“People travel to wonder at the height of the mountains, at the huge waves of the seas, at the long course of the rivers, at the vast compass of the ocean, at the circular motion of the stars, and yet they pass by themselves without wondering.” – St. Augustine
Melihat gunung adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan. Menyaksikan bentangan alam yang berbeda dari apa yang dilihat sehari-hari di kota, merupakan pengalaman yang menyegarkan. Apalagi jika itu dilakukan bersama dengan orang yang menyenangkan.
Saya punya seorang teman baik. Namanya Liyana Fizi. Umur kami dimulai beda dua hari, saya lahir tanggal 12, dia 14. Tahun yang sama. Persamaan bulan membuat kami menjadi dua orang Virgo. Rasi bintang ini, katanya punya kemampuan untuk membuat cerita. Tapi, cenderung drama.
Karakter kami berdua mirip; suka tantangan, kurang menyukai kemapanan, susah untuk jadi konglomerat, tapi bisa berbicara tentang apa saja dan biasanya panjang-panjang. Kebetulan, kami disatukan oleh minat yang sama pada musik. Dia jadi musisi, saya jadi orang yang suka mengomentari musisi.
Singkat cerita, kami berencana untuk pergi melihat Jazz Gunung di kaki Gunung Bromo. Acara ini merupakan ajang tahunan yang unik di mana orang bisa menyaksikan sebuah festival di tengah udara yang super dingin tapi venuenya super cantik. Pengalaman ada di tengah-tengah festival jauh lebih menarik ketimbang mengetahui siapa yang main.
Headliner hari pertama ini adalah Tulus, kebetulan teman lama kami berdua. Album perdana Liyana direkam di Bandung dan Tulus pada waktu itu kebetulan ada di sekitar lingkaran yang sama dengan tim yang memproduksi rekaman Liyana. Plus, beberapa tahun belakangan ini, Tulus menjelma menjadi seorang raksasa musik baru untuk industri Indonesia. Apa yang ia hasilkan, luar biasa bagus.
Tentu saja, selain datang untuk festival, kami berencana untuk melihat wisata yang ditawarkan oleh Gunung Bromo. Ada kisah menarik yang saya sampaikan ke Liyana beberapa bulan yang lalu.
“Li, kamu tahu nggak kalau salah satu nenek saya masih bisa naik ke kawasan ini? Dia hanya tidak kuat berjalan saja ke tempat melihat sunrise. Kita nggak perlu persiapan fisik yang gimana-gimana sih, tinggal pergi saja. Yang penting, cukup tidur,” kata saya waktu itu.
Maklum, berdasarkan riset dan tanya-tanya sekitar, waktu naik untuk mengejar sunrise itu lumayan ekstrim. Semua dimulai pukul tiga dan berakhir sekitar pukul sembilan. Bayangkan kalau kurang tidur, sudah pasti badan semriwing dibuatnya. Padahal, hari esoknya masih ada festival yang harus dikejar.
“Kamu saja deh yang riset, saya tinggal tunggu saja harus ngapain,” kata Liyana suatu kali pada saya. Mungkin ia malas, atau mungkin ia hanya iseng dengan membiarkan saya memimpin proses riset. Karakter rasi bintang kami dominan dan hal seperti ini merupakan sebuah hal yang aneh. Terbukti kemudian, di dalam salah satu perdebatan kami, terbongkar bahwa ia juga sempat melakukan riset kecil. Haha. Tapi, di situlah drama ada untuk dinikmati.
Kami juga suka berbagai macam moda transportasi. Itu kenapa gambar di halaman ini menunjukan berbagai macam moda transportasi yang kami ambil sepanjang perjalanan kemarin.
Padahal, awalnya kami tidak ingin repot, ingin membayar paket enak seharga Rp.2.400.000 untuk tahu beres diantarjemput dan nonton festival dengan hotel yang relatif paling bagus di kawasan wisata itu. Tapi untung tiket paket itu habis. Jadi, kami harus memutar otak untuk mengakali perjalanan.
Karena harus ngeteng, kami memilih untuk datang sehari lebih awal dari seharusnya. Tadinya mau ke Malang, tapi Liyana tidak mendapatkan tiket pesawat yang masuk akal harganya untuk tiba pagi hari di Surabaya. Akhirnya, kami memutuskan untuk rehat sejenak di Surabaya.
Waktu untuk rehat itu, merupakan pilihan bijak yang harus ditempuh. Maklum, anak kota besar yang ingin cuti kerja, biasanya habis digerus waktu sehari sebelumnya. Daripada kami kenapa-napa karena fisik yang lemah, lebih baik punya waktu ekstra untuk mempersiapkan kondisi fisik sebelum menuju Bromo.
Terima kasih kepada kawan Kikio Nugraha yang memberikan saya kupon Hotel Quickly yang membuat kami bisa menginap di hotel bagus di Surabaya dengan harga yang miring. Kebetulan, hotelnya juga dekat dengan ORE Premium Store/ Carpentier Kitchen milik Alek Kowalski, si Joni Surabaya, teman lama saya.
Hari pertama dihabiskan di sana dengan berbincang-bincang bersama Alek dan Dewi Asthari, istrinya, serta Juna, anak sulungnya. Hamidah, anak bungsunya masih terlalu kecil untuk berbicara. Haha.
Alek ini adalah salah satu kawan yang paling saya hormati. Ia punya cerita yang luar biasa menarik, tentang menghidupi kota Surabaya dan menyalakan api untuk melakukan apa yang ia suka.
“Gue masih bikin event, Lix. Ini yang gue mau, punya toko dan bikin event,” katanya. Di percaturan kota, nama Alek, tidak pernah bisa dikesampingkan. Ratusan event sudah ia gelar dan banyak orang yang telah ia buat jadi bahagia. Besar-kecil, untung-rugi, ramai-sepi telah mampir ke kisahnya. Tapi konsistensi membawanya ada di sebuah titik yang menyenangkan. Dan karenanya, saya punya respek yang sangat besar pada Alek dan apa yang ia lakukan. Ia tidak berubah banyak sejak pertama kali mengenalnya dulu, paling hanya lebih gendut.
Sampai malam, kami belum mengetahui bagaimana harus menjangkau Bromo. Alek juga ikut repot mencarikan informasi bagaimana kami harus jalan ke sana. Padahal sih, tidak sulit-sulit amat.
“Saya mau naik train, bisa nggak?” tanya Liyana.
Di perjalanan sebelumnya, ketika pergi ke RRREC Fest 2014 di Tanakita Sukabumi, kami pergi dengan Commuter Line dan menyambung dengan kereta api Bogor-Sukabumi. Dan memang, perjalanan kereta api di Indonesia itu harus diakui menyenangkan. Apa yang akan dilihat di sepanjang jalan itu bisa jadi hiburan tersendiri.
Malam itu, kami riset sedikit. Ternyata, memang ada kereta pagi dari Surabaya ke Probolinggo, salah satu dari empat kota kabupaten tempat Bromo berada. Berangkatnya dari Surabaya Gubeng pukul 09.00 WIB. Kalau naik kelas eksekutif, harganya antara Rp.90.000 – Rp. 110.000.
Karena sudah tidak bisa beli tiket online, akhirnya kami beli tiket go show di stasiun. Kami datang lebih awal. Tiketnya kena Rp.105.000. Lumayan untuk perjalanan dua jam.
Sesampainya di Probolinggo, ada seorang calo menyambangi kami. Tadinya kami akan ke terminal dan menunggu mobil elf yang harus penuh dulu untuk berjalan ke Terminal Cemoro Lawang di kawasan wisata Bromo. Ia menawarkan harga Rp.50.000 untuk shuttle dari sebuah travel agent untuk langsung pergi ke Bromo tanpa menunggu elf penuh.
Setelah dipikir-pikir, saya mengiyakan ajakannya. Tarif normal elf adalah Rp.35.000 dan bisa dijejali sampai delapan belas atau dua puluh orang. Lumayan kayak pepes sepertinya.
Saya dibawa ke sebuah travel agent bernama De Java yang dikelola Mas Tomo. Ia bisa dikontak di 081358955050. Ketika kami datang, Mas Tomo sedang melayani sepasang Orang Belanda yang ingin pergi ke Kawah Ijen.
Ngomong-ngomong, paket standar wisatawan asing di kawasan ini adalah pergi ke Bromo lalu ke Kawah Ijen dan langsung ke Bali. Dalam tiga hari, mereka akan dikenakan biaya Rp.1.200.000 untuk seluruh menu itu. Termasuk sudah di dalamnya hotel di Probolinggo tempat asal keberangkatan dan di kawasan Kawah Ijen. Lumayan menarik mengingat waktu tempuh yang lumayan jauh.
Saya dan Liyana menunggu. Ternyata terjadi kesalahpahaman. Mas Tomo tidak menyangka bahwa kami hanya akan pergi ke Bromo. Ia pikir kami akan mengambil rute yang sama dengan sepasang Orang Belanda tadi. Ia memberi tahu bahwa shuttle sudah habis.
“Lah, gimana, mas? Tadi kata temannya masih ada. Bisa dibantu? Saya juga ingin membeli paket naik ke atas. Kalau bisa dari sini, langsung sajalah,” ujar saya mencoba meminimalisir rasa panik. Liyana duduk di satu titik dan coba membuat dirinya sibuk dengan bermain ponsel. Padahal, dia juga agak panik, pasti. Kami harus tiba pukul tiga sore di venue festival untuk registrasi ulang guna mendapatkan tempat duduk yang ok.
Setelah menunggu sejam, akhirnya Mas Tomo datang dengan solusi. “Udahlah, saya cariin transport saja. Tapi elf nggak apa ya? Kamu bayar Rp.35.000 saja,” katanya. Saya mengiyakan. Ia tidak mengambil untung dan malah bertanggung jawab mencarikan solusi.
Akhirnya, kami naik elf ke Terminal Cemoro Lawang. Kebetulan, hotel tempat kami tinggal di situ dilewati oleh elf yang berangkat dari bawah.
Festivalnya berlangsung menyenangkan. Persis seperti ekspektasi. Liyana malah menang banyak. Tulus mengajaknya naik ke panggung untuk menyanyikan sepotong bagian dari lagu Bumerang, lagu favoritnya. Tidak sengaja, tapi jadi surprise yang seru. Untung kamera saya bisa merekam momen ini.
Sayang, Tulus harus cepat pergi selepas pertunjukan. Di belakang panggung, saya sempat ngobrol dengan Anto Arief, juga seorang kawan lama, yang sekarang menjadi touring guitarist Tulus. Ia punya band funk berbahaya bernama 70’s Orgasm Club yang sedang merampungkan album penuhnya. Kata sedang itu sudah dinikmati sejak delapan tahun yang lalu rasanya.
Hari pertama selesai, tapi kami terlalu lama ngobrol di lokasi festival. Padahal, dalam beberapa jam sudah akan dijemput untuk naik ke lokasi sunrise. Alhasil, mata semriwing juga dibuatnya ketika jemputan tiba.
Tapi, kesemriwingan itu terbayar lunas. Apa yang kami saksikan luar biasa bagus. Sepadan dengan pengorbanan bangun pagi.
Ketika di Penanjakan 1, lokasi melihat sunrise yang dipilih oleh guide kami, saya teringat lirik lagu Tepi Campuhan-nya Slank. “Di sini aku kecil dan tak berarti,” katanya. Itulah yang ada di dalam kepala menyaksikan matahari naik dan memainkan daya magisnya.
Tur membawa kami ke Pasir Berbisik. Itu juga tidak kalah seru. Sayang agak ramai karena memang sedang akhir pekan padat akibat Jazz Gunung.
Hari yang sangat awal dan terasa super panjang itu benar-benar melelahkan. Itu membuat kami baru punya energi penuh di sore hari untuk menyaksikan festival hari kedua. Lineupnya di hari minggu agak kendor. Tidak semenarik hari pertama. Tapi, semua orang tetap tersenyum.
Yang jadi lebih seru, menurut saya, adalah kesempatan kami mencoba kereta ekonomi keesokan harinya di perjalanan pulang menuju Surabaya.
“Li, saya belum pernah naik kereta ekonomi sebelumnya loh,” ucap saya pada Liyana.
“Sombong kamu!” jawabnya singkat. Karena ia orang asing, maka perlu upaya ekstra untuk menjelaskan bahwa kereta ekonomi di Indonesia itu baru sekarang mengalami perbaikan masif. Sebelumnya super mengerikan dan menguji nyali. Tapi, pengalaman kereta ekonomi saya menyenangkan. Kecuali harganya.
Di jarak yang sama dari Probolinggo menuju Surabaya Gubeng, kami dikenakan tarif Rp.100.000. Padahal, keretanya beroperasi dari Banyuwangi sampai Jogjakarta. Semua tarifnya flat. Kan menyebalkan? Hanya kereta itu yang jadwalnya cocok dengan rencana lanjutan kami di Surabaya untuk mendatangi Festival Kampung Ampel yang digagas oleh Alek dan teman kami yang lain, Anitha Silvia.
So, overall, perjalanannya sangat menyenangkan. Dua Virgo ini mendapatkan akhir pekan yang sangat menyenangkan. Termasuk drama-drama kecil yang lebih baik jadi konsumsi kami pribadi. Termasuk juga adegan tersasar. Yang dibilang St. Augustine di awalan tulisan ini benar. Liyana menemukannya keesokan harinya ketika kami sudah kembali ke kehidupan kota yang normal.
Kalau energi cukup, mungkin saya akan menulis tentang Festival Kampung Ampel.
Ini rekomendasi penting: Jazz Gunung adalah salah satu festival musik yang harus kamu datangi setidaknya sekali dalam hidup. Yang lebih penting lagi, saya dan Liyana mencintai Bromo. Kami akan kembali lagi ke sini. Berulang-ulang. Gambar-gambar di halaman ini menjelaskan kenapa kami akan kembali lagi kan? (pelukislangit)
Rumah Benhil
18 Juni 2015
18.45
Foto oleh Felix Dass dan Liyana Fizi
Benar-benar larut membacanya. Ikut sebel, seneng, haru, dan khawatir saat baca. Keren Mbak. Fotonya juga bagus-bagus.
Haha. Kenapa harus sebel?
Ya ikut terbawa arus tulisannya.
Next Year klo ke Bromo lagi dan lagi di Probolinggo, mampir ya mas Felix. Storynya seru, sayang kmarin kita gak ketemu hehehe..
Halo! Terima kasih sudah baca. Pasti akan ke Bromo lagi sih. Di masa-masa yang akan datang. Magical suasananya.
Pengalaman yang menyenangkan ya, menikmati indahnya jazz dan merdunya gunung.
Pengen dateng ke Jazz Gunung tahun depan deh 😀
Sekali dalam hidup, ini festival yang wajib kunjung statusnya.
menyenangkan sekali membacanya dan pananjakan itu emang rame buanget hampir ga ada sepinya (kebetulan saya kerja di tour travel haha)
Yoi. Bisa dimengerti. Hanya kemaren kayaknya lebih mantap ramenya karena ada Jazz Gunung. Tapi, menyenangkan sekali kok. Akan kembali lagi ke sana. 🙂
tulus oh tulus