Tulungagung dan Kereta Api

Dalam sembilan hari, dapat kesempatan untuk melihat tempat baru dari kacamata kereta api. Tulungagung di bagian akhir cerita menguatkan sesuatu di dalam kepala; bahwa hidup bisa dijalankan dengan kecepatan lambat.

Perjalanan pekerjaan membawa saya ke Tulungagung. Perjalanan menantang menggunakan kereta api lokal Dhoho/ Penataran selama empat setengah jam dari Surabaya mengawalinya. Menaiki kereta kelas ekonomi tanpa kereta makan di jam makan siang yang terik sepertinya lumayan membosankan. Tapi belum apa-apa, saya sudah salah sangka.

IMG_0709

Sebelumnya, saya sudah tiga kali menggunakan kereta api kelas ekonomi. Yang pertama dalam perjalanan dari Probolinggo ke Surabaya, Bogor-Cisaat dan Jogjakarta-Solo. Semuanya tidak punya durasi yang panjang. Kurang lebih hanya dua jam. Nah, kali ini, empat setengah jam. Dari Surabaya, tidak banyak pilihan yang bisa ditempuh; hanya bus antar kota yang dijamin ugal-ugalan, mobil sewaan atau kereta api.

IMG_0739

Karena hobi naik kereta diam permanen beberapa tahun terakhir, jadilah saya mengambil opsi terakhir. Kepalang tanggung, kesempatan untuk bertualang ke kota-kota kelas dua di sebuah propinsi yang bukan tempat saya berdomisili, tidak datang setiap hari.

Surabaya-Tulungagung dilayani oleh kereta api Dhoho/ Penataran yang jalan empat kali sehari. Rutenya lumayan aneh. Karena rangkaiannya berubah nama di tengah rute; Surabaya-Blitar menggunakan nama Dhoho lalu Blitar-Malang-Surabaya menggunakan nama Penataran. Pattern jalannya tidak sama, kalau di konsep komuter mungkin mirip dengan loop line yang mengelilingi sejumlah tempat tapi tidak melewati jalur yang sama.

IMG_0708

Dari Surabaya Gubeng, perjalanan ke Tulungagung melalui dua puluh empat kali perhentian. Itu yang membuat perjalanan jadi lama. Plus, ada dua kali persilangan stasiun yang harus dilalui. Salah satunya di Stasiun Kertosono di mana kereta harus menunggu sekitar dua puluh menit untuk membiarkan kereta lain melaju duluan. Kalau rata-rata dua menit, berarti sudah empat puluh delapan menit terbuang.

IMG_0711

Kereta kelas ekonomi itu sempit. Kursinya tegak, harus mengatur posisi duduk dengan orang di seberang. Sekilas, nampak tidak nyaman. Tapi karena tidak punya pilihan, jadilah saya harus menjalani pengalaman ini. Untuk kemudian dibuktikan bahwa saya salah besar menjalaninya dengan berat hati.

Saya duduk di deret E, ada di sisi yang dua kursi. Sisi ABC di seberang dan sisi DE di sebelahnya. Kereta kelas ekonomi komposisinya memang 2-3, bukan 2-2.

Di dalam perjalanan ini, berbagai pemandangan mampir. Saya melihat Jawa Timur yang bukan Surabaya, yang bukan metropolis. Stasiun-stasiun kecil menyediakan pengalaman baru. Senyum-senyum orang terasa tulus. Yang paling keren adalah ketika kereta tiba di kawasan Jombang.

Kereta disergap hujan deras. Hujan pertama dalam beberapa bulan.

Menyaksikan butiran air turun dari atap kereta lewat jendela itu romantisnya bukan main. Tapi, bisa hilang begitu saja ketika lapisan karet di jendelamu bocor tipis dan mulai mengalirkan gugusan air dalam kuantitas kecil. Dikasih romantisnya hanya lima menit, selebihnya malah menanggulanginya dengan sedikit improvisasi mencabut tatakan kepala sebagai kain penghalang air.

IMG_0725

But that’s ok. Romantika menikmati romantisme. Hujan tidak berumur lama, kemudian langit kembali cerah dan matahari yang terik menguasai alam semesta kembali.

Di beberapa perhentian yang lama, saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan sejumlah petugas yang ada di sekitar kereta. Dari mereka, saya melihat bagaimana institusi ini benar-benar berubah.

Memang, secara fisik, masih banyak elemen infrastruktur lama jaman jabot yang masih digunakan. Contohnya gambar di bawah ini –nanti saya ceritakan ini apa—. Tapi, secara umum, wajah mereka ceria. Menandakan bahwa memang etos kerjanya sudah baik. Keceriaan yang terpancar menyiratkan bahwa mental di dalam korps kereta api ini telah berubah. Mereka dirancang untuk tidak kaku dan sepenuhnya punya niat untuk melayani penumpang.

Untuknya, kita harus berterima kasih pada Ignasius Jonan. Kendati ketika dipromosikan menjadi menteri ia tidak bagus, tetapi ia melakukan sebuah perubahan mental yang signifikan ketika memimpin PT. Kereta Api Indonesia.

IMG_0714

Ok, sebelum menjadi tulisan politik yang basi, mari kita lanjutkan ceritanya. Mesin di gambar atas, adalah sebuah mesin sederhana untuk menutup perlintasan kereta. Mesinnya buatan Belanda, sudah dipergunakan puluhan tahun. Kini, masih beroperasi dengan baik.

“Biasanya, kalau kereta sudah kelihatan, baru kita turunkan penutup perlintasannya, mas,” kata seorang petugas yang saya ajak ngobrol.

Temannya, menambahkan, “Atau, kalau kondisi cuaca buruk, kita tutup setelah tiga menit dilepas oleh stasiun sebelumnya, mas.”

IMG_0735

Cara kerjanya lumayan lucu. Untuk menaikan atau menurunkan pintu palang yang terletak sekitar lima puluh meter dari mesin ini, tuas harus didorong maju atau mundur.

Pengalaman-pengalaman model begini yang membuat perjalanan jadi lebih seru. Kalau tidak banyak berhenti, mungkin tidak akan bertemu yang obrolan-obrolan model begini. Serunya jadi bukan main.

Beberapa jam itu berharga sekali karenanya.

IMG_0762

Cerita jadi tambah seru ketika tiba di Tulungagung. Kotanya mengejutkan. Tipikal kota kecil kelas dua yang punya banyak kehidupan masa lalu ala kolonial. Ruas jalannya teratur, bersih, senyum ada di mana-mana, pusat kota yang tidak luas dan yang paling penting, trotoar tersusun rapi.

Kota ini dinamis, kendati kecil. Kemana-mana bisa jalan kaki. Karena memang nyaman untuk dijalani. Hari itu, total saya jalan sekitar lima-enam kilometer. Sembari melakukan aklimatisasi, saya juga ingin melihat seperti apa kota ini hidup dalam waktu singkat. Maklum, waktu berkunjungnya tidak lama.

IMG_0769

Saya jatuh cinta pada ruas-ruasnya yang apik. Dan kejutan berlanjut ketika menemukan sebuah bioskop independen yang memutar Spectre, film terbaru James Bond. Ternyata, teaternya baik. Mengingatkan saya akan sebuah teater kecil di Cimanggis, Jalan Raya Bogor dulu, tempat saya diajak sekolah untuk menonton film perjuangan.

IMG_0772

IMG_0776

Duduk di teater itu, membuat saya berandai-andai, “Oh, begini toh, cara orang di kota kecil memaknai film Hollywood.” Tiket nontonnya Rp.20.000,00. Kalau weekend, jadi Rp.30.000,00. Ekonomis untuk ukuran orang Jakarta, tapi bisa jadi segitulah pasarannya di Tulungagung. Tidak ada yang salah. Yang salah, metropolis membuat segala sesuatunya jadi lebih mahal.

IMG_0803

Perjalanan-perjalanan seperti ini, seharusnya memang harus lebih sering dilakukan. Untuk memaknai bahwa Indonesia itu bukan hanya Jakarta. Untuk memberi keseimbangan bagi orang kota seperti saya.

Tidak perlulah hidup dengan ritme yang cepat. Santai, santai saja. Toh, hidup hanya perlu dirayakan. Tidak lebih, tidak kurang. Terima kasih atas pengalaman serunya, perjalanan ke Tulungagung! (pelukislangit)

9 November 2015
22.09
*) Ditulis dari kereta makan Kereta Gajayana yang membawa saya pulang ke Jakarta
*) Ini tempat saya menyelesaikan dan mengupload tulisan ini.

IMG_0825

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

5 thoughts on “Tulungagung dan Kereta Api

  1. Kota yang di pengaruhi kebesaran rokok retjo pentung hingga akhir masa kolapsnya.tulungagung beda dengan kota2 di nkri kota berkembang menyebar tidak terkonsentrasi pada wilayah tertentu.belum kuliner dan topografi wilayah pesisirnya

  2. Lain kali kalau ke tulungagung mampir kerumah saya mas felix !!!, saya orang asli tulungagung,
    saya juga pendengar setia acara lokal wisdom ruru radio, tapi sayang sekarang sudah jarang mengudara.
    saya tunggu kedatanganya mas lain waktu kalau berkunjung ke tulungagung!!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: