*) Untuk mereka yang terus menerus memilih ada di pit
Bersenang-senang adalah kegiatan yang seharusnya secara sadar jadi pilihan. Ada banyak dimensinya. Termasuk menubrukkan badan ke orang asing, berteriak liar mengikuti lirik lagu favorit dan merasakan sakit luar biasa keesokan harinya.
Saya selalu tidak sepakat dengan orang yang secara sadar bilang, “Ah, gue sudah tua. Sudah jompo. Sudah tidak seharusnya melakukan itu lagi.”
Buat saya, itu sih salah orangnya saja. Salah dia merasa seperti itu. Di usia yang sekarang ini, tiga puluh dua tahun, saya masih tidak pernah merasa tua, tapi selalu muda.
Fakta ini diingatkan kembali ketika saya duduk bersama sejumlah teman dekat di pertunjukan Seringai di Camden Bar Menteng hari Jumat, 23 Oktober 2015 yang lalu. Kami memilih untuk ada di sana dan bersenang-senang dengan Seringai sebagai pemandu soraknya.
Sepasang teman berangkat khusus dari Bandung. Namanya Boit dan Trie. Saya dan mereka, adalah penggemar berat Seringai. Sudah mengikuti band ini bertahun-tahun dan cinta mati sama musik yang dimainkan sampai ke ubun-ubun dan tulang sumsum. Seringai ada di dalam hidup kami sebagai entitas yang punya tempat permanen.
Sebisa mungkin, kami selalu mencoba menghadiri setiap pertunjukan Seringai di tempat kecil. Sudah terbayang suasananya seperti apa. Memang, sekarang band itu adalah salah satu band dengan legiun massa paling fanatik di tanah ini. Tapi, mereka masih band yang sama kalau bermain di tempat yang kecil; tight as fukk!
Ingatan saya mengembara ke tahun 2003. Itu dua belas tahun yang lalu. Sebuah klub baru berdiri di Bandung, namanya Classic Rock. Lokasinya dekat Gedung Sate. Kawan-kawan dari Deathrockstar membuat sebuah acara berjudul Rock Circus. Yang main, dua di antaranya adalah Seringai dan The SIGIT.
Waktu itu, Seringai baru akan merilis debut EP mereka, High Octane Rock. Jadi, mereka main di Bandung tidak dengan modal sebuah rekamanpun di tangan. Waktu itu, umur saya dua puluh tahun. Energi masih banyak dan lumayan liar, tapi sudah jatuh cinta setengah mati bir dingin.
Ini suasana yang berhasil didokumentasikan hari itu:
Maafkan kualitas gambarnya yang memang sudah ketinggalan jaman. Tapi, ini adalah dokumen penting yang merekam pertunjukan pertama Seringai di Bandung. Jauh sebelum mereka merilis single fenomenal Dilarang di Bandung yang masuk di album Taring.
Saya ada di depan waktu itu. Berdansa penuh peluh, berteriak lepas mengikuti bagian-bagian anthemic yang dimiliki Seringai di lagu-lagu mereka. Terutama di bagian refrain lagu Alkohol. Itu kali pertama yang membuka pintu ke pengulangan berkali-kali yang terjadi belasan (dan mungkin puluhan) kesempatan berikutnya.
Di beberapa titik, saya –yang belum berukuran 90an kilogram ini— masih dengan leluasa untuk naik ke kerumunan dan diangkat tanpa arah.
Setelah set berakhir, dua gelas bir dingin langsung dihajar. Straight. Yang satu bayar, yang satu entah dikasih siapa. Waktu itu, daya beli belum sebaik sekarang. Jadi, membeli minuman pun masih harus berpikir ulang dan menunggu momen yang tepat.
Lucu rasanya mengingat ketika dua belas tahun kemudian, saya masih berdansa mengikuti lagu yang sama. Ceritanya jadi lebih relevan karena konsumsi alkohol saya tambah banyak seiring bertambahnya usia dan lingkar perut –yang masih bisa dimanage dengan baik—.
Amarahnya masih serupa, energinya masih sama misteriusnya karena entah bisa didapat dari mana. Yang paling penting, semangat untuk terus menerus menjadi muda tetap membara. Mengutip slogan paling keren sepanjang masa dari Seringai, “Generasi Menolak Tua”. Karena bisa jadi memang manusia tidak perlu menjadi tua.
Ini bukan sekali saja terjadi.
Di ajang RRREC Fest 2015 yang lalu di Tanakita, saya dan beberapa teman menemukan diri kami masing-masing lepas kendali dan berdansa mengikuti permainan juara kelas milik Orkes Madun Pengantar Minum Racun (OM PMR). Itu juga kalau dipikir, bisa terjadi di luar akal sehat.
Bayangkan: Udara dingin, sisa hangover malam sebelumnya yang melihat kami secara serakah meminum setidaknya lima jenis minuman keras –yang jelas membuat diri kondean berlapis sebelas— dan perjuangan naik-turun tangga alam untuk berpindah dari satu panggung ke panggung lainnya. Situasi dan kondisi tidak ideal. Tapi semua ide-ide yang ideal, hilang begitu OM PMR masuk ke panggung dan deretan Intisari serta Anggur Kolesom dijejerkan di balik monitor panggung.
Itu bukan milik penonton, tapi milik OM PMR. Dijadikan amunisi untuk melawan dingin dan bahan bakar menciptakan goyangan. Garda depan sebelah kiri jadi milik saya dan sejumlah teman. Adjis Doaibu, seorang teman yang mulutnya sulit dihentikan ketika berbicara kotor, bilang pada saya ketika set dimulai, “Lix, nanti pas Judul-Judulan angkat gue ya ke punggung.”
Saya mengiyakan. Tanpa berpikir panjang apa konsekuensi yang akan mengikutinya. Menjadi tetap muda, kadang memang tidak perlu berpikir beberapa langkah di saat yang bersamaan. Momen harus dihidupi dengan semangat seolah hari esok bagaimana besok. Singkatnya, jangan terlalu banyak mikir.
Oomleo di sudut paling kiri punya setelan mantap dan komat-kamit sepanjang set mengikuti lafal mulut Jhony Iskandar. Abigail dan Dimas bergoyang kikuk, goyang pasangan baru. Kiki Aulia Ucup yang ada di sebelah Adjis juga tidak kalah asyiknya, mungkin ia sedang meratapi kenyataan pahit di hidupnya. Menyusul kemudian Ralmond Farly yang menjadi simpul cerita selanjutnya.
Ketika set mulai memanas, satu per satu membuka baju. Dimulai oleh Adjis. Saya mulai mengangkatnya. Berat, tapi tidak apalah. Makin liar karena dangdut, aura semakin seragam; euforia karena musik. Hebatnya, ini semua dilakukan tanpa bantuan minuman keras di luar batas normal.
Tiba pula waktunya untuk saya meminta sesuatu pada Ralmond, “Mon, gue mau naik.”
Ia membalas spontan, “Lix, elo berat, Lix.”
Saya tidak kalah spontannya, “Udeh, angkat aja.”
Dan kemudian terjadilah gambar ini:
Kalau ditanya, apa yang membuat saya bisa ada di atas, rasanya semua orang yang ada di dalam gambar itu tidak bisa menjelaskannya dengan pasti. Tidak ada akal sehat untuk pertukaran energi model begitu. Semuanya dikendalikan oleh keliaran yang dibensini oleh zat misterius yang hanya muncul dari dalam hati ketika sanubari dibakar.
Dua contoh kejadian ini, tentu saja membuat badan sakit-sakit di keesokan hari. Tapi, rasa sakit itu ternyata menjadi pengingat bahwa menolak untuk menjadi tua dan tipikal itu bisa dilakukan dengan kemasan yang secair apapun.
Bertambah umur dan menjadi tua adalah persoalan beda. Ada banyak orang di sekitar yang membuat saya selalu ingat kedua hal itu. Akhirnya, hidup juga jadi lebih enak. Boit dan Trie, contohnya, mereka menjadi inspirasi besar bahwa mengerjakan apa yang disuka ternyata bisa menghidupi dan melihat banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang diberikan oleh keberdayaan finansial.
Rumus klasik bahwa hidup adalah pilihan terjadi dalam kisah banyak orang. Jadi, kalau kamu yang membaca tulisan ini masih berpikir bahwa, “Ah, gue sudah tua. Sudah jompo. Sudah tidak seharusnya melakukan itu lagi,” maka itu jadi kerugian buat kalian.
Muda itu permanen. (pelukislangit)
Kedai Tjikini/ Rumah Benhil/ Artotel Surabaya
25 Oktober – 7 November 2015
Terima kasih juga untuk Seringai dan OM PMR untuk musik yang muda dan abadi
Foto oleh RRREC Fest dan Ucok.
wah, 90-an naik ke atas artinya yg ngangkat musti berenam kali yak? edan bang. hehehe.
Harus banyakan yang ngangkat.