“Kita akan pulang dengan waktu yang terbuang dan kenangan yang berjalan bersama…” – Barasuara di lagu Api & Lentera.
Kalimat pengawal tulisan ini, seharusnya diletakan di bagian akhir. Karena diletakan di depan, karenanya ia menjadi imajiner. Kita sama-sama belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, ada beberapa hal yang setidaknya sudah bisa diprediksi.
Barasuara adalah perbincangan semua orang di scene musik Indonesia sejak seminggu terakhir ini. Debut album mereka, Taifun, sudah dirilis dalam bentuk digital. Tersedia di sejumlah kanal distribusi digital. Ada yang bisa dimiliki, ada yang hanya bisa dipinjam dengar saja.
Albumnya, dahsyat.
Tapi toh, ini sudah bisa diprediksi. Saya sudah menyaksikan Barasuara di atas panggung beberapa kali. Pun menyaksikan sejumlah video live pertunjukan mereka. Semuanya konstan. Bagusnya, maksud saya.
Kisah dengan band ini dimulai berbulan-bulan yang lalu. Dimas Wisnuwardono, seorang teman baik yang kebetulan waktu itu satu kantor, tiba-tiba bilang, “Lix, elo mau nonton band barunya Iga (Massardi) nggak? Bakalan main tuh di Tokove.”
Sayang, waktunya tidak cocok. Lalu kemudian, beberapa hari kemudian setelah pertunjukan itu berlangsung, dia dengan semangat bilang lagi, “Wah, ini bakalan gede sih, Lix. Bagus banget.”
Dimas Wisnuwardono bukanlah orang yang sangat ekspresif. Sulit sebenarnya menebak jalan pikirannya. Jadi, kalau dia sampai bicara segamblang itu, sudah pasti memang yang ia bilang benar.
“Ok, gue bakal nonton kalau ada waktu, Mas,” balas saya waktu itu.
Iga Massardi, adalah satu sosok musisi yang menarik. Ia punya karisma. Sedari awal berkenalan dengannya di tahun 2008, saya sudah merasakan bahwa ia bakal jadi sesuatu warna penting untuk Jakarta dan scene musiknya.
Satu hal penting yang berhasil saya rekam sepanjang jalan perkenalan ini adalah kesan bahwa orang ini percaya proses. Tidak akan ada hasil baik apabila tidak disertai oleh proses yang baik.
Kami berinteraksi bersama dalam beberapa cerita; pertunjukan WeArePop!, Rockin’ the Region di Singapura, mengobrol untuk artikel band lamanya di Nylon Indonesia dan beberapa momen kasual lainnya.
Pesan itu terekam. Tanpa sadar, kalau dipikir.
Jadi, ketika nama Barasuara muncul ke permukaan, tidak ada alasan untuk diam dan menantikan ia datang ke dalam hidup saya. Ditambah lagi omongan Dimas Wisnuwardono tadi. Posisi saya, harus aktif mencari. Memburu mereka memainkan musiknya secara langsung di atas panggung. Bukan pasif menanti mereka mengantarkan musiknya ke dalam hidup saya.
Proses mencari itu berakhir di Ecobar, Kemang. Barasuara bermain bersama Gerald Situmorang Trio, band lain sang pemain bas. Itu terjadi bulan September 2014. Lebih dari setahun yang lalu. Line up Barasuara ini berisi banyak musisi penuh talenta.
Gerald Situmorang yang dikenal luas sebagai pemain gitar jazz, mendadak jadi pemain bas. Saya mengikuti karirnya dalam beberapa kemasan musik. Ia sosok yang tidak kalah menariknya dibandingkan Iga Massardi. Beberapa proyek musiknya ada di kategori yang saya sukai.
Lalu, ada Asteriska dan Puti Chitara, dua penyanyi yang sama-sama punya album solo bagus.
Dua nama lainnya adalah session player yang jam terbangnya juga tidak sedikit; Marco Steffiano dan TJ.
Di level personal, orang-orang ini adalah musisi yang relatif sudah jadi. Punya ego sendiri pula. Nah, ketika ada satu jenderal yang bisa mengendalikan mereka di bawah sebuah panji bernama Barasuara, jadinya menarik, bukan?
Okelah, pasti ada banyak pertempuran ego di dalam proses memasak lagu yang mereka lakukan di belakang layar. Tapi apa yang disajikan ke publik sama sekali tidak menunjukan proses gontok-gontokan itu. Mereka harmonis. Mereka sudah matang.
Ini terjadi ketika saya menyaksikan mereka membagi panggung dengan The Adams di acara Sunday Brunch yang diselenggarakan Kopi Tiam Tan di kompleks SCBD, Jakarta Selatan. Marco Steffiano punya halangan untuk hadir tepat waktu. Pesawat yang membawanya dari satu daerah di Sumatera terlambat berangkat karena alasan teknis. Semalam sebelumnya, ia baru saja bermain bersama Raisa di daerah itu.
Barasuara telah membeli waktu tambahan. Mencoba berbagai macam trik agar waktu berjalan lebih lama untuk memberi ruang menunggu bagi kedatangan si pemain drum. Tapi, masih kalah juga. Akhirnya mereka naik panggung tanpa pemain drum. Aransemen diubah dan semuanya jadi lebih lambat. Lagu pertama dimainkan.
Tiba-tiba, menjelang lagu itu berakhir, si pemain drum datang dengan tergopoh-gopoh. Ia masuk dan melintasi penonton, membuat semua orang di ruangan pertunjukan terbengong-bengong. Ia langsung menuju set drumnya, dalam hitungan detik mulai bermain dan akhirnya menciptakan ending yang epik. Sesuatu yang sangat seru.
Semua orang berdecak kagum. Beberapa masih menganggap bahwa itu skenario sebelum Iga Massardi menjelaskan bahwa Marco Steffiano memang terlambat datang karena pesawat yang membawanya ke Jakarta terlambat berangkat.
Mood pertunjukan langsung berubah. Seolah orang yang baru terbebas dari penjara, Marco Steffiano bermain dengan semangat yang sangat berapi-api. Dan itu menular pada personil yang lain. Kamu yang telah menyaksikan Barasuara bermain beberapa kali, pasti sepakat kalau pertunjukan di Kopi Tiam Tan waktu itu merupakan salah satu pertunjukan mereka yang terbaik.
Mungkin bandnya juga berpikir seperti itu.
Kematangan model begini, jarang mampir di tubuh band baru. Jadi, memang ada proses panjang yang mengikuti di belakang layar. Dan Barasuara menjalaninya.
Kabar tentang debut album Barasuara segera selesai dan siap dirilis telah mampir ke telinga saya sejak beberapa bulan terakhir. Jadi, ketika itu menjadi kenyataan, ya saya leganya bukan main.
Band ini membangun proses secara organik, layaknya mereka yang besar di era-era awal scene independen Indonesia dulu di 90-an akhir; bermain di panggung-panggung kecil, membawakan lagu sendiri sembari merekamnya di studio lalu kemudian merilisnya ketika waktu sudah dirasa tepat (atau sudah punya duit yang dikumpulkan dari proses main dari satu panggung ke panggung yang lain).
“Semua lagu sudah pernah kita mainkan, Lix. Hanya Taifun dan Hagia aja yang agak jarang dimainkan,” kata Iga Massardi.
Taifun kemudian, seperti kita ketahui bersama, menjadi judul debut album Barasuara. Pada saat tulisan ini ditulis, saya belum tahu apa alasan mereka memberi nama album ini Taifun. Mungkin, ini baru mungkin ya, kata benda itu dipilih karena mereka punya keyakinan akan membuat peta musik Indonesia berantakan dengan lagu-lagu di album ini.
Kalau itu maksudnya, saya rasa mereka berhasil.
Tanggal 22 Oktober 2015, mereka akan melangsungkan Konser Taifun, satu hari setelah tulisan ini dibuat. Ini adalah pertunjukan untuk merayakan dirilisnya album Taifun. Tiket sudah habis sedari jauh-jauh hari. Saya beruntung mendapatkannya karena kecepatan menulis email untuk membeli tiket pertunjukan tersebut.
Bacanya disederhakan: Barasuara membuat konser untuk khusus untuk merayakan sebuah album yang isinya hanya sembilan lagu.
Gila kan? Band ini punya nyali.
Kalau kita memperhatikan beberapa respon orang di sekitar, memang antusiasme untuk menyambut kedatangan album ini benar-benar besar.
Mundur sedikit deh, coba simak video ini. Lihat baik-baik bagaimana Iga Massardi bisa mengomandoi satu gedung pertunjukan untuk menyanyikan lirik lagu mereka. Pada saat pertunjukan di dalam video ini dimainkan, mereka belum merilis Taifun.
Pertunjukan yang model begini akan jadi kebiasaan untuk mereka dalam bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang. Termasuk besok di Konser Taifun.
Sudah lama rasanya saya tidak seantusias ini untuk menyaksikan konser perayaan dirilisnya album baru sebuah band. Hasil akhirnya sudah ditebak; orang akan terkesima dengan pertunjukan, Barasuara akan jadi band yang merangkak lebih tinggi dari tempat mereka berdiri saat ini. Akan diundang ke banyak tempat untuk memainkan pertunjukan dan jadi sejahtera karenanya.
Yang harus dinikmati adalah prosesnya. Melihat bahwa proses organik dalam membangun sebuah band ternyata tidak bisa ditawar-tawar. Omongan analis digital, kritikus musik, penggunjing yang menganggap bahwa semua bisa dibentuk, adalah omong kosong. Menjalani talenta yang sedang bergulir melakukan kreasi cipta, jauh lebih penting dari segalanya.
Saya mau ada di dalamnya, menikmati proses tersebut. Melihat band ini berkembang merangkak menjalani takdir mereka.
Di akhiran cerita, saya wajib sepakat dengan apa yang mereka tulis di Api & Lentera, “Kita akan pulang dengan waktu yang terbuang dan kenangan yang berjalan bersama.” (pelukislangit)
Rumah Benhil
21 Oktober 2015
15.10
*) Terima kasih atas antuasiasme besar yang berhasil dimunculkan, Barasuara!
Saya sangat amat berharap Sound From The Corner akan bisa mengabadikannya, meski saya tahu itu pun jauh dari mungkin..
Bisa jadi mereka akan mengabadikannya. Belum nanya sih. 😉
Pertama kali denger barasuara, segernya hampir sama kaya denger angsaserigala untuk pertama kalinya.
Wah, ini respon yang sedikit beda nih. Tapi, kenapa elo membandingkan mereka dengan Angsa & Serigala?