Salah satu hal yang paling saya nantikan di 2021 ini adalah dirilisnya debut album penuh Denisa, penyanyi asal Jakarta. Sejak mendengarkan EP Crowning di 2019, intuisi saya mengendalikan rasa ketertarikan yang berlebihan pada karya-karyanya.

Menjelaskan intuisi selalu tidak pernah mudah. Tapi, karakter vokal dan sinyal kencang fuck you attitude yang dikandung oleh karya-karya di EP itu, memanggil untuk menyemai ketertarikan.

Pada 15 Oktober 2021, album penuh bloodbuzz –ditulis dengan huruf kecil semua, memang—, dirilis. Dua tahun sejak perkenalan pertama itu, perasaannya masih sama. Hari itu, hidup berjalan cepat. Saya bangun pagi dan langsung mencari album ini di streaming service yang dimiliki. Saya sudah jadi korban strategi marketing yang memang telah berlangsung sejak beberapa hari sebelumnya.

Layaknya artis musik di era super keras ini, Denisa pun memproduksi banyak sekali konten untuk bisa mencuri perhatian orang. Termasuk pula agenda-agenda macam wawancara di sana-sini, hearing session, kirim-kirim paket ke orang-orang yang dianggap berpengaruh dan mungkin ide-ide lain yang bisa disaksikan via internet setelah tanggal rilis berlalu.

Tanggal rilis adalah perayaan gempita yang umurnya cepat. Tapi, apakah setelahnya karya benar-benar didengar? Atau langsung ditelan oleh mereka yang punya status baru di kemudian hari? Itu adalah dua pertanyaan yang selalu menarik untuk dicari tahu jawabnya bagi artis di era ini.

Termasuk juga menyetel cara sebagai pendengar untuk merespon fenomena ini. Untuk Denisa, saya memilih pendekatan yang lebih tradisional, yang beruntung menempel di dalam diri; mendengarkannya setelah bangun tidur lalu mengontak orang distribusi labelnya untuk menanyakan apakah saya bisa membeli cdnya di toko hari ini juga. Kemudian melakukan interaksi lebih jauh dengan produknya lewat transaksi pembelian kaos album ini.

Anyway, satu disclaimer penting: Sebisa mungkin saya selalu menolak pemberian rekaman fisik gratis. Apalagi yang mengharapkan untuk bantu dipromosikan karena satu dan lain hal. Jika kemudian saya mempromosikan sesuatu di ranah personal, penyebabnya hanya dua: Suka sama rekamannya atau dibayar. Tidak ada yang abu-abu. Seringkali penyebab pertama yang terjadi.

Prinsip itu menjelaskan kenapa lebih baik membeli ketimbang menerima gratisan. Lebih baik tidak jadi eksklusif. Karena lantas tidak punya beban untuk tidak jujur sama diri sendiri. Kalau albumnya jelek, anggap saja biaya. Kalau albumnya bagus, ya disyukuri dan memang jadi ongkos untuk menikmati musik itu sendiri.

Album bloodbuzz sudah punya dua single yang dirilis duluan; You Are Not My Savior dan Get It Together. Di dua lagu ini, Denisa menunjukkan keunggulan penting dalam penulisan lagu yang memang ia kembangkan dengan sangat baik.

Tuhan dibawa-bawa untuk ikut serta di lagu terakhir yang barusan saya sebut. Tanpa tedeng aling-aling, langsung diajak masuk di baris pertama. Tapi, cobalah cek dengan seksama lagu itu tentang apa. Gocekannya mantap, sudut pandang yang dipilih untuk bercerita luas.

Lalu, sebuah pop song rawan putar ulang yang disebut pertama, Denisa meletakkan kredo berbunyi, “You can’t die from loneliness…” yang sesungguhnya tidak perlu penjelasan lebih panjang lagi.

Album bloodbuzz menunjukkan bahwa berkembang adalah fase seru yang selalu hadir dalam kisah artis. Buat apa ada di titik yang sama dan tidak bergerak ke depan, ke halaman yang baru?

Di cerita Denisa yang baru memulai karir, eksplorasinya sangat-sangat-sangat menarik. Tips: Coba deh dengarkan secara kronologis karya-karyanya mulai dari single-single awalnya. Musiknya lumayan variatif dalam urusan eksekusi.

Di lagu J-Street bisa sangat groovy dengan kocokan gitar yang renyah, sampler tebal yang konsisten dan bisa bikin joget-joget kecil. Tapi sebaliknya, lagu penutup (Un)comfortably Alone bisa dreamy dengan layer gitar macam-macam dan memberi ruang bagi vokal penuh karakternya menonjol menyanyikan larik-larik cerita pahit yang ia tulis.

Sepertinya, dia memupuk banyak sekali referensi teknis dari perpustakaan lagu digital besar yang ada di genggaman. Plus lagi, yang bersangkutan punya latar belakang teknis produksi, yang otomatis bisa juga membawa cara berpikirnya langsung masuk ke balik dapur tempat karya dimasak.

Dari segi modal sosial, ia juga ideal; pernah bekerja bersama dengan Double Deer Music dan sekarang dengan deMajors Music. Keduanya pelaku industri dengan gaya bisnis yang beda. Belum lagi irisan dengan berbagai macam faksi musik di Jakarta yang secara langsung maupun tidak, juga membawanya pada seliweran informasi yang beredar (tentang apapun).

Tidak buru-buru juga penting, fakta bahwa album ini keluar setelah beberapa tahun berkeliaran sebagai artis, adalah penunjang penting yang menunjukkan kalau semua akan indah pada waktunya.

Kembali ke penulisan lagu, Denisa bisa menciptakan kombinasi yang baik dari bahan bakar emosional cerita, referensi musik, kemampuan produksi serta logika pemasaran internet. Kategori masakannya sudah aman.

Alur lagu dari satu lagu ke lagu berikutnya enak. Terasa sekali logika mendengarkan album dari depan sampai belakang diperhitungkan. Biasanya, pemahaman ini keluar dari jam terbang tinggi mendengarkan karya orang sebagai bagian dari publik, bukan seniman yang memproduksi karya. Termasuk juga meletakkan lagu penutup yang punya kesan megah; memberi ruang main-main dengan aransemen dan jadi penghabisan di mana level energi statusnya tinggal sisa.

Perlu dicatat pula bahwa sebagian besar lagu-lagu di bloodbuzz ditulis dan juga diproduseri bersama dengan Rayhan Noor dari Glaskaca/ Lomba Sihir. Buat saya, selain Lafa Pratomo, ia merupakan salah satu produser musik paling bernas yang dimiliki Jakarta. Karakternya kuat dan ada jejak-jejak khas yang selalu ditinggalkan, misalnya saja seperti kocokan gitar yang bisa dengan mudah dikenali di J-Street tadi.

Selain Rayhan Noor, lagu-lagu di bloodbuzz juga diproduseri sendiri oleh Denisa, Baskara Putra, Johanes Abiyoso dan Kevin Valeryan. Jangan heran kalau di tahun-tahun mendatang, dua nama terakhir akan makin sering ditemui di produksi rekaman di sekitar kita.

Sejak mendengarkan bloodbuzz pertama kali, sampai tulisan ini selesai dikerjakan, saya mungkin sudah lebih dari tiga puluh kali putar secara penuh dari depan sampai belakang.

Ini jadi pembuktian. Kita pasti bisa menyepakati bahwa mendengarkan satu album secara lengkap dari depan sampai belakang, dewasa ini, bukan merupakan persoalan yang mudah untuk dilakukan? Godaan untuk dengan gampang melewatkan bagian-bagian tertentu di dalam sebuah rekaman kan sudah begitu vulgar untuk menantang di depan mata. Jadi, menyelesaikannya sesuai dengan urutan merupakan sebuah keberhasilan yang patut dicatat.

Sangat mungkin, kalau dalam kasus saya, mendengarkan album ini dari depan ke belakang menjadi cocok untuk dilakukan karena kandungan ceritanya yang sesungguh-sungguhnya gelap. Caranya memotret sebuah peristiwa, sebenarnya memberi pandangan yang tidak biasa. Denisa jelas, bukan orang pertama yang merayakan kesedihan. Ia juga bukan orang yang pertama yang berhasil mengubah serangkaian kisah tidak terang jadi keindahan. Tapi, Denisa sedang meneruskan tradisi manusia untuk merekam keseharian yang tidak baik-baik saja. Itu yang perlu dirayakan dengan gegap gempita.

Lagu favorit Get It Together, (Un)comfortably Alone, You Are Not My Savior dan Ben.

Selamat datang (lagi-lagi-lagi), selamat membuka halaman yang baru, Denisa! (*)

Bendungan Hilir dan Bintaro
15-21 Oktober 2021

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending