Kota keempat di rangkaian #radioofrocktourserial2 adalah Surabaya. Sehari setelah Malang yang brilian.
Di sepakbola, Surabaya dan Malang tidak beda dengan Jakarta dan Bandung. Tegang. Tidak jelas kenapa. Tapi, untunglah, untuk urusan musik, keduanya masih bisa berjalan beriringan.
Pertunjukan keempat di Surabaya berlangsung di sebuah gedung yang biasanya digunakan untuk venue pernikahan. Kebetulan juga, gedung ini dikelilingi oleh sejumlah panti pijat plus-plus. Mungkin, itu membuatnya jadi lebih populer. Hehe.
Kami tiba super pagi di kota itu. Venue pertunjukan dan hotel tempat rombongan beristirahat, hanya dipisahkan sebuah parkiran. Enak, karena berarti tidak ada proses untuk berpindah dari hotel ke venue. Di Malang, karena urusan logistik model begini, kami nyaris melewati waktu yang disepakati dan jadi akuarium terbuka ketika harus membelah antrian penonton yang sudah berkerumunan di depan gedung pertunjukan. Situasi seperti itu, tidaklah enak.
Di Surabaya sendiri, rombongan kehadiran bantuan dari jagoan lokal, Silampukau. Untuk pertama kali, saya menyaksikan mereka bermain dalam format band, sesuatu yang selalu mereka lakukan kalau main di Jawa Timur.
“Inilah format yang sebenarnya, kami biasanya kalau ke Jakarta karena terpentok budget, jadi tidak pakai pemain drum,” terang Eki Tresnowening yang malam itu membawa oleh-oleh sebuah kardus isi dua belas botol Anggur Merah. Lumayan, untuk merasakan panas Surabaya yang sesungguhnya.
Di sepanjang perjalanan, minuman keras adalah suplemen tambahan untuk membuat cerita jadi lebih seru. Tentunya, dalam kadar yang moderate. Tidak berlebihan. Contohnya ini, saya dan Thema Isriarti, si koordinator proyek.
Di ujung acara, ia masih dengan sigap menghitung pemasukan yang ada bersama Anitha Silvia, seorang teman baik dari SatsCo yang menjadi co-organiser tur ini di Surabaya.
Boleh kan? Kendati bersenang-senang, ada bagian yang memang harus dijalankan. Bukan apa, menanggung hajat hidup orang banyak soalnya.
Di Surabaya, kami berhasil mengumpulkan sekitar 900 orang. Koor panjang terjadi di mana-mana.
Ini contohnya, penampilan Goodnight Electric memainkan Bedroom Avenue, lagu favorit saya:
Kehangatan ada di mana-mana. Di akhir acara, bahkan semua anggota White Shoes and the Couples Company menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan penonton di booth merchandise. Bagaimanapun, interaksi model begini adalah fondasi dasar bagaimana scene independen lokal menjadi sangat menyenangkan untuk orang banyak. Ini videonya:
Hal yang sama juga dilakukan kawan-kawan dari Efek Rumah Kaca. Saya yakin, melihat yang model begini, banyak band dari arus sebelah sana yang ngiri bukan main akan pencapaian-pencapaian bersenang-senang secara kolektif yang bisa dicapai oleh sebuah tur swadaya.
Surabaya juga mencatat kesempatan terakhir saya menyaksikan Efek Rumah Kaca sebelum mereka vakum karena Cholil Mahmud harus mengurus urusan personal beberapa tahun mendatang. Semoga saya salah. Pertunjukan terakhir di The Jayapub harus dilewati karena saya punya urusan pribadi di tempat lain.
Itu juga kenapa leg Surabaya ini baru bisa dipost sekarang dan kamu tidak akan mendapatkan yang bagian Denpasar karena saya juga absen dari leg itu. Huh. Senang rasanya jadi bagian dari tur ini.
Pasar bisa diciptakan! Tidak bosan. Ini gambar-gambar yang berhasil direkam. 🙂