Apa yang membuat potret seorang pemimpin layak dipajang di dinding rumah?
Dua orang penting dalam hidup saya di masa lampau, kakek kandung dan seorang nenek sepupu, memasang potret Soekarno di rumah mereka. Ketika ditanya kenapa, jawabannya relatif sama; Soekarno, menurut mereka, memberikan inspirasi dan layak diabadikan. Sumbangsihnya kepada bangsa ini luar biasa besar dan ia ada di dinding-dingding mereka karena sosoknya bersemayam di hati.
Dari alasan sederhana itu saya jadi paham, kenapa potret seorang pemimpin harus terpajang di dinding di rumah orang-orang berstatus rakyat biasa.
Keluarga saya bukanlah teman dekat pemerintah. Alkisah yang sedang saya raba dengan samar, mungkin membawa kami secara turun-temurun ada di posisi yang berseberangan dengan penguasa. Lebih dari sepuluh tahun setelah kedua sosok di atas meninggal dunia, saya terjebak dalam sebuah pemikiran baru untuk memasang potret seorang pemimpin di dinding rumah saya.
Fotografer Poriaman Sitanggang mungkin bisa dimintai pertanggung jawaban akan ide ini. Sebuah malam larut di FX beberapa tahun yang lalu, menjadi awalan, saya datang ke sebuah galeri dan menemukan sebuah sisa undangan pameran yang sudah selesai. Pameran berjudul Magnet of Jokowi-Ahok itu menampilkan foto-foto yang diambil Sitanggang ketika mengikuti Joko Widodo dan Ahok berkampanye untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Foto-foto Sitanggang menggambarkan sebuah sosok yang intim dengan konstituennya. Imaji akan politisi yang luar biasa tidak menarik –karena penuh dengan kebohongan dan omong kosong—, seolah bisa diubah oleh gambar-gambar yang saya lihat di ruang pamernya itu. Walau tidak lengkap, karena hanya tinggal sisa-sisa, serangkaian gambar itu menempel. Joko Widodo memulai sebuah karir politik di pentas yang lebih besar dengan kemasan sederhana; bisa diterima oleh orang banyak lewat sebuah kesederhanaan itu sendiri.
Cerita selanjutnya, tentang Joko Widodo, rasanya sudah kita ketahui semua. Basi jadinya kalau diulang lagi.
Tapi, cerita selanjutnya yang kita ketahui bersama itulah yang membuat saya memutuskan untuk memburu tanda tangan Joko Widodo untuk dibubuhi di gambar undangan itu. Posenya luar biasa hebat. Gambarnya bisa bicara dan mengajak orang membayangkan ada di dalamnya. Seperti ini kurang lebih:
Saya pernah bekerja dengan beliau dari dekat di Kuala Lumpur dalam sebuah kerja sama bisnis. Tapi, saya gagal untuk menyetopnya ketika ia sedang bekerja melakukan studi banding pengelolaan air dan kereta monorail. Tujuannya kerja dan saya tidak punya nyali untuk mencuri waktunya.
Undangan itu masih terpajang rapi di rumah saya. Bentuknya tidak besar, mungkin hanya seukuran A4 dibagi empat. Tapi, saya sudah mengulangi apa yang dilakukan oleh dua pendahulu di atas; menyimpan potret pemimpin di rumah.
Hari Jumat, 25 Juli 2014 yang lalu, kesempatan datang lagi. Saya tiba lebih pagi di kantor karena memang punya janji dengan sejumlah kolega pada pukul sembilan pagi. Belum lengkap kaki melangkah memasuki gedung kantor, telepon bordering. Karena fotografer kantor yang sekarang sering beraksi sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, saya diminta untuk mengambil gambar sebuah peristiwa penting: Joko Widodo beserta rombongannya akan menggunakan jasa perusahaan tempat saya bekerja.
Tentu saja saya tidak menolak. Begitu mengetahui jadwal dan mengurus segala tetek bengek untuk bisa masuk ke dalam rombongan yang bekerja melayani penerbangan hari itu, saya langsung bersiap. Ide paling dasarnya sudah ketebak: Mencetak fotonya yang saya jepret di Gelora Bung Karno (GBK) beberapa hari sebelum pemilihan umum awal bulan ini.
Karena tidak ada mesin cetak berwarna di sekitar saya, sebuah kertas A4 kosong jadi pilihan. Foto dibikin hitam putih dan langsung dicetak. Skenario yang dibangun adalah meminta tanda tangan Joko Widodo untuk kemudian dibingkai dan dipajang di rumah.
Foto yang saya hasilkan di GBK beberapa minggu yang lalu itu merupakan salah satu foto favorit pribadi. Saya berhasil merekam ekspresi tenang yang jadi salah satu benang merah paling tebal dari sosok Joko Widodo.
Ok, amunisi sudah disiapkan. Tapi, fokus utama adalah mendokumentasikan momen berharga ini. Karena memang tugas yang diberikan oleh orang kantor adalah itu. Sekitar pukul satu siang, rombongan bertolak dari kantor menuju Bandara Soekarno-Hatta. Saya turut serta sejak positioning flight dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Halim Perdanakusuma.
Rombongan Joko Widodo merapat beberapa jam kemudian. Sekitar dua puluh menit sebelumnya, Iriana Widodo tiba di ruang tunggu. Pembawaannya begitu sederhana, terlepas dari tas dan sepatu mahal yang ia kenakan. Ia tampak sangat apa adanya; dandan tidak berlebihan dan jadi dirinya sendiri.
Ada satu kejadian lucu, ketika melangkah masuk ke dalam ruangan, Joko Widodo langsung disambut oleh orang banyak yang ingin bersalaman dengannya. Jangan bayangkan sebuah scene lapangan di mana ia dikerubuti orang banyak. Ini hanya sederhana karena memang ruang tunggu itu tidak terlalu besar. Setelah meladeni semua orang yang ingin bersalaman dengannya –Joko Widodo yang bergerak, bukan orang yang ingin bersalaman dengannya yang bergerak— ia tiba-tiba sudah melewati posisi Iriana Widodo menunggu.
Seorang ajudan menyadarkannya. “Pak, itu ibu ada di belakang,” ujar ajudan itu. Sontak, ia langsung berbalik badan dan sedikit menggerutu lucu kepada si ibu. Scene ini menarik sekali, bagaimana seorang suami seperti menemukan istrinya yang ketelisut. Hubungannya nampak sangat cair dan tidak diselimuti protokoler yang ribet.
Sekedar informasi, rombongan Joko Widodo ini punya standar pengamanan yang lumayan ok. Setidaknya ada lebih dari sepuluh pengawal yang ditugasi oleh negara –bukan swasta, tapi mereka merupakan anggota TNI/ Polri— di sekitarnya. Bentuknya kesaru. Begitu juga senjata pengamanan yang dibawa. Standarisasi pengamanannya sangat bisa diterima, tapi yang lebih bikin kagum adalah sifat mereka mengamankan si presiden terpilih. Tidak tampak cara pengamanan super kaku yang biasanya didapati menempel di sosok seorang pejabat publik. Dari awal sampai akhir, rasanya si Joko Widodo ini memang benar-benar menjalankan prinsip yang sering ia gembar-gemborkan; ingin dekat dengan rakyat dan memosisikan diri sebagai pelayan publik yang bisa dijangkau oleh masyarakatnya. Ia pelayan, bukan pemerintah.
Anyway, setelah diperhatikan baik-baik, ia nampak lelah. Raut wajahnya seperti ada di dalam indikator energi yang rendah. Setelah acara seremonial foto bersama dan salaman yang tidak henti, akhirnya ia tiba di tangga pesawat yang telah menunggu. Adegannya standar, termasuk ditunggu wartawan yang sudah dipersilakan masuk lebih dulu untuk selfie sejenak di depan tangga pesawat. Itu juga masih dilayani.
Ini level selebritinya bukan main. Semua nampak ingin bersalaman dengan Joko Widodo, menunjukkan bahwa ia memang dicintai orang.
Semua prosedur keselamatan dijalankan, tapi si orang yang jadi pusat perhatian ini langsung terlelap. Mungkin, saat-saat di dalam perjalanan seperti ini benar-benar harus dimanfaatkan. Maklum, waktu jadinya terbatas kalau harus melayani perhatian banyak orang.
Di sisi lain, seluruh kebutuhan pekerjaan saya sudah selesai dilakukan. Tugas profesional saya bisa dipinggirkan berarti. Setidaknya dua kali saya mondar-mandir ke toilet depan untuk memastikan apakah Joko Widodo sudah terbangun dari tidurnya atau belum. Saya mulai resah.
Resah karena tahu dengan pasti bahwa waktu untuk meminta tanda tangan itu semakin sempit. Ada di dalam pesawat dan duduk dekatnya adalah kesempatan paling baik untuk menunaikan niat ini. Di sebelah saya, salah seorang pengawalnya duduk, ia juga ingin istirahat.
Saya menyempatkan diri untuk menyolong waktunya mencuri trik bagaimana agar bisa meminta tanda tangan si bapak.
“Pak, ini saya mau minta tanda tangan di atas foto saya ke bapak. Enaknya kapan ya?” tanya saya sembari menunjukkan hasil foto saya yang sudah dicetak sebelumnya.
“Ah, kalau dia bangun, samperin aja, mas. Orangnya enak kok buat gini-gini. Nggak masalah dia pasti,” jawabnya santai seolah hal-hal seperti ini memang sudah biasa terjadi.
“Bener, pak?” saya mencoba memastikan walaupun sudah yakin bahwa si bapak pasti tidak akan menolak permintaan saya.
“Iya, dia kayak gitu emang, bisa stop kapan aja buat ngobrol sama orang. Kita juga harus lihai mengawalnya. Tapi nggak masalah kok kalau gitu, silakan aja,” jawabnya lagi mengulang hal yang sama.
Akhirnya, setelah menunggu lumayan lama, pesawat menunjukkan tanda-tanda akan mendarat. Ia terbangun. Teman saya yang bertugas menjadi flight attendant di penerbangan itu memberi kode bahwa ia sudah bangun. “Ok, begitu landing, langsung saya buru,” pikir saya dalam hati.
Benar saja, begitu pesawat sudah stabil dan makin memelan mendekati terminal, saya bangkit berdiri dari kursi saya. Langsung menyambangi kursi tempat ia duduk.
Tanpa basa-basi, saya langsung menodongnya.
“Selamat sore, pak. Saya mau minta tolong, kemarin saya ambil gambar bapak di GBK. Boleh ditandatangani nggak, pak? Buat dipajang di rumah. Itu bersejarah sekali konsernya,” cerocos saya padanya. Ia menyimak kata-kata saya.
“Iya,” balasnya singkat kemudian.
Iriana Widodo yang duduk di sebelahnya ikut berbicara, “Fotonya bagus.”
Saya tersenyum ke arah mereka sambil melihat Joko Widodo yang nampak kebingungan meletakkan tanda tangannya di mana.
“Buat Felix ya, pak. Bisa di mana saja tekennya. Bebas. Tulisan Felixnya kayak gini ya,” kata saya sembari menunjukkan ID Card yang memuat nama lengkap saya.
Ia membalas singkat lagi, “Iya.”
Saat ia membubuhkan tanda tangannya, saya menjepret beberapa foto. Buat saya, itu lebih penting ketimbang bisa berfoto bersama.
Adegan itu berlangsung cepat. Yang paling gila, adalah ketika selesai dan menyerahkan kertas itu kepada saya.
Sambil menjabat tangan saya, ia berbicara singkat, jelas dan padat, “Terima kasih ya, mas.”
Saya mendadak gila. Seorang presiden terpilih bilang terima kasih kepada kamu? Apakah ini nyata? Atau tidak nyata? Saya tidak percaya kalimat itu mengalir darinya. Catat: Inisiatifnya datang dari dia!
Gestur itu luar biasa keren dan mungkin tidak akan saya lupakan sepanjang usia. Itu semakin menunjukkan kalau ia memang orang biasa yang kebetulan perannya memimpin Indonesia. Tidak lebih. Saya tidak sedang bertemu dengan seorang pejabat, tapi saya sedang bertemu dengan seorang rakyat Indonesia yang posisinya sama tinggi dengan saya.
Makin sah bahwa tanda tangan itu harus dipajang di rumah saya. Hal-hal kecil model begini yang buat ia bisa diterima orang banyak. Sekaligus secara instan membuat saya paham, kenapa harus memasang potret seorang presiden di rumah.
Terima kasih, Joko Widodo. Selamat memimpin Indonesia. Tuhan berkati. (pelukislangit)
27 Juli 2014 – Rumah Benhil
29 Juli 2014 – Rumah Benhil
:”>
semoga pak Joko dan Pak Basuki dilindungi selalu oleh Tuhan.
semoga kerja mereka lancar.
Thanks for sharing, Felix. It’s a wonderful story
Terima kasih sudah mau membaca, Mbak Mirna. Sadis ya pengalamannya. Sayang kalau nggak dibagi ke orang lain.
Keren mas. Very inspiring.
Terima kasih sudah mampir membaca. 🙂
banyak cerita kaya gini mengenai jokowi. tapi betul lix….TERIMAKASIH adalah magic wordnya…
inilah enaknya punya presiden yg berasal dari rakyat, bukan elit politik, militer, atau pengusaha…membuka harapan baru untuk semua generasi mendatang bahwa… SIAPAPUN BISA JADI PRESIDEN,
asal bisa menjunjung tinggi etos kerja dan memberikan yg terbaik untuk rakyat.
terimakasih tulisannya kawan, semoga bapak tetap amanah dan terus turun ke jalan.
Yoi. Sederhana banget. Dan jadi sederhana itu selalu susah kan, San?
hanya bisa dilakukan oleh orang2 terpilih!
Salam kenal. Ikut mampir baca, ikut senang juga bacanya. Terima kasih sudah berbagi bahagia! Berharap Presiden baru kita ini memang bisa membawa semangat dan perubahan yang lebih baik untuk rakyat Indonesia.
Boleh saya reblog?
Harapannya besar sih sama yang ini. Besar banget, malah. Terima kasih sudah mampir membaca. Silakan direblog. Tapi jangan diblok blognya ya? 😉
Tulisan yang bagus. Dibeberapa kalimatnya, touching. Menarik –smm
Terima kasih sudah mampir membaca. 🙂
Bener bener inspirational Pak jokowi, ga salah saya pilih dia, semoga setelah dia dilantik, beliau tetap amanah dgn tugas dan tanggung jawab nya dan tetap “dekat” dengan rakyat nya, seperti saya ini. Boleh saya Share mas… Thank you!
Silakan disebarluaskan. Sebenarnya, sosok pemimpin kayak gini, susah dibentuk kalau memang karakter personalnya tidak seperti ini. Ada nggak ada kamera, orangnya tetep kayak gini. Semoga bisa membawa kita ke arah yang lebih baik.
sy sanget terharu pas kjadian pak jokowi say •ⓣⓗⓐⓝⓚⓢ• sm mas..,
Smoga kesederhanaan dan merakyatnya pak jokowi ʼnƍƍɑªĸ berubah smpai nnti resmi d lantik jadi Presiden RI ke 7..,
Amin…
Semoga tetap jadi orang yang kayak gitu ya si bapak. Terima kasih sudah membaca. 🙂
Keren, Mas…. Berasa kejujuran hati Mas Felix waktu menuliskannya 👍
Pak Jokowi bikin hati kita semua jadi penuh oleh rasa haru, senang, bangga dan berjuta rasanya….. Hahahaaaa…
Memang kalau cerita apa adanya lebih mudah dikenalinya ya?
Love it!
Yeay!
membacanya bikin saya merinding…apa lagi saya dapat tanda tanganya pak Jokowi..bisa pingsa kali yah.
Akhirnya saya punya alasan kuat yg lain utk pertama kali memasang foto presiden dirumah saya. Terimakasih mas Felix!
Saya juga kemarin nyaris pingsan waktu dia bilang makasih kok. 🙂
What a wonderful story…di bagian ending aku sampai menitikkan air mata…seperti ikut ada didalam cerita nyata tersebut. Aku tau apa yang mas felix rasain…Ayo kita dukung dan kita kawal terus program kerja presiden kita yang baru dan semoga menjadi inspirasi buat anak-anak penerus bangsa lainnya.
Terima kasih sudah membaca. Saya juga nggak bisa sering-sering mengingatnya. Takut efeknya sama kayak mas. Hehe.
Terenyuh…awalnya gua kirain Pak Felix seorang wartawan, krn tuturnya ditulis apik dan menyentuh…..dan impian saya untuk dapat moment spt ini semakin kuat…kapan ya aku diberi mukjizat bisa ketemu Presiden yang mencintai rakyat kecil
Sabar, mbak. Tinggal tunggu kesempatan kok. Seperti yang sudah saya bilang, presiden yang ini sangat bisa dijangkau oleh rakyatnya kok.