Dosa, Kota dan Kenangan mengubah wajah scene independen Surabaya. Jika sebelumnya kebanyakan memerankan fungsi konsumen, maka setelah album ini dirilis, peran produsen pun layak disematkan ke dirinya.
Dan untuknya, Surabaya harus berterima kasih pada Silampukau. Coba tengok ke masa lalu, berapa banyak band asal kota ini yang berhasil keluar ke pasar nasional dengan karya yang baik dan direspon bagus oleh publik? Tidak banyak kan? Mungkin terakhir perbuatan macam itu dilakukan oleh band one hit wonder bernama Vox yang sekarang tidak lagi terdengar suaranya secara kolektif. Itupun efeknya tidak besar-besar amat.
Sebenarnya, ada apa di dalam perut kota itu sehingga produksi melempem dan cenderung seret?
Ada fakta menarik, kegiatan berkesenian di kota itu sesungguhnya tidak pernah kendur. Contohnya, seorang teman bernama Alek Kowalski –yang begitu militan sejak awal 2000-an— tetap berdiri tegak dan terus berinovasi. Terakhir, ia mengubah sebuah mal mati menjadi padat berisi lewat gelaran Sunday Market Surabaya. Ribuan orang datang dan bertukar energi. Band-band luar kota digilir masuk Surabaya.
Arus kebudayaan anak muda tidak terhambat. Internet menyambungkan, social media mendengungkan gosip yang terus bergulir bak bola api. Suara dari Surabaya tetap terdengar, tapi itu tadi masalahnya, band lokalnya mana?
Banyak kajian membahas bahwa Surabaya itu sama kompleksnya dengan Jakarta secara struktur sosial. Bedanya, satu dirancang untuk jadi sumbu kehidupan oleh Orde Baru, yang satunya harus rela jadi yang nomor dua. Komposisi orang-orang di dalamnya relatif sama, ada banyak mimpi diadu. Kehidupan metropolis ala kota besar pun mampir. Semua isu kehidupan ada di Surabaya. Tapi kenapa?
Awalnya, saya gelisah. Tapi jadi pragmatis dan merasa tidak perlu mencari tahu jawaban dari dua pertanyaan di atas. Itu proses. Termin proses pulalah yang membalik semua perasaan di dalam diri saya setelah mendengarkan Dosa, Kota dan Kenangan.
Kalau kata jenius itu berlebihan, maka ok lah, kita akan berhenti di termin pintar. Silampukau memamerkan kepintaran mereka bercerita tentang Surabaya, kota tempat mereka hidup sehari-hari.
Cara yang mereka pilih untuk mengisahkan keseharian begitu baik; musik folk, lirik berbahasa Indonesia yang kadang diisi kata-kata yang tidak biasa dilafalkan serta beragam fakta keras tentang kota Surabaya.
Hidup ditertawakan lewat penggambaran-penggambaran yang mungkin akan dihindari oleh Ibu Risma, si walikota drama. Single pertama, Doa 1, menampilkan dialog dengan gusti yang dijadikan tempat mengadu untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak akan berubah banyak dengan berbagai macam proses pengaduan.
Lagu Rantau (Sambet Omah) mempertanyakan keinginan mengubah nasib dengan datang ke kota yang ternyata tidak membawa kehidupan yang lebih baik. Harapan digambarkan disita mentah-mentah oleh lingkaran pekerjaan yang malah tidak memberi ruang. Padahal, kisahnya sudah berlangsung selama tujuh tahun. Persoalan yang diangkat khas sekali kehidupan kota besar di mana orang-orang tersesat dalam perburuan tanpa henti yang kadang mengikis kemanusiaan.
Si Pelanggan yang bercerita tentang Kawasan Dolly tidak berbeda jauh dengan dua lagu sebelumnya, malah bisa jadi lebih ekstrim. Kompleksitas yang dimiliki oleh isu prostitusi seolah menemukan pembela yang meningatkan kita semua bahwa moral tidak pernah bisa dijadikan kacamata utama untuk melihat persoalan.
Pilihan kata yang mereka terapkan di lagu ini seolah membangun sebuah konstruksi sejarah dan masa kini untuk melihat persoalan dari kacamata yang lebih general. Membenturkan kata kafir dan frase krat-krat bir sudah barang tentu jadi serangan dahsyat untuk kenyataan. Tapi lihat lagi premis lain yang mengikuti; cinta tidak mesti merana dan banyak biaya, suaka bagi hati yang terluka, hidup yang celaka atau tempat mentari sengaja ditunda. Deretan yang lumayan panjang itu, tentu tidak bisa dipandang dengan kacamata moral semata, kan?
Mereka menutupnya dengan kalimat ini: “Yakinlah pelacur dan mucikari kan tetap abadi”. Untuk kemudian melanjutkannya dengan pengulangan kata “Dolly” yang terdengar seperti tribute pencarian tidak berujung. Hanya fade out mixingan yang menghentikannya.
Tamparan lain ada di lagu Sang Juragan. Tuturan sederhana tentang minuman keras seolah menjadi alarm yang mengingatkan bahwa sejujurnya, keberadaannya sudah terlalu mendarah daging. Ia, adalah tradisi lama yang memang dihidupi oleh orang banyak. Kalau tiada, justru malah bikin susah. Apalagi kalau ada tapi harganya mahal.
Hidup harus dirayakan dan minuman keras adalah alat untuk bersenang-senang. Kenyataan itu dipaparkan dengan baik.
Bicara mabuk juga dikandung lagu Puan Kelana yang di gambaran lebih besarnya membandingkan Surabaya dengan Paris. Lewat kisah yang ditulis di lagu ini, sejatinya kita bisa menarik garis lurus bahwa dua kota berbeda nasib ini ada di kategori yang sama; menjadi rumah untuk orang-orang yang mencoba bersanding dalam keabadian cinta. Cinta dicampur aduk dengan vodka dan anggur orang tua yang efek memabukannya sama. Epic, bukan?
Dosa, sebagai kata, benar-benar dihidupi dengan berbagai macam cerita yang ada di album ini. Ia tampil seperlunya. Tanpa perlu berusaha keras untuk dibuat cantik, anggun, misterius, positif, negative atau apalah itu.
Ketinggalan, bicara Surabaya, tidak purna rasanya kalau tidak mengangkat sepakbola. Tradisi yang begitu mengakar juga direkam dengan baik oleh Silampukau di lagu Bola Raya yang mengisahkan mahalnya ongkos bermain sepakbola belakangan ini. Seolah senada dengan kisruhnya Persebaya Surabaya yang makin ruwet dari hari ke hari. Padahal, klub lokal itu adalah salah satu perekat identitas kota yang seharusnya tetap lestari sampai hari ini.
Kejujuran dan keberanian untuk mengisahkan ulang kehidupan di sekitar menjadi bumbu utama yang membuat album ini begitu menarik. Mendengarkannya dari depan sampai belakang membuat kehidupan di Surabaya tergambarkan dengan baik.
Termasuk juga di dalamnya perilaku natural untuk membiarkan logat jawa nan medok mereka tetap terdengar tanpa ditutup-tutupi.
Ok, saya lupa, kita belum bicara musik. Musik Silampukau adalah folk. Lengkap dengan gitar akustik, ukulele, harmoni vokal penuh karakter dan lagu-lagu melodius yang bagus. Lirik dan kisah-kisah tentang Surabaya lebih berkuasa ketimbang musiknya. Tapi, musiknya bagus kok. Cocok dengan liriknya yang bernas.
Coba cek teasernya di sini:
Yang di atas adalah track favorit saya, Malam Jatuh di Surabaya. Kata mereka, “Tuhan kalah di riuh jalan.” Sebuah kalimat penuh tenaga yang buat saya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena ia telah menjadi kesimpulan paling penting dari Dosa, Kota dan Kenangan.
Berbahagialah kalian yang berasal dari Surabaya. Karena sekarang, kota kalian sudah berbeda status; bukan lagi konsumen, tapi juga produsen. Album ini harus diputar berulang-ulang. (pelukislangit)
Rumah Depok, 3 Mei 2015
19.43
Ketika ketagihan mendengarkan Dosa, Kota dan Kenangan berulang.
Seluruh foto diambil dari http://www.deathrockstar.club asuhan Koh Eric.
😀