Klise. Basi? Tentu saja tidak. Kesempatan untuk ngobrol dengan tiga kelompok yang percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari perkara duit, merupakan satu berkah yang indah.
Saya harus berterima kasih pada RRREC Fest #5. Pada 5 Desember 2015 kemarin, ada satu kesempatan yang luar biasa berharga mampir; menjadi moderator diskusi bertajuk “Alternative Music Showcase in South East Asia” yang jadi salah satu mata acara di festival tersebut.
Diskusi ini adalah rangkaian dari seri reguler SEA Talks yang memang sudah jadi salah satu agenda RRREC Fest.
Di sesi kali ini, tiga kelompok yang mempresentasikan sejarah dan karya-karya mereka adalah Kolektif Studiorama, Cross Border Show dari The Wknd dan Noise Market (serta Stone Free Festival) dari Thailand. Masing-masing punya cerita yang seru.
Presentasi karya ini, secara umum, menunjukan bahwa membuat pertunjukan itu tidak pernah sulit. Niat besar dan pemahaman akan ukuran kemampuan menjadi pagar untuk sebuah ide bisa dieksekusi menjadi hal nyata atau tidak.
Kolektif Studiorama asal Jakarta yang diwakili oleh Muhammad Gonzo Fahri dan Xandega Tahajuansya, misalnya. Kisah mereka dimulai beberapa tahun yang lalu dari sebuah ide sederhana: Menghadirkan tontonan alternatif untuk publik. Mereka menggagas sebuah seri pertunjukan yang hangat di mana masing-masing orang yang ada di sana mengenal dan bisa menikmati musik.
Konsep ini tidak spesial. Idenya klise, tapi komitmen untuk mengeksekusi hal ini secara spartanlah yang membuat mereka bisa berdiri tegak dan jadi spesial. Kawan-kawan di scene punk rock telah melakukan ini sejak dahulu kala. Konsep studio gig yang jadi cikal bakal dari seri pertunjukan ini memang seru untuk diseriusi. Karena memang fokus utamanya ada di level keintiman yang terjadi antara yang main dan yang nonton.
Sedikit tentang Studiorama bisa dicek di presentasi video ini:
Kehangatan mungkin jadi salah satu DNA utama mereka. Dan tidak menjadi yang pertama, juga bukan hal penting. Buat saya pribadi, isu bahwa mereka mengikuti, kami pionir dan lain sebagainya, sudah tidak lagi penting. Pepatah basi yang bilang “There’s nothing new under the sun” benar.
Apa sih yang baru sekarang ini? Sulit kan ditemui?
Yang menarik dari Studiorama di penglihatan pertama adalah mereka melakukan sesuatu yang disukai. Ini modal dasar dari sebuah pergerakan. Geng ini adalah komunitas terbuka, siapapun bisa masuk dan keluar dengan bebas, selama masih punya ketertarikan yang sama. Itu kenapa makin hari, sifat orang-orang di balik nama ini cenderung seperti kolektif; strukturnya cair dan tidak jelas. Ketika ada agenda, barulah membagi peran untuk membuat sebuah rencana kejadian. Kepercayaan untuk mewujudukan sesuatu nampaknya lebih besar dari berbagai hal di sekitarnya.
Persoalan klise dari upaya mewujudkan sebuah ide adalah dana. Dan mereka mengalami hal ini, sama seperti cerita sejenis lainnya.
Dana menghantui, tapi sistem tanggung renteng bisa jadi solusi. Karena ada beberapa orang, proses patungan jadi fondasi awal. Karena percaya akan sebuah ide, maka bisa jalan beriringan untuk menjadikannya kenyataan. Untung-rugi bukan perkara yang harus dibicarakan di depan.
Fakta mencatat, sampai hari ini, Studiorama telah menggelar sejumlah perhelatan. Dari satu ke yang lainnya, cenderung naik kelas. Perlahan, sistem diperbaiki. Dana dikelola dengan lebih cermat. Skala diperbesar. Berbagai bidang perluasan dijelajahi.
Misalnya saja, mereka mulai membuat sejumlah seri paralel. Atau juga bekerja sama dengan promotor lain untuk mengundang band-band asing yang mereka suka. Nama Marc de Marco adalah salah satunya.
Kepercayaan berhasil membawa mereka berjalan. Dari titik yang tidak ada sampai peristiwa yang jalan berulang. Inspirasi direkam dari sana.
Panelis kedua adalah Wannarit Pongprayoon atau Pok. Ia adalah seniman suara yang berbasis di Bangkok, Thailand. Dalam beberapa minggu terakhir, ia dua kali tampil di Jakarta bersama dengan bandnya Stylish Nonsense. Dalam keseharian, salah satu pekerjaannya adalah menjadi dedengkot dua festival kecil nan menarik di Thailand; Stone Free Festival dan Noise Market.
Stone Free Festival adalah sebuah akhir pekan utopis yang dibayangkan oleh orang banyak. Beberapa tahun yang lalu, idenya mulai dijalankan. Premis awalnya sederhana: Bagaimana jika orang diundang untuk menikmati musik di ruang terbuka milik alam. Alam yang jadi tuan rumah dikondisikan sebagai pemilik semesta. Orang yang ingin bercengkerama dengannya harus menyesuaikan diri.
Saya teringat sebuah kalimat magis yang keluar dari mulutnya, “Kami membiarkan alam memainkan perannya.”
Dalam presentasinya, Pok menjelaskan bagaimana festival ini dibuat. Ide-ide dasarnya sederhana dan di dalam eksekusinya, ia berfokus untuk mewujudkan sebuah weekend getaway yang indah. Musik tidak begitu penting, tapi menyaksikannya di alam terbuka lebih jadi prioritas. Tidak ada tata suara canggih, semuanya seperlunya dan seadanya.
Begitu juga dengan cara memperlakukan orang yang datang. Pada awalnya, menurut Pok, orang yang ingin datang bebas membayar berapa tiket masuk yang ingin mereka hargai. Banyak fasilitas juga disediakan dengan sudut pandang komunal; misalnya saja dapur yang membebaskan orang untuk masak makanan sendiri.
Festival ini, dari penangkapan saya atas penjelasannya, rasanya mengajarkan bagaimana cara bersenang-senang yang sederhana dan cenderung tidak punya banyak beban.
Dari penelusuran di internet, saya menemukan sebuah blog milik orang Indonesia yang pernah datang ke festival ini. Bisa dibaca di sini.
Dari cerita di blog itu, apa yang saya tangkap itu terkonfirmasi. Setelah Stone Free Festival berjalan, Pok menjamah bidang lain. Kali ini, sebuah perhelatan di kota bernama Noise Market.
Yang satu ini, idenya datang dari sebuah fakta bahwa orang banyak telah melupakan ide baik pergi ke toko rekaman dan membeli banyak rilisan yang dihasilkan oleh band-band lokal. Toko-toko rekaman tumbang dan itu jadi gejala global. Gelora mengumpulkan rekaman fisik tidaklah sebesar dua dekade lalu, misalnya. Berbagai alasan menjadi penyebabnya. Tapi, mari tidak lari ke sana. Mari kita fokus di gejala lesunya penjualan saja.
Lesunya angka, tidak sebanding dengan minat untuk terus memproduksi rekaman. Banyak talenta baru bermunculan dan kebanyakan dari mereka ingin mencatat sejarahnya sendiri dengan mencipta karya, mereka dan mempresentasikannya untuk orang banyak.
Dari keadaan ini, ide Noise Market muncul. Pok dan kawan-kawannya menginisiasi sebuah festival di mana orang bisa menjual dan mempresentasikan karya mereka langsung ke pasar yang dituju. Sekali lagi, idenya klise. Tapi konsistensi membuat Noise Market menjadi salah satu festival yang diantisipasi orang.
Suasana yang enak menjadi daya tarik festival ini. Penciptaan kondisi yang nyaman membuat festival ini bisa menyasar banyak lapisan masyarakat. Penampilan yang digelar di ruang publik pun dengan sendirinya mendapatkan feedback dari pasar yang lebih luas. Lagi-lagi, tidak banyak uang bermain di proses penyelenggaraannya. Kolektivitas menjadi kata kunci yang menjadi napas festival ini.
Jika Pok memberi warna betapa semaraknya scene musik independen di Thailand, lain lagi cerita Fikri dan Arif dari The Wknd yang berbasis di Malaysia. Dari ibukota Kuala Lumpur, mereka berhasil melebarkan sayap.
The Wknd adalah sebuah media berbasis video. Mereka merekam banyak kisah band-band menarik, awalnya lokal lalu kemudian menjadi level regional. Banyak band dari luar Malaysia tapi masih dari Asia Tenggara yang mereka liput. Termasuk di dalamnya sejumlah band Indonesia.
Dari sekedar menjadi media, mereka melihat peluang untuk melebarkan sayap dan menyajikan sebuah seri pertunjukan langsung yang membuat pasar bisa menyaksikan band-band yang mereka liput langsung di atas panggung.
Ide awal mereka terinspirasi oleh betapa dekatnya sirkuit tur di Eropa membangun jaringan. Sistem yang telah berlangsung bertahun-tahun itu, membuat band yang ingin tur bisa dengan mudah membuka jaringan dan mengatur pertunjukan dari satu kota ke kota yang lain. Dengan demografi yang relatif mirip, mereka mempertanyakan mengapa hal ini tidak bisa terjadi di Asia Tenggara.
Jaringan yang coba diretas tersebut, memang sebenarnya ada dan bisa dikuak dengan mudah. Dari seluruh negara di Asia Tenggara, rasanya hanya Filipina yang kurang tersambung koneksinya. Selebihnya, ada berserakan. Tinggal dipungut dan dibangun koneksinya dengan intens.
Niat itulah yang akhirnya menjadi dasar mereka menggagas Cross Border Showcase, sebuah seri pertunjukan yang memang menyediakan slot untuk band-band dari luar Malaysia untuk mempertontonkan aksi mereka. Beberapa band Indonesia pernah menjadi headliner untuk pertunjukan ini.
Tidak hanya di Kuala Lumpur, seri pertunjukan ini juga melanglang buana ke sejumlah kota lain di Malaysia. Konsep tur yang jadi inspirasi di awal tadi, benar-benar coba diamalkan.
Kalau dibandingkan dengan dua panelis lainnya, kisah kawan-kawan The Wknd ini lumayan menarik. Ketika ditanya tentang hambatan utama, selain dana, mereka juga menceritakan sebuah kisah seru yang bisa jadi sarana belajar untuk orang lain; berurusan dengan pihak berwajib.
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, nampaknya aparat di Malaysia juga biasanya mendadak awas ketika ada band luar negeri main. Motifnya tentu saja perijinan dan beberapa tetek bengek yang mengikutinya. Di era awal, mereka sempat tidak mendapatkan perijinan dan Rifki pun pernah dipanggil ke kantor pemerintah untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan. Tentu saja, hal-hal seperti ini bikin keder.
Bayangkan saja, niat awalnya bersenang-senang. Tapi ternyata ada pihak-pihak di luar kekuasaan penyelenggara yang punya sudut pandang berbeda. Klise. Hambatan ini bisa diselesaikan dengan diplomasi omongan yang mereka lakukan.
“Sekarang seluruh acara kami sudah direstui oleh aparat,” kata Rifki.
Koneksi yang coba dibangun, kini pelan-pelan menunjukan hasil. Cross Border Showcase kini telah berjalan secara reguler.
Ketika ditanya soal pendanaan –lagi-lagi—, jawaban mereka klise. Itu menjadi halangan, tapi pemahaman bahwa untuk menciptakan suatu pencapaian, tidak bisa bergantung pada orang lain membawa mereka berjalan jauh. Ketergantungan tidak boleh jadi penyebab kenapa sebuah ide tidak menjadi kenyataan.
Dari ketiga kisah yang dipresentasikan, kekaguman saya terus membuncah sepanjang diskusi. Kisah-kisah yang tersaji, sekali lagi mengingatkan bahwa duit tidak pernah menjadi penghalang selama kerja keras mau dilakukan. Pemahaman tentang ukuran dan kapasitas juga membantu mencipta hal-hal seru yang bisa dikenang dan memulai bola salju sebuah pergerakan.
Indonesia sendiri, telah merekam banyak perbuatan menyenangkan yang punya guna untuk orang banyak. Ternyata, hal yang sama juga terjadi di banyak tempat lain. Duit bisa dicari yang paling penting adalah bagaimana sebuah pergerakan punya guna untuk orang banyak.
Diskusinya berjalan dengan sangat menyenangkan. Terima kasih atas inspirasinya, Studiorama, Pok dan The Wknd! (pelukislangit)
Kedai Tjikini – 9 Desember 2015// 18.56 & 22.14
Woodpecker Pangpol – 11 Desember 2015// 19.21
*) Ditulis sebagai memori atas diskusi seru yang jadi salah satu mata acara di RRREC Fest #5, Menteng 2015
*) Seluruh foto disumbang oleh ruangrupa
*) Silakan google seluruh tindak-tanduk tiga panelis tersebut di tulisan ini, mereka menyenangkan!