Semesta memberi jalan.
Tanggal 23 Juli 2016 mendatang –ya, hari Sabtu yang akan datang— saya kembali bekerja sama dengan IFI Jakarta untuk menyelenggarakan sebuah pertunjukan musik. Ini merupakan kali keempat kami bekerja sama. Sebelumnya, menyelenggarakan pertunjukan Sore, Polka Wars dan Mocca. Yang ini, sedikit berbeda.
Saya memulai sebuah seri baru, namanya Future Folk vol. 01. Diberi tanda nomor satu karena memang ini merupakan edisi perdana. Akan ada edisi kedua, ketiga dan selanjutnya. Seri ini merupakan seri kedua setelah Bermain di Cikini mulai bergulir sejak awal tahun ini.
Nah, angle kedua seri ini berbeda. Jika Bermain di Cikini menampilkan (dan fokus) sebuah band, maka Future Folk adalah kesempatan untuk memanggungkan sejumlah band yang menarik dan disukai. Tapi belum bisa diperlakukan sefokus Bermain di Cikini.
Keduanya punya fungsi dasar, memberikan panggung kepada banyak musisi menarik yang ada di sirkulasi referensi di sekitar.
Di Future Folk vol. 01 ini, secara pribadi, ada lima musisi/ grup yang diundang untuk main. Mereka, dengan sihirnya masing-masing, berhasil mencuri perhatian lewat karya-karya mereka. Pun telah diverifikasi dengan menyaksikan permainan panggungnya lewat mata kepala sendiri.
Jadi, ketika ada kesempatan, sebaiknya memang musik bagus dikabarkan ke publik yang lebih luas.
Future Folk vol. 01 dijalankan dengan sistem tanggung renteng yang berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat. Supaya bisa dijelaskan ada apa di dalamnya. Selain tentunya untuk membuat lebih banyak orang tergerak untuk datang dan membeli tiket pertunjukan.
Kelima musisi/ grup yang diundang punya alasan untuk unjuk gigi. Mereka semuanya ada di tahap awal karir yang memang masih perlu dukungan orang banyak untuk bisa melaju. Yang jelas, secara pribadi minimal, mereka bagus dan punya karya yang menarik.
Salah satu yang coba dikejar adalah membuat dua band dari luar Jakarta untuk bisa main di episode perdana ini. Setelah dihitung dengan pasti, akhirnya Sisir Tanah dan Mr. Sonjaya bisa ada di kota ini dan mempertontonkan aksi mereka.
Sisir Tanah sudah membuat saya kesengsem sejak mendengarkan sejumlah lagu di halaman Soundcloudnya. Keinginan untuk menyaksikan mereka bermain langsung menjadi kenyataan ketika Gufi Asu, kawan baik di Jogja, mengajaknya untuk menjadi pembuka AriReda di #StillCrazyAfterAllTheseYears Tour bulan Mei lalu.
Kesengsem dan menyaksikan penampilan live merupakan tahapan yang bertalian. Harus ditempuh untuk menemukan alasan yang bulat guna menyebut sebuah band itu keren atau hanya punya materi yang keren. Itu dua hal yang berbeda.
Rumusan ini dipinjam dari Helvi Sjarifuddin, salah satu mentor saya sekaligus bos di FFWD Records dulu. Ia benar dan praktek ini terus berlangsung sampai hari ini.
Dalam kasus Sisir Tanah, tidak perlu waktu lama untuk bisa bilang mereka keren. Menyaksikan Danto, otak Sisir Tanah, bermain langsung di atas panggung sewaktu di Jogja tempo hari adalah sebuah berkah yang sangat menyenangkan.
Waktu itu, saya langsung bilang sama diri sendiri, “Sisir Tanah harus main di Jakarta sesegera mungkin!”
Menurut Gufi, Danto tidak mudah untuk diajak naik panggung. Itu menurutnya, tapi dalam kasus tawaran saya ini, ia tidak berpikir lama untuk bilang iya. Itu dukungan yang sangat berarti. Apalagi menyadari bahwa kompensasi finansial yang ditawarkan kecil. Tapi rasanya kami punya kesepahaman untuk urusan ini, bahwa urusan finansial bukan segala-galanya.
Jadilah Sisir Tanah akan bermain di Future Folk vol. 01 nanti.
Nama kedua yang juga dibela benar-benar adalah Mr. Sonjaya dari Bandung. Tahun lalu, Mr. Sonjaya merilis debut album penuhnya, Laras Sahaja. Sebelumnya mereka juga sudah pernah merilis sebuah EP.
Laras Sahaja adalah album yang sangat bagus. Penampilan panggung mereka pun sudah tidak perlu diragukan lagi. Saya sudah dua kali menyaksikan mereka main, pertama di Paviliun28 di Jakarta, yang kedua di Bandung ketika berbagi panggung dengan AriReda di acara Perempatan.
Dari seluruh nama di line up Future Folk vol. 01, Mr. Sonjaya punya jumlah personil paling banyak. Musiknya, dibangun dengan banyak karakter bunyi. Bermodalkan Laras Sahaja, band ini bisa membuat kita terkesima. Semoga banyak yang sepakat dengan saya.
Kalau tidak dimulai dengan mengajaknya lebih sering main di kota ini, tentu sulit juga untuk bikin orang percaya. Semakin sering pula dilihat, semakin banyak kabar beredar. Itu yang diinginkan secara personal.
Tiga nama lainnya juga punya cerita masing-masing.
Jason Ranti ditemukan dalam sebuah obrolan di teras seberang Filosofi Kopi Melawai. Waktu itu, di sebuah malam, saya duduk bertiga bersama Eunice Nuh dan Dado Darmawan. Agendanya adalah mengunci deal merchandise OM PMR. Tapi di salah satu topik obrolan itu, Dado memperkenalkan seorang teman dan musiknya. Namanya Jason Ranti. Ia mengambil ponsel dan memperdengarkan beberapa lagunya. Menarik, mulutnya sompral. Tapi bagus.
Lalu kesempatan untuk menyaksikannya bermain langsung datang ketika ia membuka Silampukau di Borneo Beerhouse. Ternyata, dia adik kelas saya di Kolese Gonzaga. Lupa nama, ingat muka. Rasanya, dia setahun di bawah saya.
Jeje, begitu ia akrab disapa, punya modal kepercayaan diri yang sangat besar. Hanya dengan gitar dan sebuah harmonika, ia bermain. Beberapa materi yang diperdengarkan ke saya itu. Salah satunya Stephanie Anak Seni yang videonya ada di bawah ini.
Saat ini, Jeje sedang menyelesaikan mixing untuk debut album penuhnya. Semoga bisa diselesaikan segera.
Nama keempat adalah Oscar Lolang, juga anak Kolese Gonzaga. Tentu saja, generasinya beda jauh dengan saya dan Jeje. Oscar punya single yang luar biasa dahsyat dan bikin saya berantakan dibuatnya. Judulnya Eastern Man.
Ini lagunya:
Nah, dia sepertinya mengamalkan dengan baik ajaran-ajaran dasar yang diberikan sekolah kami; untuk berani bicara. Kata-kata yang ia tulis di lagu Eastern Man, begitu powerful. Tentang Papua. Tentang tentara. Keberaniannya berbicara lebih lantang ketimbang sosoknya yang seorang diri.
Saya belum pernah melihatnya bermain. Tapi, daripada menunggu kesempatan, lebih baik standar dilonggarkan sedikit dan memberinya jatah waktu untuk main. Kesempatan itu, dalam kasus menyimak musiknya, kudu diciptakan.
Oscar juga belum punya album penuh. Semoga bisa segera menyelesaikan albumnya. Kemampuannya menulis lagu layak dipantau. Bagus, soalnya.
Nah, nama yang terakhir juga lumayan seru. Namanya Junior Soemantri, biasa dipanggil Kelik. Ia –karena hubungan yang pangkat tiga— adalah paman saya. Padahal, kami seumuran.
Kelik telah bergerilya lebih dari setahun untuk mempromosikan debut albumnya yang berisi banyak komposisi bernada Melayu berbasis gitar. Album self released itu, dijajakannya dari satu panggung ke panggung yang lain. Militansinya tinggi.
Sebuah kehormatan untuk saya kalau energinya yang besar itu bisa dibagi ke orang banyak lewat panggung yang saya jalankan. Karena jadwal yang padat, di tanggal 23 Juli 2016 nanti, Kelik akan membuka malam.
Pertunjukan, menurut rencana, akan dimulai pukul 18.30 WIB. Supaya selesainya tidak terlalu malam. Jadwal resminya akan dirilis hari Kamis sepertinya. Tunggu ilham dulu. Haha.
Selain memilih orang-orang yang akan main, ada satu praktek komunal juga yang coba diterapkan. Seluruh sisi bisnis pertunjukan ini dibagi ke semua pihak yang ada di belakang layar. Masing-masing orang tahu persis pengeluaran uangnya untuk apa saja. Dan (nantinya) berapa uang yang didapatkan dari penjualan tiket.
Kawan-kawan baik di Kedubes Prancis via IFI Jakarta, sudah super baik menyediakan sarana pertunjukan yang berkualitas bagus, lengkap dengan engineer yang sangat kooperatif. Jadi, beban bisa sedikit lebih ringan.
Pembagian prioritas juga berlaku. Mereka yang berasal dari luar kota dapat share yang lebih besar dan jadi prioritas biaya paling dasar. Memetakan potensi revenue membuat proyeksi finansial jadi lebih realistis. Dan membukanya, pada akhirnya menyamakan cara pandang bagi semua pihak.
Bersenang-senang akan selalu jadi napas utama Future Folk. Sama seperti apa yang saya buat dengan Bermain di Cikini dan sejumlah proyek yang akan datang di masa depan.
Kalau tidak bersenang-senang, kenapa harus dilakukan? Kan logikanya model begitu. Nah, silakan mengagendakan untuk bisa datang ke Future Folk vol. 01 apabila tertarik dengan line up yang bermain dan telah dijabarkan satu demi satu di atas.
Jangan lupa membeli tiket via seribermaindicikini@gmail.com. Pertunjukannya akan berlangsung 23 Juli 2016. Harga tiket Rp.50.000,00. Kapasitasnya 150 kursi dan saat ini sudah terpesan sekitar 70-an tiket. Prioritas memilih kursi akan diberikan pada mereka yang membeli tiket terlebih dulu.
Tiket on the spot hanya akan dijual apabila masih ada tiket tersisa di hari pertunjukan. Seluruh penjualan tiket akan dibagi kepada para penampil. Jadi, bagaimanapun juga, kamu akan berkontribusi untuk seluruh pihak yang terlibat.
Kontribusi model begitu, akan membuat semuanya punya napas lebih panjang. Rantai survivalnya seperti itu. Sampai jumpa di Future Folk vol. 01. Mari bersenang-senang bersama.
Semesta, dengan seluruh kuasanya, memang memberi jalan. (pelukislangit)
15 Juli 2016 – Rumah Benhil
16 Juli 2016 – Danau Maninjau
18 Juli 2016 – Starbucks Sarinah Thamrin
One thought on “Future Folk vol. 01: 23 Juli 2016”