Di Jakarta, kami membagi cerita. Menjalankan hidup dengan kecepatan sewajarnya. Berkarya, percaya pada apa yang dicinta. Juga percaya pada kota yang telah menjadi rumah dalam suka dan sedih selama bertahun-tahun.
Masing-masing punya kisah. Setelah seharian penuh bergulat dengan berbagai fragmen kehidupan, memang perjalanan harus sedikit dilonggarkan. Tertawa bersama, selalu dirasa perlu. Menjelajah atas nama eksplorasi, menjadi menu malam yang ternyata menyenangkan.
Kami, masih punya ruang untuk bersendagurau. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang perlu dirisaukan. Hidup berlangsung normal. Teror membayang, tapi ia bisa dengan mudah dilupakan. Berbagai macam cara dilakukan sebagai simbol perlawanan, kami memilih cara yang sedikit ringan; berburu nasi uduk. Rekomendasi diberikan oleh John Navid yang menjadi pimpinan perjalanan kali ini.
Jadi, Jumat malam jadi ruang untuk wisata malam kami. Dari kiri ke kanan: Mushowir Bing, Rio Farabi, John Navid, Denny Darmawan, Reza Mustar dan saya. Kami menjelajah kota. Tapi tidak untuk urusan seks. Biarlah itu menjadi ranah pribadi, bukan komunal.
Tidak lupa, bir dingin menjadi menu. Untuk merayakan hidup di kota ini. Untuk kehidupan Jumat malam yang berjalan normal. Untuk perjalanan menuju masa depan yang tidak pernah rusak oleh kekerasan. Dan untuk berbagai macam optimisme lainnya.
Di Jakarta, kami hidup dan menggantungkan cerita pada langitnya. Cerita orang-orang ini, membangun kehidupan normal yang memang sudah seharusnya terjadi sehari-hari. Tidak ada yang spesial.
Jakarta, bagaimanapun juga, lebih spesial dari apapun. Ia mendefinisikan konsepsi rumah. Selalu dan selamanya. (pelukislangit)
Rumah Benhil
16 Januari 2016
02.35
wah, indnsia bangeeet makanannya..