelian terhadap merchandise dan rekaman yang kami produksi, dengan sendirinya membantu rencana-rencana liar kami dijalankan.
Jangan khawatir. Tonton dulu bandnya, baru kemudian beli produknya. Biar tahu dengan jelas apa yang akan dibeli. Hehe.
***
Seorang teman bilang kami bertiga gila. Karena jadwalnya tidak dikasih jeda antar satu kota dengan kota yang lain. Dan kalaupun ada waktu istirahat, itu baru terjadi di hari-hari terakhir tur.
Mungkin penjelasan akan termin gila yang dia ungkapkan itu karena memang tidak banyak orang yang berani menjalankan perjalanan model begini. Padahal, perhitungannya sudah lumayan cermat.
Ini saya kasih sedikit rahasianya:
1. Hampir semua perjalanan terjadi di interval pukul 06.00-09.00 pagi
2. Durasi perjalanan paling jauh adalah enam jam, menggunakan kereta api
3. Moda transportasi yang dipilih kebanyakan pesawat terbang
4. Seluruh waktu pertunjukan berlangsung sekitar pukul 20.00 waktu kota setempat
5. Malam akan berakhir untuk kami pukul 22.30 setiap harinya
Nah, keteraturan jadi kunci. Sekarang masalahnya adalah bagaimana membuat seluruh orang –kami bertiga— jadi morning person. Sekalinya ritme itu ketemu, sudah barang tentu semuanya terbuka dan tinggal dijalani saja.
Sesampainya di kota pertunjukan juga agendanya cenderung santai. Sebisa mungkin, kami menghindari agenda di luar poros venue-penginapan. Lebih baik waktu menunggu dijadikan kesempatan untuk istirahat. Fokus.
So, here we are, in the edge of running our own tour. Dan ini bukan yang terakhir. Rasanya, kami bertiga sepakat bahwa pergi tur bisa membawa faedah untuk orang banyak; bagi yang menjalaninya, bagi yang dikunjungi dan bagi mereka yang hanya bisa menyimak dari jauh.
Jangan dulu bertanya kenapa kota A tidak dikunjungi dan kota B dikunjungi. Tur ini bukan akhir segalanya, ia malah sebuah awalan. Bisa jadi, kami akan sering tur dan bersenang-senang dengan orang banyak. Hari esok masih panjang.
Semoga di awal Mei, semuanya sudah bisa difinalisasi. Termasuk berbagai macam sisi visual yang sudah bisa dibagi untuk disebarluaskan ke orang banyak.
Sekali lagi, wish us luck! (pelukislangit)
Togamas, Jogjakarta – Rabu, 20 April 2016
Jogjakarta-Jakarta – Sabtu, 23 April 2016
Rumah Benhil – Minggu, 24 April 2016
*) Buat Ari Malibu dan Reda Gaudiamo yang tetap muda (dan gila).
*) Terlampir adalah dua poster acara yang sudah tersedia saat tulisan ini dipost, yang lain menyusul.