Video ini mungkin bisa jadi awalan yang menjelaskan:
Penyanyinya adalah Navicula, salah satu band senior dari scene independen Bali. Lagu ini berjudul Merdeka dan diambil dari kantong album terbaru mereka, Tatap Muka, yang dirilis dalam bentuk dvd beberapa bulan yang lalu.
Liriknya begini:
“Senang rasanya bila saatnya nanti
Aku tak hanya sebatas mandiri saja
Mungkin lebih ku bisa berbagi
Oooo senangnya karena inilah tanggung jawabku
Pada hidupku
Hingga kapankah ku terus begini?
Menanggung malu…
Ibarat elang, ku harus terbang
Ku harus berdiri di kakiku sendiri
Dan lebih berarti…”
Saya baru memulai satu chapter baru di dalam hidup ini: Menjadi independen dan mendedikasikan waktu untuk scene musik independen yang telah saya geluti sejak tahun 1996. Nyaris dua puluh tahun kemudian, keputusan berani ini baru benar-benar siap untuk dijalankan.
Karier profesional saya di sebuah perusahaan milik orang lain dihentikan. Saya tidak memperpanjang kontrak uji coba di GetCRAFT, sebuah perusahaan content marketing yang sempat menjadi pelabuhan selepas hidup di AirAsia Indonesia diakhiri.
Umur saya di situ pendek. Tidak ada yang salah dengan GetCRAFT. Perusahaan ini berkembang dengan pesat, mengikuti visi dan misi mereka yang revolusioner. Kesalahan ada di saya. Karena ternyata tidak bisa punya visi dan misi yang sama untuk ikut kereta itu. Cara kami berpadu-padan tidak selaras, menyebabkan sejumlah luka untuk perusahaan dan ego yang terusik di dalam diri. Tidak ada pertikaian, tapi ada sejumlah momen di mana saya menemukan diri saya sebagai beban untuk perusahaan dan rasanya kisah itu tidak pantas untuk diteruskan.
Sejumlah momen itu kemudian menghantam saya dengan kencang. Memberikan sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi: Bahwa Felix Dass itu sejatinya adalah tukang. Bukan pengambil kebijakan di level eksekutif. Kebutuhan untuk berkarya itu selalu menggedor di sisi lain cerita. Ia minta diperhatikan.
Saya punya kehidupan lain di luar kantor. Kehidupan yang dibangun atas poros musik yang saya cintai dan scene independen yang menghidupi. Ia selalu menarik dan dibangun atas dasar cinta. Tapi, sebelum hari ini, ia selalu diperlakukan sebagai sampingan.
Dan itu tidaklah adil.
Bagaimana mungkin sebuah hal yang membuat kamu selalu berseri-seri dan membuncah senang ketika dihampiri, hanya berstatus sampingan?
Terlebih jika ia menghidupi. Baik secara nurani ataupun ekonomi.
Ini adalah fase hidup di mana saya membalik diri untuk apa yang saya cintai luar dalam itu. Saya memilihnya sebagai sandaran hidup –dengan sejumlah jaring pengaman, tentunya—. Mencoba mengejar sejumlah hal yang mungkin bisa jadi medium untuk menemukan seorang Felix Dass dalam kondisi terbaik.
Saya ingat sebuah peristiwa. Di sebuah pesta pertunangan teman dekat kami, Cholil Mahmud, berkisah tentang fakta inspiratif yang ia temui selama tinggal di New York dan New Jersey.
“Lix, elo tahu nggak kalau orang-orang yang berkarya di bidang seni di sana itu punya beberapa kerjaan. Pagi sampai sore atau malam mereka kerja di coffee shop atau jadi pelayan sementara malamnya berkarya. Mereka perlu jaring pengaman untuk bisa kerja. Dan itu lazim terjadi di orang-orang seni, kalau untuk hidup elo harus punya dua atau tiga pekerjaan sekaligus,” katanya.
Kisah itu menempel.
Lalu saya ngobrol dengan Bobby dari Marjinal, salah satu band punk yang paling keren di Indonesia –menurut saya—. “Kita ngejalanin Taring Babi sudah belasan tahun, Lix. Ada aja kok jalan untuk survive. Malah gue dulu nggak pernah mimpi bisa punya rumah sendiri. Dulu kita nomaden. Sekarang, semuanya dijalani barengan. Kalau mau makan nggak punya duit, kita masak sayur aja, makan bareng-bareng. Bisa kok,” jelasnya.
Kisah itu juga menempel.
Yang terakhir, beberapa bulan terakhir, saya akrab dengan sejumlah seniman kontemporer yang menganggap Ruang Rupa di Tebet sebagai pelabuhan mereka. Karena mengasuh sebuah program jangka panjang bernama #LOKALwisdom, saya jadi kenal lebih dekat dengan sejumlah orang. Untuk kemudian mengamati sejumlah kebiasaan hidup mereka.
Ada banyak tuntutan ekonomi dari sekitar, tapi mereka berhasil menjalani hidup dengan merdeka dan berdiri di kaki sendiri. Terlepas dari drama-drama personal yang mungkin ada, tapi urusan berkarya mengambil porsi besar di dalam hidup orang-orang ini.
Mereka melakukan apa yang mereka suka. Dan itu sangat menempel untuk saya.
Orang-orang ini merdeka. Dan kemerdekaan itu bisa membawa manusia pergi kemana-mana. Itulah yang saya yakini.
Saya berhutang pada inspirasi yang diberikan Cholil, Bobby dan seniman-seniman kontemporer Ruang Rupa.
Musik dan berbagai macam urusan menyenangkannya selama ini, selalu jadi sampingan untuk saya. Kini waktu yang tepat untuk memberikan ruang padanya untuk mengendalikan kemerdekaan yang saya miliki sebagai manusia dan memberikan hidup pada kisah yang ada.
Saya hanya berusaha untuk berbuat adil padanya.
Peran yang saya ambil, adalah orang yang akan mendokumentasikan banyak hal di scene independen ini.
Jadi, kalau bertanya, apa yang akan dilakukan oleh Felix Dass setelah AirAsia Indonesia dan GetCRAFT? Jawabannya agak panjang.
Saya akan membesarkan Midnight Tote, bisnis merchandise yang saya miliki bersama Stephanie Dass. Saya akan semakin banyak menulis, dalam bentuk buku atau artikel lepas di sejumlah media. Tentu saja kebanyakan tentang musik. Saya akan membuat sejumlah konser dan mungkin festival diskusi yang lagi-lagi basisnya musik.
Oh, saya juga sedang membuat film dokumenter tentang Superbad, salah satu seri musik paling penting di tanah Jakarta bersama dengan sejumlah kawan dari QUB TV.
Saya juga akan memperjuangkan sejumlah ketertarikan pada isu Jakarta dan betapa indahnya ia untuk dihidupi. Bentuknya adalah sejumlah karya yang berbasis kata-kata. Yang ini masih digodok dan mungkin akan diluncurkan satu-dua bulan ke depan.
Jadi, mari menjalani hidup. Alam raya tidak pernah menolak anaknya yang berusaha keras mengejar apa yang ia sukai. Kepercayaan itulah yang membuat saya mengambil beberapa langkah mundur untuk kemudian melaju kencang ke masa depan.
Benar kata Navicula, berdiri di kaki sendiri adalah kebutuhan. Dan saya baru mulai menjalaninya.
You’ll hear a lot from me in the future. (pelukislangit)
Rumah Depok
11 Agustus 2015
12.12