Pilihan untuk menjadi penulis lepas penuh waktu, membawa sebuah pengalaman baru. Sekaligus membuat diri menemukan batasan baru, terutama ketika bekerja dari jalanan.
“Wah, enak dong kalau harus ke Surabaya? Bisa makan enak sepuasnya.”
Surabaya dan makanan enak adalah padanan pengertian kota yang seringkali terlontar dari orang-orang di sekitar. Rangkaian kalimat di atas seringkali pula keluar dari lawan bicara jika pembicaraan menyinggung pekerjaan yang sedang dijalani.
Bulan November ini, ada sekitar tujuh belas hari kerja jauh dari Jakarta, kota yang jadi rumah. Yang namanya perjalanan bisnis bukanlah sebuah hal yang baru. Bisa dibilang, saya orang yang berpengalaman kalau menyangkut urusan yang satu ini. Tapi, kuantitasnya ternyata sedikit berjalan liar di luar perkiraan.
Secara instan, tentu saja, pemasukan yang didapat bikin senyum. Angka tujuh belas itu tidak sedikit. Yang paling menarik sebenarnya adalah menemukan batasan yang bisa digeser-geser, mengetes kemampuan sampai semana.
Profesi saya adalah penulis. Beberapa bulan yang lalu, ketika memutuskan untuk bekerja penuh waktu menjadi penulis lepas, ada sebuah pikiran yang menggelayut, “Kalau saya mengeksploitasi kemampuan saya menulis, berapa banyak sih karya yang bisa dihasilkan dalam satu hitungan bulan?”
Hitungan ada berapa karya itu adalah satu hal yang ingin dicari tahu. Dan bagaimana karya-karya tersebut diselesaikan juga menjadi hal yang menarik untuk dicatat. Menggeber dan mengelola waktu menjadi persoalan tersendiri yang harus dicari triknya. Tanpa mencoba, rasanya tidak pas. Jadi, kesempatan bulan ini, benar-benar berharga.
Jalanan membuat saya melihat banyak langit. Bermacam-macam karakter kota yang dijelajahi bulan ini sejujurnya memberi warna yang variatif di keseharian. Tapi, bekerja adalah bekerja.
Bekerja di Surabaya, misalnya, sudah bukan lagi tentang makan enak di sudut A atau sudut B. Bukan juga tentang berkeliling melihat bagaimana Surabaya menyikapi tren kehidupan terbaru atau berbagai macam ketertarikan pribadi yang harus ditanggapi.
Agak heran juga mengetahui bahwa saya tidak segitu adventurousnya lagi dewasa ini. Mengatur perjalanan, mengecek agenda lalu membangun rangkaian pekerjaan yang ada di lokasi-lokasi yang berdekatan, lebih jadi pilihan ketimbang berburu makanan atau melihat tempat baru yang khas dari kota yang dikunjungi.
Waktu dihabiskan lebih banyak di kamar hotel, bertemankan internet atau siaran langsung Piala Sudirman di Net TV. Makan seadanya, tidak dicari tapi lebih ke menemukan apa yang ada di sekitar. Ringkas, tapi wajib efektif.
Perkiraan meleset, bisa bikin kendor fisik dan menguras energi yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan. Jadi, kepresisian jadwal harus diperjuangkan. Itu kenapa fokus pada pekerjaan jadi penting dan berbagai macam hal petualangan yang biasa dilakukan jadi sekunder.
Ini persis rasanya dengan band yang sedang tur secara spartan ke banyak kota dalam jeda waktu yang mepet. Tujuannya ya main band, bukan wisata. Jadi, tidak terlalu eksploratif. Yang parahnya, saya bahkan mikir dua kali ketika ditawari segelas Martell oleh seorang yang saya temui di jalanan.
Ada sebuah protokol baru yang sedang tumbuh di dalam diri. Dan itu menyenangkan untuk direkam. Tentang bagaimana fokus terhadap proses bekerja dan mengeksploitasi kemungkinan yang harus dihadapi.
Kepadatan jadi proses latihan. Sehingga batasan jadi tergambar dengan lebih jelas. Di akhir bulan ini, saya akan menghasilkan dua puluh dua artikel, tiga buah proposal kerja dan sejumlah tulisan senang-senang model begini.
Terlihat padat, tapi sebenarnya dari seluruh hari kerja yang terjadi, saya hanya perlu meluangkan waktu larut dan jadi kendor keesokan harinya tiga kali. Not bad kan? Selebihnya, tidur masih cukup dan tidak berkontribusi aktif pada menebalnya kantong mata.
Fokus ternyata jadi resep yang mujarab. Lumayan bahagia sih jadinya. Batas ternyata ada untuk ditemukan dan dijadikan patokan. Ia elastis, suatu hari nanti, pasti bisa digeser.
“Yang jelas, jangan pernah menolak rejeki,” kata seorang teman suatu kali. “Tapi juga jangan serakah, semuanya mau diambil,” kata seorang teman lainnya.
Saya bukan yang pertama menerjunkan diri keluar dari zona nyaman dan mencoba mengenali batas kemampuan personal di jalur independen. Ada banyak orang yang lebih dulu menemukan pattern mereka, mengejar apa yang disukai dan menghidupi.
Tidak sedikit pula yang akhirnya meletakan diri mereka pada posisi budak; mengumpulkan pundi-pundi tapi lupa membelanjakannya. Lalu ketika ditanya, “Emangnya uang yang elo punya buat apa?”, akan dia seribu bahasa karena tidak bisa menjawab.
Apapun itu, selama pilihannya diambil secara sadar dan dalam kondisi merdeka, maka di sanalah hidup menunjukan sisi terbaiknya.
Bekerja sendiri dan menemui sudut-sudut jalanan yang menemani keseharian membuat cerita saya lebih punya warna. Suatu kali, saya pernah bicara panjang lebar dengan seorang yang sangat dekat. Ia, yang masih ada di sekitar saya sampai hari ini.
Kami terlibat dalam sebuah obrolan tanpa juntrungan tentang masa depan –sesuatu yang tidak begitu sering saya lakukan—. Di suatu bagian, ada satu pertanyaan yang kami sepakati untuk dijawab oleh diri masing-masing.
“Kamu mau end up jadi apa di dunia ini?”
“Aku mau jadi penulis yang kerjanya bisa di mana saja, mungkin duduk di desa nanti pas tua. Sesekali turun ke kota untuk menyaksikan musik,” jawab saya.
Lawan bicara saya punya jawaban yang menarik, “Aku pengen running panti jompo. Tapi ya harus kerja keras untuk sampai sana. Perlu uang banyak yang harus dicari.”
Dua hal itu, adalah tujuan. Dan berkarya adalah sebuah proses untuk mencapai tujuan yang kita miliki di dalam kepala. Penting buat saya yang memilih untuk ada di sini untuk tahu batasan terlebih dahulu, baru kemudian melanjutkan proses berkarya. Anggap saja, beberapa bulan ini, saya sedang dalam euforia menjadi orang yang merdeka dan berdiri di atas kaki sendiri.
Inilah kehidupan yang coba saya petakan sekarang ini. Menyenangkan, karena pilihan untuk berdikari ternyata berjalan sesuai rencana. Rejeki, sudah ada yang mengatur. Jadi, menurut saya, fokus manusia memang hanya berkarya dan bekerja keras mengerjakan tugasnya.
Termasuk keluar kota dalam kuantitas yang sering dan kadang membiarkan kerinduan tidur di kasur sendiri menggelora begitu besar. Karena, sebagus-bagusnya kamar hotel yang ditiduri setiap malam, pasti tidak seindah kasur sendiri.
Dan termasuk juga tidak pernah lagi berburu makanan enak di sebuah kota yang dikunjungi. Makan adalah proses untuk mengumpulkan kembali energi, bukan semata adegan memanjakan lidah yang bisa merasa. Perjalanan adalah tentang menunaikan tugas, bukan mencari varian rasa. Jadi, santai saja.
Ini pilihan sadar yang menarik. Menantang karena tidak pasti, tapi tidak perlu ditakuti selama keinginan untuk bekerja keras masih ada.
Oh, dan sekarang saya punya batasan baru untuk standar waktu bekerja yang ideal dalam keseharian. Mau tahu apa? Cukup duduk manis di depan televisi di ruang bawah rumah dan menyaksikan Ini Talkshow sedari detik pertama. Nggak perlulah terlalu sering pulang malam dan kelewatan begitu banyak indahnya hidup. Brengsek? Iya. ☺ (pelukislangit)
23 November 2015 – Argo Parahyangan – 19.24
26 November 2015 – Garuda Indonesia GA189 – 20.21
*) Seluruh gambar diambil di dalam perjalanan bisnis yang saya lakukan belakangan ini. Beginilah pemandangan saya kalau di jalanan.