Saya sedang berada di dalam sebuah perjalanan tur bersama AriReda. Akhirnya bergulir juga rencana yang ini. Ada dua tulisan cerita di balik layak. Versi saya ada di sini. Dan versinya Reda Gaudiamo ada di sini. Keduanya menjelaskan bagaimana kami bisa menjalankan sebuah tur.
Pertunjukan pertama, dengan sadar memang sengaja dimulai di kota kami tercinta, Jakarta. Di coffeewar –Salah satu pemiliknya, Yogi Sumule, bilang bahwa cara penulisan yang benar adalah seperti itu. Entah apa alasannya. Prinsip egaliter, mungkin—. Di sebuah hari Jumat yang labelnya Friday the 13th.
Mungkin, itu juga banyak orang yang datang terlambat malam itu. Kami memulai pertunjukan molor sekitar lima belas menit dari waktu yang telah ditentukan, pukul 20.15. Awalnya, ingin didorong lebih telat sampai 20.30.
“Nggak mau ah, gue ngantuk. Besok kan kita harus pagi banget,” kata Reda Gaudiamo sigap merespon ide itu.
Waktu, memang harus dijaga betul. Dan kami, satu sama lain, menyikapinya dengan saling mengingatkan. Malam itu, rencana telah disusun. Saya akan pulang ke rumah sendiri, lalu Ari Malibu –dengan alasan efektivitas— menumpang tidur di rumah Reda Gaudiamo. Kami bertiga janjian di Bandara Soekarno-Hatta. Disty Noegroho juga mengikuti sejumlah tanggal tur ini, dia berangkat langsung ke bandara.
Seluruh perabotan lenong telah dikemas. Mayoritas adalah merchandise; kaos dan ratusan cd. Kami berkelakar, “Wah, ini sih namanya pedagang yang pergi tur. Bukan band yang pergi tur.” Haha.
Sekedar informasi, rata-rata penjualan cd AriReda setiap kali main adalah lima puluh keping. Angka yang sangat fantastis. Dan semuanya diraih dengan aksi-reaksi yang sama. Ada templatenya. Tapi, marilah itu kita bahas di kali lain. Kami membawa merchandise banyak untuk kepentingan menangkap momen.
Tur ini, dirancang mandiri. Menyambungkan banyak kemungkinan. Memang, kami beruntung karena menghasilkan perhitungan ekonomi yang sehat di setiap pertunjukan. Tapi, tetap saja, keberadaan penjualan merchandise itu membantu sekali banyak sempilan-sempilan rencana yang muncul kemudian.
Di coffewar pula, kami kedatangan tamu spesial, Ricky Surya Virgana dari White Shoes and the Couples Company/ We Love ABC. Kebetulan, Reda memang sedang punya sebuah project belajar-mengajar dengan Ricky. Jadi, ya disatukan saja. Tidak ada rencana yang pasti. Tiba-tiba di siang hari, keduanya mengabari.
“Eh, nanti gue main ya malam. Standby pukul berapa?” tanya Ricky via Whatsapp. Tidak berapa lama, Reda juga mengirim pesan senada. Menginformasikan kalau Ricky akan memainkan cello di beberapa lagu AriReda di malam pembukaan tur ini.
Waini! Akhirnya, mereka semua memulai latihan bersama. Pada pukul enam sore, dua jam sebelum pentas dimainkan. Udah gila. Bisa dibilang, ini kolaborasi yang sifatnya impromptu. Tapi karena kualitasnya setara, bisa dimainkan dengan mudah. In the name of musiclah pokoknya.
Latihan sekejap itu sudah lumayan bikin pening mereka berdua.
“Gue nggak bisa deket-deket nih lihat mereka main. Bisa nangis. Makanya gue di luar aja deh nunggu mainnya,” kata Ricky ketika pertunjukan dimulai. Haha. Potensial merusak ternyata lagunya AriReda.
Keberadaan Ricky juga membuat AriReda sok-sokan membuat setlist. Mencoba mengatur pertunjukan dengan formasi lagu yang dirasa cocok. Tentu saja, mereka tidak pandai menyusun itu. Bukan keahlian merekalah untuk menyusun rencana setlist. Tapi setidaknya karena di hampir setiap malam kami telah menyepakati bahwa akan memainkan lima belas lagu, catatan diperlukan sebagai patokan.
Jumlah yang lima belas itu juga harus dilakukan karena AriReda akan bermain setiap malam. Ritme fisik harus dijaga dengan baik.
Anyway, kolaborasi AriReda dan Ricky Surya Virgana bisa dilihat di link ini:
Secara umum, buat AriReda, pertunjukan di coffeewar kemarin itu merupakan sebuah kick off yang sangat ideal. Kami –mereka dan saya— merasa, perjalanan kami direstui banyak orang dan itu membuat segala sesuatunya jadi lebih ringan. Kendati malam itu akhirnya kami hanya tidur dua-tiga jam. Penerbangan pagi akan membawa kami ke Malang, kota berikutnya.
***
Perjalanan ke Malang berjalan biasa saja kecuali pesawat yang mendarat dengan benturan aspal yang super keras. Konon katanya, Bandara Abdul Rahman Saleh di Malang, memang merupakan salah satu bandara yang sulit untuk didarati. Mirip karakternya dengan Bandara Hasan Sadikin Bandung yang menantang. Runwaynya pendek, itu yang membuat penerbangan harus bersiasat mengakali proses pendaratan.
Dari bandara, rombongan langsung menuju penginapan. “Lumayan, bisa tidur dulu sebentar. Ngelanjutin tadi yang di pesawat,” kata Ari Malibu yang akan menjadi teman sekamar saya sepanjang tur ini. Kami semua berhasil mencuri waktu tidur.
Kami akan bermain di sebuah festival. Yang saya kaget, mental festival AriReda ternyata sudah terbentuk dengan baik. Band ini, tidak ribet. Ringkes dan sangat memahami apa yang harus dilakukan. Itu kenapa kami bisa dengan mudah mencuri waktu soundcheck.
Rully Pratama Putra, sound engineer White Shoes and the Couples Company yang kami curi waktunya, dengan senang hati mempersilakan AriReda untuk naik panggung terlebih dahulu. Mengingat White Shoes and the Couples Company masih memiliki proses persiapan untuk mengatur alat-alat mereka.
Tahu apa yang dimaui, benar-benar membuat semuanya jadi mudah. Dan cepat. Bermain di festival, selalu sarat dengan banyak kepentingan yang membuat seorang penampil untuk tidak egois dan membagi banyak hal. Yang kami lakukan di soundcheck lebih ke penyesuaian beberapa hal dasar. Saya tidak mau ke urusan teknis yang tidak dikuasai, tapi buat AriReda, resepnya tidak sulit.
Ari tinggal menyebutkan ia mau suaranya seperti apa dengan tambahan sejumlah efek dan mereka mengetes satu-dua lagu. Selesai. Selebihnya hanya mengecek menu visual dan memastikan kursi dan stand book terpasang dengan baik.
Acara molor sekitar satu jam. Itu membuat waktu tampil kami yang tadinya pukul 15.15 juga ikur molor. “Malah bagus. Semakin sore, semakin enak,” pikir saya dalam hati. Intuisi itu benar, akhirnya.
Sebelum main, ketika sedang menikmati kopi sore, beberapa orang menghampiri kami di dekat warung kopi di seberang jauh panggung itu. Adegan standar AriReda terjadi, permintaan tanda tangan. Padahal, kami sudah secara terbuka mengumumkan bahwa AriReda akan berada di booth merchandise sekitar waktu break maghrib. Adegan standar ini, harus dilakukan karena dengan begitu, kami bisa ngobrol langsung dengan mereka yang mendengarkan musik AriReda. Ilmu marketing yang juga standar dan sederhana. Yang paling penting, adalah memetakan siapa yang sebenarnya mendengarkan AriReda dan apakah kami sudah berjalan di jalanan yang ditargetkan.
“Aduh, yang gini-gini bikin gue lemes nih,” kata Reda.
Ia merespon Sarita Rahmi, vokalis Teman Sebangku yang menitikan air mata ketika akhirnya bisa bertemu. “Gue suka banget sama AriReda,” katanya, tanpa sadar memperburuk keadaan. Haha.
Yang Reda maksud dengan lemas, memang benar adanya. Ia malah bertambah gugup ketika hal-hal seperti ini terjadi. Agak aneh sih, karena kami sedang minum kopi.
Kami juga bertemu seorang kawan baru bernama Herman yang datang jauh-jauh untuk festival ini dari Palangkaraya. Ia bercerita bahwa ia datang ke festival itu bersama sejumlah teman dan salah satunya khusus untuk menyaksikan AriReda bermain. Gila kan? Palangkaraya dan Malang, bukanlah kota yang tersambung dengan jalur transportasi yang mudah. Hebat!
Ketika main, setidaknya sudah ada sekitar seribu orang di barisan penonton. Sudah mulai padat. Yang menarik, ketika nama AriReda disebutkan, lumayan banyak orang bersorak. Lumayan juga.
Karena waktu yang tidak selonggar biasanya, hari itu sedari awal memang kami telah menentukan bahwa AriReda hanya akan memainkan sepuluh lagu.
Lagi-lagi skenarionya sama; mencoba menentukan setlist karena diminta oleh tim teknis festival guna mengatur visual, tapi gagal di lagu kedua.
Saya berseloroh, “Ayo taruhan sama gue, sejuta-sejuta, pasti berubah.” Tentu saja, tidak ada yang berani mengiyakan hal tersebut. Kalau diiyakan, pasti kalah.
Setnya lumayan menyenangkan. Karena sebaran penonton yang ikut komat-kamit menyanyikan lagu-lagu yang dimainkan merata. Good crowd, as always!
“Gue sengaja ngadu mata sama orang-orang yang ikut nyanyi, eh mereka malah makin kuat nyanyinya,” kata Reda seturun panggung.
Nih, begini penampakannya:
Canggih kan? Malang ini memang luar biasa hebat sih kalau dipikir. Dua kali saya datang ke sini karena urusan musik, keduanya tidak pernah mengecewakan. Malah menggembirakan.
Kami semua bahagia bisa mengambil bagian dari Folk Music Festival 2016. Lucu kalau dipikir, malam sebelumnya kami main di depan sekitar delapan puluh sampai seratus orang, besoknya di depan lebih dari seribu orang. Itulah seninya tur. Ada banyak variasi bisa didapatkan di sana.
AriReda juga bertemu banyak kawan baru selain Herman. Selama sejam-dua jam, kami duduk di sekitar booth merchandise dan bertegur sapa dengan orang-orang baru. Kebanyakan dari mereka anak-anak muda. Beberapa teman dari kota lain juga khusus berkunjung ke festival ini dan merelakan datang lebih awal untuk menyaksikan AriReda. We couldn’t ask for more.
Kami harus kembali ke Malang untuk sebuah pertunjukan yang lebih panjang. Semoga ruang dan waktunya memungkinkan di masa yang akan datang. Kota ini memang ada untuk dicintai.
Ruang waktu yang sempit, membuat kami tidak punya banyak cerita selain urusan manggung di kota ini. (pelukislangit)
Malang/ Denpasar
15 Mei 2016/ 17 Mei 2016
Foto oleh Felix Dass, Rori Syarif, Anitha Silvia dan Soundquarium