Untuk Majalah Hai

Sebuah janji percakapan ternyata membuat saya kembali menulis untuk Majalah Hai. Premis terakhir malah terjadi tanpa rencana. Seperti sudah bisa ditebak, ia selalu menyenangkan.

Saya berhutang banyak pada Majalah Hai. Majalah remaja laki-laki paling legendaris di Tanah Indonesia ini, adalah media nasional pertama yang menjadi rumah bagi saya. Sepanjang 1999-2000, saya bekerja untuk majalah ini. Menjadi seorang reporter SMA; tugas utamanya adalah menjaring kabar dari grass root guna menangkap tren apa yang sedang berlangsung di sana.

Sejujurnya, agak salah, karena saya berasal dari Kolese Gonzaga, yang mau ditelaah dengan penjelasan apapun, sudah pasti berbeda dengan SMA kebanyakan di jaman itu.

Salah satu orang yang merekrut saya dulu –yang kemudian menjadi teman baik—, Dharmawan Handonowarih, di kemudian hari mengonfirmasi hal ini; bahwa saya direkrut untuk memberi warna di dalam tim pers remaja waktu itu. Isi timnya masih diingat dengan jelas, ada Lasma dan Arie Rukmantara yang berkuliah di Universitas Indonesia, Aldo Turangan yang bersekolah di SMU 82 dan saya.

Saya masuk paling belakang. Tapi, lucunya, justru tinggal saya yang sekarang masih berprofesi sebagai penulis.

Sepanjang setahun penuh itu, saya belajar dari orang-orang hebat di dunia jurnalistik, mereka yang terkadang tidak menyadari bahwa mereka hebat. Yang masih tersisa di sana adalah kawan sealmamater saya, Danie Satrio, yang sekarang menjadi pemimpin redaksi majalah ini. Anyway, umur saya dan Dadang –panggilan akrabnya— terpaut jauh. Kebetulan saja satu almamater. Dulu, ketika saya ada di majalah itu, Dadang masih menjadi anak didik Syanne Susita, penulis musik legendaris Majalah Hai setelah Denny MR.

Setelah kontrak setahun habis, saya menjalani hidup seperti anak SMA pada umumnya. Tidak lagi jadi perhatian orang sesekolah karena berhasil punya kegiatan luar sekolah yang tidak umum. Lalu, saya pindah ke Bandung.

Sepanjang masa hidup di Bandung, saya masih menjalin kontak dengan sejumlah orang di dalam redaksi. Beberapa kali pula saya menulis untuk Majalah Hai dengan status contributor; meliput sejumlah hal seru di Bandung. Maklum, umurnya masih masuk.

Tapi, seiring perjalanan waktu, saya tidak pernah lagi diajak menulis. Mungkin karena memang umurnya sudah lewat dari masa remaja atau memang kebutuhannya tidak ada. Karir kepenulisan saya juga berkembang ke arah yang lain, menjadi fokus di musik.

“Ah, hubungan saya dengan Majalah Hai hanya tinggal sejarah kayaknya,” ucap saya suatu kali waktu itu. Maklum, majalah ini kerennya bukan main. Saya baca sejak duduk di kelas enam sekolah dasar. Kebayang nggak, pembaca setia selama lima tahun, tiba-tiba ditawari masuk dan menulis untuk majalah itu? Itu mimpi yang jadi kenyataan.

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi saya ketika tulisan pertama saya untuk Majalah Hai dipublikasikan. Saya menulis rubrik Hai Star dengan subyek Nova Eliza. Wawancara dilakukan dengan pelipis bekas jahit dan tangan luka-luka akibat kecelakaan motor beberapa jam sebelumnya. Drama.

Terlepas dari segala macam popularitas dan gegap gempitanya kehidupan waktu itu, saya belajar banyak dari Majalah Hai. Terutama mengenai dasar-dasar penulisan dan bagaimana menjadi seorang penulis yang baik. Karakter kepenulisan Felix Dass yang sekarang ini, dibentuk oleh Majalah Hai.

Yang namanya Dharmawan itulah yang paling berjasa kalau bicara urusan pembentukan karakter kepenulisan. Saya masih ingat juga, dulu salah satu hal yang paling dipermasalahkan olehnya adalah kecenderungan saya untuk mutar-mutar ketika mengungkapkan sebuah premis. Sampai sekarang, mulut tajamnya masih mengomentari hal yang sama. Yah, namanya guru, pasti paham bagaimana mengelola anak didiknya.

Lalu, alam raya ternyata tidak membuktikan sebuah hal yang tidak pernah saya sangka sebelumnya; ia ternyata masih membawa kesempatan untuk menulis bagi Majalah Hai datang lagi ke dalam hidup saya.

Sekarang, saya tiga puluh satu tahun, menjelang tiga puluh dua. Dulu, saya enam belas tahun ketika ada di dalam. Nyaris dikali dua umurnya, tapi ruang dan kesempatan masih datang. Bahasa Inggrisnya, “Couldn’t ask for more” kan namanya?

Ceritanya lucu, beberapa minggu yang lalu, Rian dari Majalah Hai membuat janji untuk wawancara. Perihal scene musik folk di Indonesia yang sedang semarak. Obrolan terjadi di tengah pilihan bodoh naik taksi dari Kemang ke Tebet di jam pulang kantor untuk siaran #LOKALwisdom di RURUradio. Ia bertanya tentang perkembangan scene folk Indonesia. Entah siapa yang memberikan rekomendasi untuk mewawancarai saya.

Di tengah-tengah wawancara, tiba-tiba saya nyeletuk, “Eh Rian, gue tulisin aja deh rekomendasi band yang harus dicek sama pembaca ya? Gue milih lima, gimana?”

“Boleh aja, Lix, apa aja bandnya?” tanya Rian balik.

“Ok, kalau lima, gue milih Silampukau, Banda Neira, Stars and Rabbit, Tetangga Pak Gesang dan Nostress,” jawab saya.

“Boleh, Lix,” balasnya.

“Ok, sampai Ruru –RuangRupa—, gue ketikin ya. Kebetulan waktu siaran gue masih lama,” sambar saya.

Rian di ujung telepon nampak senang. Jelas, ini tidak pernah diharapkan sebelumnya. Sesampainya saya di RuangRupa, saya langsung sibuk di depan komputer dan menuliskan rekomendasi lima nama tadi. Lengkap dengan alasan kenapa mereka harus didengarkan. Sesederhana itu.

Majalah itu kemudian terbit tanggal 8 Juni 2015, persis di malam saya menghelat pertunjukan Silampukau di Kedai Tjikini. Ternyata, seluruh rekomendasi saya itu dicetak menjadi dua halaman majalah. Gede sekali.

Senang rasanya mengetahui hal itu. Bangga masih bisa menulis untuk rumah yang membuat diri ini berkembang jauh. Benar-benar tidak disangka. Sayang, Rian dan si editor lupa menaruh nama saya di spread dua halaman itu. Hehe. Tidak apalah, untuk rumah tercinta, jangan terlalu perhitungan.

Saya muter-muter mencari tulisannya di internet, belum bisa didapatkan linknya. Satu hari nanti dipost deh, supaya bisa lebih banyak yang baca.

Dan di balik semuanya, tinggal satu yang tersisa untuk saya: Senang bisa menulis kembali untuk Majalah Hai. (pelukislangit)

Rumah Benhil
22 Juni 2015
21.11

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: