“Dan kita tetap berjaya mendatangkan duka
terhempas menuju hidup yang membunuh suka…”
(8)
Album baru ini merupakan sesuatu yang telah dibicarakan sejak 2010. Judulnya masih sama seperti apa yang digadang-gadang sejak dulu kala, Los Skut Leboys. SORE, salah satu produk terbaik yang pernah dihasilkan scene independen lokal, memasuki sebuah babak baru.
Ketika tulisan ini dibuat, mereka adalah salah satu band independen yang paling sibuk di Indonesia. Jadwal main mereka padat sejak satu dua tahun belakangan ini. Sebelumnya, mereka sempat mati suri. Absen dari kehidupan orang banyak karena berbagai macam hal.
Mereka, dipercaya orang banyak punya magnet yang membuat sebuah pertunjukan jadi menarik untuk didatangi. Minat yang disalurkan pada musik-musik yang pernah mereka rekam di masa lalu masih tinggi. Penggemarnya militan, seolah selalu ingin bernyanyi bersama setiap kali ada kesempatan datang.
Los Skut Leboys adalah sebuah album penuh yang dinanti. Ada banyak orang, termasuk saya, ingin ikut serta dalam perjalanan menebak kemana arah perjalanan SORE berikutnya.
Kita juga sama-sama tahu bahwa Ramondo Gascaro, seperlima bagian dari dua album pertama SORE berpisah dengan empat orang lainnya. Yes, ada drama yang menambah bumbu kisah (dan tidak habis-habis dibahas sampai hari ini, padahal kejadiannya sudah lama) dan ada fakta bahwa mesin yang membentuk kolektif yang hebat itu hilang satu. Jika tadinya lima, sempat berenam dengan kehadiran Dono Firman, maka sekarang tinggal empat. Celakanya, Ramondo Gascaro punya peran yang tidak bisa dibilang kecil dalam proses penciptaan dan pengemasan karya.
Jadi, Los Skut Leboys adalah pembuktian yang penting, menurut saya; tentang bagaimana SORE memproduksi album penuh tanpa Ramondo Gascaro yang pernah berperan besar itu. Pertanyaannya, seperti apa album ini jadinya tanpa dirinya?
Di video ini, Awan Garnida memberi penjelasan. “Kalau dulu, ceritanya nih, chefnya tuh Mondo.”
Sekarang, masih menurutnya, mereka jalan dengan tiga orang yang kebagian peran tukang masak; Adink Permana, Sigit Pramudita dan Aghi Narottama. Itu adalah disclaimer yang manis, bahwa album ini adalah babak baru bagi SORE.
Ibaratnya, mereka adalah sebuah restoran yang berpisah dengan tukang masak. Seluruh fungsi operasional lainnya masih jalan dengan baik, hanya tukang masaknya hilang. Oleh karenanya, dipanggilah tiga orang tukang masak baru sekaligus untuk menjalankan fungsi yang ditinggalkan oleh orang yang lama.
Ini jadi pengingat, bahwa kolaborator datang dan pergi. Kalau memang prinsip tidak bisa dikompromikan, biar saja ego memimpin kita melihat hari esok yang lebih cerah. Belum tentu ia akan membawa perjalanan jadi buruk kan?
Banyak pakem lama yang mereka punya, direkonstruksi. Termasuk art direction yang sayangnya nampak blang-blonteng di album ini. Bukan tidak bagus, tapi nampak kurang serasi di beberapa bagian. Yang jadi referensi saya adalah versi deluxe Los Skut Leboys yang kemasan visualnya merupakan hasil kolaborasi karya yang dibuat oleh Monica Hapsari dan Dedidude. Karya kedua orang ini, seperti tidak nyambung. Padahal kualitasnya sangat baik.
Ok, mari dilanjutkan, kembali ke musik.
Hidup yang punya nafas baru adalah apa yang diperjuangkan SORE lewat album ini. Kisi-kisinya sudah terbentang dengan baik lewat tiga lagu baru yang mereka rekam di album kompilasi Sorealist. Respon orang pun menarik, ada gelombang baru penggemar SORE yang berkenalan pertama kali dengan single Sssttt lalu mengulik kembali katalog mereka untuk kemudian jatuh cinta lebih dalam.
Yang lama pun, rasanya bisa menerima keberadaan single-single yang diproduksi oleh SORE yang coba move on itu. Ini babak baru, yang harus disimak dengan angle penerimaan yang beda. Bandnya berubah.
SORE yang coba move on itu sekarang punya Los Skut Leboys. Album yang proses pengerjaannya lama sekali. Ada berbagai macam kombinasi yang menyebabkannya lama selesai.
Pendekatan produksi yang berbeda, ternyata, membuat album ini lebih lebar jangkauan kolektivitasnya. Pemain bas sekaligus vokalis Awan Garnida dan Reza Dwi Putranto hanya terlibat di beberapa lagu. Begitu juga Bemby Gusti yang di beberapa kredit lagu porsi main drumnya disikat orang lain.
Keberadaan tiga orang produser tadi membuat SORE melihat dunia yang berbeda. Mereka keluar dari titik nyaman yang pernah mereka singgahi bertahun-tahun yang lalu.
Proses kreasinya lumayan cair. Ada banyak nama terlibat dan karenanya secara umum album ini belang kalau dibandingkan dengan dua album penuh pertama SORE. Keberadaan Ade Paloh sebagai penulis lagu utama memberikan garansi kalau mereka masih punya lirik bernas dan lagu-lagu ciamik.
Hanya saja, faktor tukang masak tadi membuat rasa memang jadi beda. Tidak guna membandingkan mana yang lebih baik. Buang-buang energi, toh untuk pelakunya ini bukan soal menang-kalah. Personil yang tersisa tidak bisa komplain karena nyaris tidak ada yang berubah di diri mereka; masih tetap ditanggap main dengan bayaran lumayan, pengikut makin loyal, karya dikonsumsi dengan level yang bukan main dan berbagai macam hal bagus lainnya.
Romantisme klasik yang membuat mereka berlabel eklektik, sudah ditanggalkan. Entah dengan sadar atau tidak. SORE di Los Skut Leboys lebih menginjak bumi. Hasil produksi yang lebih sederhana membuat lagu-lagu yang mereka rekam tidak terdengar seperti SORE yang dulu.
Baju mereka baru. Tapi mereka masih membunuh dengan materi-materi di album ini.
Mari kita gunakan perumpaan lainnya. Ibaratnya hari, Centralismo dan Ports of Lima dikerjakan di sesi pagi dengan energi yang meledak-ledak. Idealisme mereka untuk menghadirkan karya yang akan punya durasi ingat lama begitu besar. Dan mereka berhasil. Tidak perlu upaya banyak dan lama, di pertengahan hari, kedua album itu sudah membuat orang paham siapa SORE.
Lalu, mereka melanjutkan cerita. Sorealist adalah sesuatu yang mereka hasilkan selepas makan siang; sesuatu yang punya unsur malas-malasan tapi tetap berkualitas baik karena awalan harinya dimulai dengan sangat bertenaga.
Sementara Los Skut Leboys adalah sebuah sore hari yang rindang. Bagian yang tidak begitu menentukan lagi, sebenarnya, tapi punya peran yang sangat penting untuk menjembatani perjalanan masuk ke bagian paling emas dalam hidup manusia, malam. Malam itu, untuk saya, sifatnya purna. Momen yang paling enak untuk melihat apa yang telah terjadi. Saat terbaik untuk belajar dari seluruh perjalanan yang telah diselesaikan untuk masuk ke halaman berikut hidup.
Malam mungkin membuat mereka matang, dewasa dan super menyenangkan dari segi karakter. Mau tidak mau, untuk ke sana, mereka perlu Los Skut Leboys yang punya kemampuan mengalun konstan selama nyaris satu jam lewat empat belas tracknya.
Lagu favorit saya: 8, Fiksinesia, Belajar untuk Riang, There Goes, Pop Drama dan Map Biru. Mereka, tetap berjaya membuat saya bilang Los Skut Leboys adalah sebuah album yang bagus.
Oh, ini untuk dicatat, menurut saya, perpisahan SORE dengan Ramondo Gascaro tidaklah menguntungkan untuk semuanya. Hanya saja, empat orang personil yang ada di dalam tubuh SORE lebih beruntung; mereka berempat, jadi dari segi kekuatan sudah pasti lebih padu. Sementara Ramondo Gascaro tinggal sendiri. (pelukislangit)
QZ203 – KL-Jakarta 29 Agustus 2015
Rumah Benhil – 15-16 November 2015
Foto SORE oleh Bunga Yuridespita
entah apa jadinya kalo dalam pop drama & plastik kita ada si komorebi, mungkin akan sangat meledak.dari sekarang yang sudah luar biasa melenakan.
bukan berarti mondo yg jalan sendiri buntu atau sore berempat lebih padu, tapi justru sore berasa kebagi 2, disatu sisi sore jadi lebih liar dan mondo lebih leluasa dalam aransemen, yg keduanya masih tetep BAHAYA!
🙂
Menurut gue, seperti sudah ditulis, memang lebih baik mereka bersama. Tapi sekarang kan fasenya, kebersamaan itu ada di masa lalu. Jadi, ya sudah wajib dihargai fakta tersebut. Tapi memang, pandangan-pandangan seperti elo gini, nggak bisa dihindari.
Gue kurang sepakat kalau dibilang Sore lebih beruntung. Cek aja materi baru Mondo. Berimbang Lix. Meskipun gitu album ini ajaib. Aransemennya dikerjakan bukan oleh personilnya. Gue mikirnya merupakan hasil intrepetasi orang-orang sekitarnya yang selama ini menyerap musik Sore.
Dan soal kemasan iya nih. Gue punya cd-nya, aduh kemasannya kurang greget banget. Sebagai anak desain/senirupa gue ngeliatnya kaya undangan nikahan standar haha. Kurang bijak kenapa persegi panjang. kenapa ngga bujur sangkar standar cd aja? belum lagi pemilihan font body-nya ngga enak di mata. Bikin susah baca.
Parameter beruntung atau tidaknya sebenarnya lebih ke sejarah yang mereka punya, To; yang satu isinya empat yang tersisa dan masih pakai nama SORE, sementara Mondo sendiri dan mengusung namanya sendiri. Yang notabene statusnya pendatang baru, walaupun nggak baru-baru amat. Tetap ada pengaruhnya, menurut gue. Paling bener sih, mereka bersatu kembali. Walau sekarang nggak mungkin. Satu hari nanti, mungkin.
albumnya sore menurut aku spesial banget . soalnya ada artis terkenal yang terlibat di album ini ria irawan dia sebagai fans sore padahal publik gak ada yg tahu . padahal jarang2 artis terkenal yang ngefans sama band indie bernama sore. menurut aku special album loe skut loe boys bayangin aja ada joko anwar ini unik banget padahal sutradara malah terlibat terus aimee saras.
pokoknya di albumnya sore kelihatannya spesial dibanding centralismo dan port of lima.
Halo! Terima kasih sudah membaca reviewnya. Elo kayaknya lebih suka yang gegap gempita dengan keterlibatan selebriti ya? Hehe. Coba tolong fokus ke musiknya. Hehe. Membandingkan sih, sah-sah aja; lebih suka A ketimbang B. Tapi, menurut gue, kalau kita bahas musik, paradigmanya ya musik. 🙂
Buat los skut leboys saya suka bbrp track kyk 8.al dusalima, plastik kita dan tatap berkalam,map biru
Selebihnya hanya lewat saja. Tp yg patuut dikasi apresiasi adalah bbrp liriknya yg bernuansa religius
Tapi gak dlm semangat menggurui dan mengancam.
Tp emg, packaging cd ga menarik.