Jika pukul lima lewat dua puluh tiga adalah waktu yang dipilih untuk bangun dari tidur, maka bersyukurlah. Pagi hadir di sini dan ada opsi untuk menjalani atau tidak menjalaninya. Ia, bukan menjadi sebuah keharusan.
Langit Jakarta tidak sumir.
Ia penuh harapan. Mengaduk kopi dengan tangan kiri, menyapa tukang bubur ayam yang terlalu sibuk menuangkan tauge ke tiap-tiap mangkok pesanan orang yang tidak pernah berhenti datang atau bahkan bertukar senyum dengan penjaga pintu kereta yang kepanasan karena harus menggunakan seragam kerja lapis tiga.
Ini Jakarta. Di bagian pusat. Tempat di mana orang bisa sedikit lebih santai. Tidak ada awalan, yang ada hanya sisa-sisa kepadatan perjuangan mencapai pusat kota.
Dua tanganmu terbuka, menyambut hidup yang bergulir dengan penuh rencana. Hari esok, kendati jadi misteri, tapi seru untuk disambut. Hari ini, kendati dimulai terlalu dini, akan jadi perjalanan yang harus disetubuhi dengan penuh gairah.
Dan ada pagi yang harus dipandangi.
Langit Jakarta tidaklah sumir.
Ia memberi pilihan, bukan keharusan. Pintu keluar selalu terbuka lebar. Sebaliknya, tangan-tangan kokohnya membuka ruang untuk pelukan-pelukan akrab nan hangat.
Kita –saya dan kamu—tidak sendiri. Kita menikmati hidup. Seperti seharusnya. (pelukislangit)
30 Juli 2015 – Rumah Benhil
Ketika pagi datang dan harapan ada untuk dijelang
07:08