Yang dibilang seniman Riyan Riyadi alias The Popo di rilis resmi Sinestesia, benar. Katanya, “Siapkan energi pendengaran dan emosi yang tak tertahan. Lagu-lagu di dalam album ini cukup panjang, bisa menimbulkan kebosanan dan melelahkan atau menimbulkan rasa penasaran.”
Dari tiga premis yang ia sajikan di kata pengantar itu, saya memilih konsep ketiga; menimbulkan rasa penasaran.
Perasaan itu sebenarnya sudah bersemayam sejak balasan surat elektronik dari Cholil Mahmud masuk beberapa bulan yang lalu ketika lagu Pasar Bisa Diciptakan dirilis untuk publik. Pada waktu itu, saya harus mewawancarainya untuk sebuah artikel yang dimuat oleh The Jakarta Post. Tulisannya bisa dicek di sini.
Di balasan surat elektroniknya, Cholil bercerita tidak dengan panjang lebar tentang Sinestesia. Padahal, beberapa substansi yang coba ia sentuh lumayan revolusioner untuk kisah Efek Rumah Kaca yang telah ia tulis sejak lebih dari satu dekade lalu bersama Akbar Bagus Sudibyo dan Adrian Yunan Faisal.
Ada beberapa sebaran fakta yang minta dikorek; album ini berdurasi panjang, hanya terdiri dari enam judul, pemain bas Adrian yang lama tidak aktif di panggung menjadi produser musik sekaligus merekam bagiannya dengan sangat cepat sejak beberapa tahun yang lalu dan mereka memilih pendekatan baru untuk mengeksekusi karya yang dihasilkan.
Sinestesia juga merupakan judul yang dipilih untuk menggambarkan keadaan kolektif mereka untuk memotret karya yang telah dihasilkan. Pilihan untuk memberi judul enam track di album ini dengan warna adalah interpretasi yang coba disajikan kepada pendengar.
Teman saya, Hasief Ardiasyah, bercerita. Beberapa minggu yang lalu, ia mendapatkan kesempatan eksklusif untuk berkendara bersama Cholil, Adrian, Akbar dan Asranur –pemain kibor panggung mereka— keliling Jakarta dan mendengarkan album itu sepanjang perjalanan. Ini adalah trik lama untuk mencoba mengevaluasi hasil rekaman yang telah dipoles di dalam studio. Alat pemutar musik di mobil dipandang lumayan standar untuk mengetes hasil rekaman. Karena pendekatan yang digunakan tidak terlalu lo-fi atau hi-fi.
“Lagu-lagunya panjang, belum nempel,” ceritanya ketika saya tanya.
Berbagai macam elemen misteri itu, nampaknya memang berhasil disimpan untuk kemudian diledakan pada waktunya. Tanpa tanda-tanda, 18 Desember 2015 yang lalu, Sinestesia dirilis secara luas untuk publik.
Satu album dilepas dulu dalam bentuk digital dan sejak tadi malam (21 Desember 2015), versi fisiknya tersedia. Di versi fisik, ada banyak artwork yang melengkapi. The Popo menyumbang beberapa artworknya dan duo The Secret Agents mengerjakan karya-karya fotografi berbasis warna sesuai dengan tracklist Sinestesia. Keberadaan artwork-artwork ini terasa begitu mewah. Sangat menggoda untuk membawanya ke format collectible yang lain. Dibingkai dan dipajang di tembok rumah, misalnya.
Jika proses perilisannya tanpa tanda-tanda, musik Sinestesia tidak begitu. Ia punya jejak kental yang sudah mereka tinggalkan sejak album Kamar Gelap. Di album itu, ada satu track berjudul Menjadi Indonesia yang penuh dengan singkup dan ketidakbiasaan pilihan nada. Track itu terlalu dinamis dan membuka ruang yang sangat lebar pada pilihan kreativitas yang liar.
Jejak itu kemudian dilanjutkan dengan Hilang yang masuk di album kompilasi Frekuensi Perangkap Tikus 1 yang rilis beberapa tahun kemudian. Bagian spoken words di ujung lagu melengkapi nuansa sendu yang celakanya berhasil ditebar dengan sempurna sedari awal sampai akhir. Hilang kemudian disulap menjadi sepertiga bagian Jingga, salah satu track di Sinestesia.
Perkembangan musikal mereka, bisa diprediksi. Kendati ledakannya tidak bisa dikira-kira. Maksudnya, tidak heran jika kemudian Efek Rumah Kaca sebagai kolektif menyentuh apa yang mereka akrabi sekarang. Benihnya sudah ada, yang mereka lakukan hanya memupuknya dan membiarkan kehidupan memimpin proses penciptaan karya yang berlangsung sejak 2009.
Perlu enam tahun untuk bisa merilis Sinestesia. Cikal bakalnya mulai dikerjakan di tahun itu ketika, misalnya, gitaris tambahan Andi Sabaruddin masih bermain bersama. Atau ketika kesehatan Adrian belum merosot sehingga memungkinkannya untuk memainkan bas di seluruh lagu yang ada di album ini.
Proses yang panjang itu membuat Sinestesia matang. Mungkin, mereka bisa berkilah bahwa album ini sudah tertunda sekian lama sehingga secepat mungkin harus dikeluarkan untuk menunaikan janji yang sudah terucap tapi belum terlaksana sampai saat sebelum ia rilis. Tapi setiap bagian pengerjaannya membangun konstruksi yang sangat kokoh. Sadar maupun tidak disadari.
Porsi bernyanyi Adrian di album ini jadi sedikit tambah besar. Sementara Cholil menyeberang ke sejumlah ranah baru yang belum pernah mereka sentuh di dua album sebelumnya. Badan lagu-lagu yang ada cenderung tidak simetris dan seperti Menjadi Indonesia serta Hilang tadi, penuh dengan singkup yang sulit ditebak.
Lagu-lagu di Sinestesia, sangat tidak cocok untuk dikover oleh mereka yang sedang belajar main gitar dan berpikir mengunggah versinya ke Soundcloud, misalnya. Lebih mudah melakukan itu ke lagu-lagu dari dua album pertama ketimbang lagu-lagu di Sinestesia. Haha.
Di departemen musik, album ini juga kaya instrumen. Mereka bukan lagi pop tiga jurus, melainkan paduan musik komplit dalam bentuk band dengan layer gitar ganda serta keberadaan pemain kibor tamu yang aktif plus paduan suara kecil yang siap menghasilkan teriakan-teriakan jargon ala demonstrasi yang merdu.
Coba cek bagian Pasar Bisa Diciptakan di komposisi Biru. Atau Ada-Ada Saja –bagian dari Merah—yang punya beat timur tengah dengan vokal tebal beraneka ragam. Atau juga Keberagaman yang membentuk Kuning. Yang terakhir disebut secara khusus mengulang efek Desember dan Balerina, mereka sama-sama lagu dengan anthem khusyuk di ujung lagu. Formula ini diulang dengan sengaja oleh Efek Rumah Kaca.
Dan tentunya, kita tidak bisa berbicara tentang Efek Rumah Kaca tanpa menyentuh bagian liriknya. Cholil lebih keras dengan lirik-liriknya di Sinestesia.
Topik yang ia pilih cenderung tegas dan tidak menyisakan ruang pemahaman instan. Kamu harus membaca penuh seluruh tulisannya untuk kemudian memahami apa yang ia maksud.
Tiada (untuk Adi Amir Zainun), misalnya. Lagu ini mengambil sudut cerita yang sangat indah, kendati sangat menyeramkan untuk saya. Kematian digambarkan dari sudut pelaku cerita. Ia jadi seorang realis yang tidak punya pilihan untuk menolak kematian, akan tetapi merayakannya sebagai salah satu fase yang seringkali dilupakan orang dari seluruh sirkus menarik bernama kehidupan yang kita miliki masing-masing.
Ini adalah lirik Efek Rumah Kaca yang paling saya suka sekarang. Mengalahkan Lagu Kesepian di album Kamar Gelap.
Perasaan terbakar juga tidak ketinggalan ikut muncul ketika mendengarkan Hilang dengan seksama. Dengan indah, Cholil menggambarkan sebuah pembiaran serta pemakluman terjadi. Padahal obyek kejadiannya terhampar sudah terlalu lama, sejak 1997-1998. Salah satu fase paling gelap dari Indonesia modern itu pelan-pelan menjelma menjadi isu usang. Dan mereka sebagai kelompok musik telah memainkan perannya untuk terus mengingatkan orang agar tidak pernah lupa bahwa negara sebagai entitas pernah melakukan kekerasan fisik yang berujung pada hilangnya orang-orang yang memilih untuk vokal mengkritisi keadaan dan perlakuan pemerintah yang tidak semestinya.
Ia juga mengambil jeda untuk menjadi penulis yang penuh metafora di Ada, sebuah lagu yang didedikasikan untuk anaknya dan anak Adrian serta sejumlah orang baru yang akan muncul di masa depan dalam keluarga besar Efek Rumah Kaca. Metafora yang terpapar juga secara gambling membawa band ini masuk ke gerbang baru bernama spiritualitas.
Kata benda itu ditegaskan kembali lewat track penutup berjudul Kuning yang dibangun oleh lagu Keberagamaan dan Keberagaman.
Konsepsi Tuhan yang dibuat jadi basi oleh banyak penganutnya yang cenderung terlalu serius sehingga jadi fanatik dan fasis karena tidak bisa menerima perbedaan sesungguhnya adalah cerita paling jujur tentang Indonesia hari ini. Embrio kengerian yang bisa ditimbulkan oleh gesekan tidak penting dan super bodoh ini, memang perlu direkam. Supaya orang-orang yang mau dan punya kedewasaan mendengarkan Efek Rumah Kaca bisa memulai sebuah bola salju dan bilang ke sekelilingnya, “Eh, santai aja lagi. Agama dia mah agamanya. Agama gue, ya agama gue. Nggak usah diadu mana yang lebih baik atau jelek.”
Lewat lirik-liriknya, Cholil, Adrian dan Akbar berkontribusi pada negeri yang diharapkan jadi lebih baik. Album ini, pada awalnya, terdengar berat. Tapi layaknya sejarah yang berulang, album-album yang awalnya disangka berat, ternyata punya kontribusi besar pada pendefinisian musik sebuah generasi.
Dengan Sinestesia, Efek Rumah Kaca menunaikan tanggung jawabnya untuk memberi warna dan sudut pandang yang segar untuk kehidupan orang banyak.
Kalau diterima oleh pasar, berarti musik Indonesia secara kualitas telah menyentuh ranah baru. Jika kemudian di satu hari nanti generasi anak dan cucu kita mencari asal-usul ranah baru itu, mereka dengan mudah bisa menyebut satu nama produk: Album Sinestesia milik Efek Rumah Kaca. (pelukislangit)
Rumah Benhil
21 Desember 2015
Mengalami sebuah peristiwa yang mengusik kalbu dan menyebabkan airmata muncul tanpa diundang ketika mendengarkan Hilang berputar.
Seluruh foto diambil dari Facebook Page Efek Rumah Kaca.
Update dilakukan 22 Desember 2015
2 thoughts on “Efek Rumah Kaca Kembali dengan Sinestesia”