“Selamat menikmati pertunjukan. Jangan lupa tersenyum yang lebar. Kita akan merasakan indahnya sebuah proses berkesenian. Semoga ide sederhana untuk menggulirkan berbagai macam pertunjukan musik di gedung-gedung pertunjukan yang dimiliki Jakarta bisa menggurita dengan cepat. Ini, bisa jadi momentum yang tepat.”
Paragraf di atas diambil dari tulisan saya di booklet pengantar Bermain di Cikini: AriReda yang dibagikan kepada masing-masing penonton yang memiliki tiket di kedua pertunjukan yang terjadi tanggal 26 & 27 Januari 2016 yang lalu. Kedua pertunjukan tersebut tiketnya habis sehari sebelum seri dimainkan. Sold out.
Ada banyak pelajaran yang mampir kemarin. Mengorganisir pertunjukan bukanlah sebuah hal yang asing, tapi proyek Bermain di Cikini ini, rasanya akan jadi belokan tajam untuk diri sendiri dan beberapa orang yang percaya untuk bekerja sama sepanjang perjalanannya.
Setidaknya ada dua pertunjukan yang padanya saya berhutang inspirasi banyak; Bryan Adams di Ziggo Dome, Amsterdam dan Glenn Fredly di Istora Senayan, Jakarta. Yang pertama berlangsung tahun 2014, yang kedua kejadian pada akhir tahun 2015. Ide-ide kecil yang muncul setelah menyaksikan kedua pertunjukan itu menjadi apa yang kurang lebih termanifestasikan di Bermain di Cikini. Kamu yang datang ke pertunjukan kemarin, pasti bisa merasakannya.
Di pertunjukan Bryan Adams, saya diajarkan bagaimana suasana menyenangkan sudah harus dibangun dari proses awal orang datang ke tempat pertunjukan. Semua menyambut pengunjung dengan senyum. Santai. Ramah. Tapi tahu apa yang perlu dilakukan. Saya lumayan sebal melihat banyak pertunjukan yang panitianya bejibun tapi sibuk sok-sok kerja. Pekerjaan yang seharusnya efektif, bisa jadi tidak terlalu praktis karena orangnya kebanyakan. Seringkali, mereka malah nongkrong.
Segala macam infrastruktur fisik, tidaklah penting. Yang selalu penting adalah interaksi mahluk hidup yang terjadi. Hangat. Ramah. Tulus. Tegas. Senyum di mana-mana.
Ziggo Dome punya kapasitas 17.000 kursi. Waktu Bryan Adams bermain tahun 2014 lalu, musim dingin jadi latar belakang. Bayangkan, setiap orang datang dengan baju tiga lapis khas bulan Desember Eropa. Tapi, sejak melihat di kejauhan, berbagai macam tipe usher sudah menyambut dengan ramah, menanyakan tiket lalu mengarahkan orang ke kelas duduknya masing-masing. Lengkap juga dengan fasilitas informasi cloak room gratis yang disediakan oleh gedung. Jelas, mengelola belasan ribu jaket musim dingin saja seharusnya sudah bikin pecah kepala, tapi ini tidak. Untuk menyetor dan kemudian mengambilnya, setiap orang maksimal harus mengantri selama lima menit. Tidak lebih. Dan semuanya dilakukan dalam kemasan senyum yang tulus.
Prinsipnya: Penyelenggara bukan tuan yang bisa menghadirkan pengalaman seru di dalam hidup penonton, band yang mainlah yang bisa melakukan itu. Penyelenggara hanya fasilitator yang membantu perayaan musik berlangsung dengan baik, sesuai ekspektasi.
Pertunjukan adalah selalu tentang lakon, bukan siapa yang menyelenggarakan. Itu yang sering membuat orang terjebak, menurut saya. Kalau lakonnya bagus, orang juga percaya sama kurasi yang dilakukan di balik layar. Contoh bagus: Indonesia Kita yang nyaris selalu bisa menjual habis tiket pertunjukan mereka. Tapi, itu kan investasi jangka panjang yang perlu komitmen dan kesabaran.
Malam itu, Bryan Adams memainkan album Reckless dari awal sampai akhir. Tentu saja, membuat orang yang menontonnya senang bukan main. Termasuk saya. Pengalamannya jadi lebih baik karena memang kemasannya seru; mulai dari cloak room, senyum usher, candaan merchandiser, penjual bir yang ringan tangan dan berbagai macam hal lainnya. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.
Pertunjukan kedua yang jadi inspirasi adalah Glenn Fredly di Istora Senayan. Yang ini juga saya kutip di booklet pertunjukan. Di kelasnya Glenn Fredly, di Indonesia, banyak band atau artis yang berlomba-lomba menjebak diri mereka dalam kata “konser”. Kalau konser, berarti harus spesial dan penuh dengan gimmick. Segala macam harus berbalut kejutan. Nanti di lagu ini mengundang artis A atau B yang tidak pernah punya relasi karya sebelumnya. Hanya demi memberikan suguhan lebih pada mereka yang datang.
Ini aneh menurut saya. Lebih ke “Kok orang nggak percaya sama dirinya sendiri? Kok kayaknya elo ngerasa diri lo kurang ya, sampai perlu bawa-bawa orang lain?”. Nah, Glenn Fredly sebaliknya, dia tidak punya gimmick. Dia mengundang Funk Section –band lamanya, tempat ia mengawali karir—, dia bermain bersama dengan band yang sehari-hari ada di sekitarnya dan tetap berhasil memukau ribuan orang yang datang.
Menunya: Musik. Bukan gimmick. Dan ia berhasil memaksa ribuan orang yang sama kehabisan suara secara kolektif, menyanyi kencang berjam-jam. Ia fokus pada karyanya yang memang ok, konsisten dan punya kualitas baik. Sudah cukup.
Pertunjukan adalah arena untuk bersenang-senang. Selalu seperti itu. Dan bersenang-senang itu harus jadi milik semua pihak yang ada di sana. Sederhana.
Itu kenapa saya memilih untuk bekerja dengan orang-orang yang reputasinya sudah teruji secara personal di dalam keseharian saya. Nyaris tidak ada orang baru di dalam tim produksi ini. Paling hanya operator tata lampu Azis Indriyanto dan fotografer kedua Yose Riandi yang baru pertama kali ikut dalam tim produksi saya. Operator tata suara, Agus Leonardi, dibawa oleh AriReda. Dan biasanya memang seperti itu, untuk posisi operator tata suara, lebih baik dibawa oleh band yang main. Supaya lebih paham tindak-tanduknya.
Di email blast yang dikirim sehari sebelum pertunjukan, saya mengenalkan nyaris semua figur yang terlibat dalam produksi ini. Untuk kamu yang tidak mendapatkan emailnya, ini ada kutipannya:
===
Namun, ada beberapa hal yang kami rasa perlu untuk disampaikan sebelum pertunjukan ini berlangsung besok dan lusa. Silakan disimak.
01. Kami akan menyediakan booth merchandise AriReda di gedung pertunjukan. Denise Dass dan seorang asistennya, akan bertanggung jawab untuk seluruh proses transaksi di booth ini. Kami akan menjual baju bergambar cover album Menyanyikan Puisi, cd album Becoming Dew, Menyanyikan Puisi dan Gadis Kecil, poster serta postcard pack. Harga barang berkisar antara Rp.15.000 – Rp.150.000. Kuantitasnya, kecuali cd, terbatas. Belum tahu akan diproduksi lagi atau tidak di masa yang akan datang. Jadi, silakan untuk langsung memburunya sesampainya Anda di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Permasalahannya satu: Kami hanya menerima pembayaran dengan metode tunai. Jadi, pastikan Anda membawa uang tunai ke lokasi pertunjukan. Ada sejumlah ATM di dekat kawasan Taman Ismail Marzuki.
02. Uang tunai juga diperlukan untuk membeli makan malam yang disediakan oleh Dharmawan Handonowarih dan kawan-kawan baik dari Kedai Tjikini yang akan membuka gerai mini mereka di kawasan lobi Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Mereka akan menyediakan sejumlah paket makanan yang tidak ribet untuk dikonsumsi menjelang pertunjukan. Pertunjukan akan berlangsung mulai pukul 19.30 sampai sekitar pukul 22.00. Jadi, pastikan Anda tidak kelaparan sepanjang pertunjukan.
03. Penukaran tiket dengan nomor kursi akan dimulai pada pukul 16.00. Siapa cepat, dia dapat. Bayangkan ketika Anda melakukan pembelian tiket bioskop, nah seperti itulah cara yang akan kami adopsi untuk menentukan tempat duduk Anda selama pertunjukan nanti. Siska Tanjung, petugas yang bertanggung jawab untuk penukaran tiket sudah siap melayani Anda sejak pukul 16.00.
04. Anda, tentu saja, diperkenankan melakukan pengambilan gambar dengan menggunakan kamera ponsel. Tapi, jangan pernah lupa bahwa kami merekam keseluruhan pertunjukan dengan menggunakan piranti audio dan video yang layak. Jadi, mohon untuk tidak mengambil gambar menggunakan lampu kilat atau maju ke depan sehingga menghalangi penonton yang lain dan kamera perekam yang kami pasang di sejumlah titik di gedung pertunjukan. Kalau memang Anda memerlukan gambar dokumentasi pertunjukan ini, silakan kirim email ke kami dan dengan senang hati kami akan mengirimkan gambar-gambar yang dihasilkan oleh Bunga Yuridespita, fotografer resmi kami. Dia pasti tidak keberatan membagi hasil karyanya dengan Anda.
05. Kami bekerja dengan tim yang kecil. Tapi, kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan, secara keseluruhan tentang acara ini, Anda pasti bisa dengan mudah menemukan Stephanie Dass, yang mengendalikan seluruh flow lalu-lintas di seluruh area gedung pertunjukan. Hobinya tersenyum. Jadi, dia pasti dengan tangan terbuka akan menjawab seluruh pertanyaan yang mungkin muncul.
06. Upayakan untuk tidak datang terlambat. Gong ketiga akan dipukul pada 19.30, menandakan waktu Tetangga Pak Gesang bermain. Pertunjukan akan dimulai tepat. Pintu ruang pertunjukan akan mulai dibuka pukul 19.00. Jika Anda datang terlambat, mungkin akan membuat repot Arif Susilo, Achmad Maulana, Kurniawan Bambang dan Gita yang bertugas menunjukan arah ke tempat duduk Anda sepanjang pertunjukan. Silakan berkontribusi untuk membuat malam masing-masing orang berjalan dengan indah bersama musik yang akan kita rayakan bersama dengan tidak datang terlambat.
07. Jika Anda melihat orang yang seliweran di atas panggung membantu seluruh persiapan, itulah Ralmond Karundeng. Ia bertanggung jawab untuk seluruh aktivitas panggung. Berilah dukungan moral padanya untuk membuat pertunjukan berlangsung sesuai dengan rencana. Di samping wajahnya yang keras, ia berhasil mengurus seluruh perijinan acara kita. Jadi, jangan lupa tersenyum jika berpapasan dengannya. Jasanya besar sekali.
08. Tata lampu di pertunjukan ini, dikelola oleh Azis Indriyanto. Ia yang punya ide untuk seluruh cahaya yang muncul di setiap menit pertunjukan. Selain itu, tata suara akan dikelola oleh Agus Leonardi. Ia juga akan merekamnya, semoga nanti bisa kami rilis hasilnya di kemudian hari.
09. Video akan direkam oleh tim Qubicle yang membangun sistem dokumentasi sehingga kedua pertunjukan ini terlihat agak serius dari segi penggarapan visualnya. Dita Nadine, Vany Mitahapsari dan belasan anggota lainnya meluangkan banyak waktu untuk menggarap video dokumentasi kedua pertunjukan ini.
10. Di bagian belakang gedung, Anda juga mungkin bisa bertemu dengan Oomleo dan Haoritsa dari Rururadio.org. Merekalah yang bertanggung jawab untuk melakukan siaran langsung seluruh konser ini viawww.rururadio.org. Supaya yang tidak kebagian tiket tetap bisa mendengarkan suara menyihir AriReda.
Rasanya itu saja. Selamat beristirahat. Sampai jumpa di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Selamat bersenang-senang. Jangan lupa bahwa AriReda akan bertemu dengan Anda semua selepas pertunjukan. Bawa spidol tebal kalau mau melegalisir memorabilia.
===
Secara total, timnya hanya beranggotakan empat belas orang. Sampai H-4, yang bekerja hanya saya, Ralmond Karundeng –yang fokus mengurus perijinan polisi dan pajak tontonan— dan Reda Gaudiamo. Seringkali, saya dan Reda, dibantu oleh Dharmawan Handonowarih dan Eddie Prabu yang sering terjebak di dalam pembicaraan intens kami tentang ide-ide yang muncul. Dharmawan jugalah yang memperkenalkan AriReda di atas panggung di kedua malam.
Stephanie Dass, adik saya, baru bergabung di H-3. Ia berfokus mengurus seluruh persoalan logistik, mencari makanan, piranti flow management di area luar gedung pertunjukan dan sejumlah hal lainnya. Kami tidak terlalu peduli dengan branding, kosmetika user experience dan berbagai macam hal yang mungkin menjebak lainnya.
Rangkaian acaranya sederhana: Masuk tukar tiket – tunggu pertunjukan – nonton – meet and greet. Hanya empat poin itu yang harus dipikirkan.
Di sudut lain gedung, Denise Dass, adik saya yang lain, berfokus mengurus penjualan merchandise. Ia sudah bisa dilepas sendiri mengurus hal ini, benar-benar tahu apa yang harus ia lakukan. Yang mengagetkan, ia bahkan melakukan riset terlebih dulu tentang AriReda. Ia tahu yang ini album keberapa, itu album keberapa dan lain-lain. Jadi, ketika menjual barangnya, setidaknya ia bisa memberikan informasi. Dan dari kami bertiga, Denise adalah orang yang paling baik mengatur inventaris barang.
Tangan bernasnya lumayan punya guna baik, di kedua malam itu kami menjual lebih dari 260 cd, puluhan kaos, puluhan buku dan bahkan poster serta postcard pack. Dagangan laris manis. Angka penjualannya fantastis.
Di dalam, panggung dikendalikan oleh Ralmond Karundeng yang jadi stage manager. Karena memang bebannya tidak berat, plus faktor dia tahu apa yang harus dilakukan, semuanya bisa dengan mudah terlaksana. Koordinasi adalah titik utama peran ini. Ia melakukannya dengan baik bersama sejumlah kru panggung yang diberikan oleh Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.
Tidak ada kejutan yang kami siapkan malam itu. Semuanya sudah tertulis di booklet program. Kejutan tidak diperlukan karena memang pertunjukannya sendiri memang jadi menu utama. Sekali lagi, fokus saja di musiknya, yang lain sekunder.
Sejak awal merancangnya, Bermain di Cikini memang akan selalu jadi seri yang sederhana. Kami punya misi untuk membuat pertunjukan di gedung pertunjukan jadi hal yang biasa. Bukan yang luar biasa. Membuat yang luar biasa, biarlah jadi lapak orang lain yang punya visi dan misi beda. Yang kami lakukan, adalah membuat hal generik yang sebenarnya belum banyak dimiliki oleh banyak orang yang berkecimpung di pengorganisiran pertunjukan.
Semakin sering orang memainkan pertunjukan biasa di gedung pertunjukan, semakin besar pula pondasi yang mereka bangun untuk pertunjukan-pertunjukan luar biasa yang mungkin tercipta sebagai efek dari bergulirnya hal-hal biasa tersebut.
Saya dan teman-teman yang bekerja, benar-benar santai menjalaninya. Karena memang fokus untuk mengelola pertunjukannya. Semuanya sudah diatur dengan cermat sejak awal. Termasuk hal-hal kecil seperti waktu makan malam orang-orang yang kerja atau rundown yang tidak detail mengatur peran masing-masing orang. Atau juga alokasi undangan media yang tidak fleksibel. Kami bahkan tidak punya handler khusus untuk mengurus media.
Semua media yang mendapatkan pass untuk liputan, hanya dikirimi eticket yang bisa mereka tukar dengan tanda masuk di meja registrasi yang sama. Di dalam eticket media, terlampir pula kondisi venue seperti apa, lengkap dengan anjuran yang perlu dilakukan untuk mendapatkan gambar terbaik. Kami meminta mereka membawa lensa panjang untuk pengambilan gambar jarak jauh dan menerangkan area pemotretan ada di mana dan kenapa hanya area tersebut sajalah yang diperkenankan untuk memotret. Semuanya jelas. Tidak ada wilayah abu-abu. Kalau memang dirasa kurang, kami menyediakan foto milik fotografer resmi untuk kepentingan foto liputan. Jumlahnya juga tidak sedikit sehingga ada pilihan. Fair and square.
Kami mulai mengundang media seminggu menjelang waktu pertunjukan. Mereka diminta untuk melakukan konfirmasi. Yang telat, tidak diberikan akses karena memang kursi dialokasikan untuk mereka yang ingin membeli tiket. Semuanya profesional.
Sekilas, mungkin Bermain di Cikini dianggap congkak sama media. Padahal, yang kami lakukan hanyalah mengedepankan profesionalisme. Bahwa semua berlangsung berdasarkan skala prioritas. Tata cara yang kami pakai, pada prakteknya, sama sekali tidak merugikan proses kerja jurnalistik yang harus dilakukan. Hehe.
Hasilnya ok kok, yang tidak taat prosedur lebih sedikit ketimbang yang menghormati aturan. Senang juga melihat hasilnya. Yang punya reputasi bagus, biasanya tidak pernah lupa bahwa sebuah proses jurnalistik adalah tentang mengabarkan berita kepada publik yang lebih luas. Bukan perkara remeh dilayani oleh penyelenggara ketika sebuah acara berjalan. Dari sisi penyelenggara, kekakuan model begini sesungguhnya benar-benar memangkas energi dan membantu beban pikiran berkurang.
Hehe. Untung juga, pengalaman jadi penulis liputan pertunjukan terpatri dengan baik. Jadi, proses mengambil kebijakannya juga bisa tepat guna. Hehe.
Ini contoh beberapa liputan media yang sudah tayang:
Selain mengelola media, Bermain di Cikini juga mulai didukung oleh Qubicle lewat salah satu kanal mereka, #Soundquarium. Mereka membantu dengan menciptakan dokumen video yang bisa membuat seri ini hidup lebih lama.
Yang ini, saya agak sedikit norak. Karena kebutuhan pengambilan gambar, mereka harus membangun sistem lengkap dengan control room sepanjang pertunjukan hari pertama. Treatment penggarapannya seperti proses pengambilan gambar program televisi. Nampak serius sekali.
Semoga di seri-seri berikutnya, ini jadi proses yang lebih biasa untuk saya. Supaya noraknya hilang. Hehe.
Kedua pertunjukannya sendiri berjalan sesuai rencana. Ada sedikit improvisasi di dalamnya, tapi secara keseluruhan semua sesuai dengan garis yang ditulis sebelumnya. Yang paling susah sepanjang mengorganisir kedua pertunjukan ini sebenarnya bukan menjalankan acaranya, tapi mengawasi supaya AriReda tidak mengganti lagu di tengah perjalanan. Di malam kedua, ini jebol.
Karena sudah sedikit santai di bagian ujung pertunjukan, mereka menambah sejumlah lagu setelah melalui sedikit perdebatan di belakang panggung ketika Jubing Kristianto mengisi panggung. Adegan standar ini terjadi juga. Tidak bisa dilarang, karena sejatinya, itulah mereka; Yang terlalu cair.
Anyway, lupa sedikit, sebenarnya Bermain di Cikini, mencoba sekuat tenaga untuk selalu memaksa band yang bermain untuk memainkan dua pertunjukan selama dua hari berturut-turut. Tidak hanya sehari. Kenapa? Karena mencoba menjaga penampilan di dua hari itu menjadi tantangan tersendiri. Kan misi kami ingin membuat segala sesuatunya jadi biasa, nah ini salah satu elemen dasarnya. Karena ingin membiasakan, main dua hari berturut-turut dengan set yang sama pun harus terasa biasa. Untung saya bukan jadi pemain bandnya.
Bermain di Cikini edisi pertama telah terjadi. Semoga semuanya puas dengan kedua pertunjukannya. Terima kasih banyak untuk mereka yang telah membeli tiket dan berbagi energi di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, tanggal 26 & 27 Januari 2016 kemarin. Kami akan kembali tanggal 30 & 31 Maret 2016. Di pertengahan Februari, siapa yang bermainnya akan diumumkan dan informasi pertama akan dirilis kepada mereka yang datang ke pertunjukan AriReda kemarin.
Senang bisa membuat hal yang biasa-biasa saja. Senyum banyak orang terekam dengan jelas di memori saya, sampai sekarang. (pelukislangit)
Rumah Benhil – 28 Januari 2016
Kedai Tjikini – 31 Januari 2016
Foto oleh Bunga Yuridespita dan Yose Riandi
Mantap kakak
Terima kasih sudah membaca. 🙂
Keren kakak
enak bener baca tulisannya… kerja bagus, bang Felix. sukses selalu. bisalah kapan waktu kita ngobrol agak gimana…
Yoks, kapan?
Sori, Felix, aku komentarin sedikit soal bahasa ya, karena kamu memang penulis yang rajin, jadi penting kiranya hal ini diperhatikan. “Seluruh” dan “semua” itu berbeda arti. Kamu banyak menggunakan kata “seluruh” padahal yang dimaksud adalah “semua”. Nanti kalau di laptop akan kukutip kalimat-kalimat mana saja yang keliru penggunaannya.
Hi Panca. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk mengkritik. Hehe. Kalau mau menunjukan, mungkin bisa sekalian kirim ke felix@felixdass.com ya. Senang sekali menerimanya. Supaya yang di blog tetap fokus dengan topiknya. Hehe.
Felix,
Sold Out…. tapi ada yang sedikit mengganggu. ada 4-5 kursi kosong di baris ke 4 dibelakangku yang entah kosong sampai akhir pertunjukkan….
Di hari pertama, ada 23 kursi yang tidak diklaim oleh mereka yang sudah membeli tiket, mas. Saya juga heran kenapa begitu. Semua undangan yang saya kirim datang memenuhinya. Yang kosong itu justru mereka yang sudah membeli tapi tidak datang. Biasanya, beli rombongan, tapi yang jadi nonton hanya beberapa. Kami harus mengumumkan sold out karena kami juga tidak bisa menjual kembali tiket yang sudah terjual, kan? Bagaimanapun juga, itu hak pembeli yang telah membeli. Jadi, ketika itu kosong, ya berarti mereka tidak datang.
Selamat Mas Felix, terimakasih bagi-tukar pembelajarannya. Terimakasih 27/1.
Terima kasih sudah datang dan membeli tiket kemarin ya.
Been in love with. Thanks for your beautiful collaboration. Beautiful Poems, Beautiful Song, Beautiful Voice. Super super super! Two thumbs up and more. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, AriReda.
Terima kasih sudah datang. More to come from us. 😉
Senang sekali bisa nonton AriReda kmrn. Seperti kata tulisan ini, yang paling terasa memang musiknya 🙂 Bravo untuk tim Bermain di Cikini. Semoga selalu bisa nonton lagi.
Silakan kosongkan jadwal 30 & 31 Maret 2016. Yang akan tampil juga menyenangkan. Sama-sama membagi spot di 10 Album Terbaik Majalah Tempo tahun 2015.
Kak Felix beserta tim, terima kasih sudah menyajikan konser yang menawan sekali! Saya cuma coba-coba mau melihat, pulang-pulang langsung jatuh hati sama semua pengisi acaranya! Terima kasih, ya. Tidak sabar menunggu 30 & 31 Maret 🙂
Terima kasih sudah datang, Nadia. Sampai jumpa di seri berikutnya bulan Maret nanti.
Sangat mengapresiasi sama tulisannya Mas Felix. Sederhana tapi tetep keren 😀
Mau nanya mas, ini hasil video dokumentasinya di mana ya ? Saya cek di yutub belom ada i.hehe
Memang belum ditayangkan. Masih rough cut. Nanti akan dijadikan dvd. Mungkin akhir tahun rilis. Sebelumnya, tayang pertama kali akan di Qubicle.