Saya patah hati (lagi). Fakta beradu badan dan memunggungi harapan. Liverpool Football Club (LFC), tim yang saya dukung sejak saya berusia enam tahun, gagal menjadi juara Liga Inggris musim 2013/2014. Gagal di pekan terakhir karena akumulasi kesalahan yang terjadi di pekan-pekan sebelumnya.
Tapi, apa sebenarnya yang jadi penyebab kita gagal?
Ada banyak teori dan sebaran fakta yang mendukung bahwa LFC ternyata berdiri jauh dari kegagalan. Proses revolusi sedang berlangsung, it’s a work in progress. Jadi, memang seharusnya tahun ini belum mendapatkan hasil yang maksimal.
Sejak awal musim, target yang dipatok adalah mengembalikan Champions League ke Anfield Road musim depan. Bukan menjadi juara Inggris. Harapan untuk menjadi juara Inggris itu rasanya agak terlalu muluk di awal musim. Bukan apa, berangkat dari pengalaman jadi nomor tujuh musim lalu dan tim yang tidak berubah banyak, membuat saya dan jutaan fans LFC yang lain berpikir bahwa juara memang bukan jadi tujuan jangka pendek. Setidaknya, bukan untuk musim yang baru selesai ini.
Kami –maaf kalau saya menggeneralisir— percaya bahwa untuk ada di tampuk juara, perlu proses panjang. Mengembalikan kepercayaan diri untuk bisa bersaing dengan tim-tim besar lain yang dilengkapi budget belanja yang jor-joran. Sementara, LFC musim 2013/2014 tidak dilengkapi dengan hal ini. Proses selalu ada di dalam DNA LFC.
Yang dilakukan oleh LFC adalah membangun kekuatan dari dalam. Manajer Brendan Rodgers memilih untuk mengakali keadaan daripada menyesali dan misah-misuh sepanjang musim karena tidak punya budget besar.
Fakta tersaji dengan manis. Ada banyak statistik detail yang bisa ditilik di internet. Tapi, mari kita gunakan yang resmi dari http://www.premierleague.com.
Dari rating komplit yang dicatat berdasarkan statistik masing-masing pemain sepanjang musim, LFC menempatkan enam orang di dalam daftar dua puluh pemain dengan index paling tinggi di Liga Inggris musim 2013/2014. Mereka adalah Luis Suarez, Steven Gerrard, Daniel Sturridge, Martin Skrtel, Raheem Sterling dan pemain paling stabil musim ini, Jordan Henderson. LFC adalah tim penyumbang nama paling banyak di dalam daftar ini.
Begitu juga kalau dibelah satu demi satu berdasarkan posisi. Hampir seluruh pemain inti tim, masuk di dalam daftar-daftar itu. Termasuk bek paling junior –yang menjadi pemain favorit saya musim ini— Jon Flanagan.
Tahu yang paling manis dari deretan statistik baik ini? Fakta bahwa mereka adalah pemain yang sudah menghabiskan beberapa musim di LFC dan menjalani musim kedua bersama Brendan Rodgers.
Pemain-pemain di atas adalah mereka, yang di awal musim, dirasa tidak punya kemampuan untuk bersaing dengan nama-nama besar yang bertumpuk di Manchester City, Chelsea atau Arsenal. Malah, lebih dipandang sebelah mata ketimbang kedalaman tim yang dimiliki oleh Manchester United yang menyelesaikan musim di posisi ketujuh.
Orang banyak mungkin lupa, ada elemen hati yang bermain di dalam kerja keras. Berkali-kali otoritas klub dan kemudian Rodgers bilang bahwa LFC tahun ini adalah sebuah work in progress. Jadi, memang tidak dirancang untuk jadi juara sekarang. Tim ini sedang dibangun dan fokusnya mengembalikan Champions League ke Anfied.
Tujuannya saling berkaitan; kalau main di Champions League bisa punya duit tambahan untuk budget belanja sekaligus menarik perhatian pemain-pemain bagus untuk mau bermain di LFC di masa yang akan datang. Jadi, semuanya dijalani satu demi satu.
Mentalitas ini, berhasil menurun secara kolektif ke seluruh elemen klub; pemain, pemiliki, staff dan tentu saja fans. Mengamankan target adalah tugas utama sementara jadi juara, sama sekali tidak ada di dalam rencana.
LFC cukup tahu diri dan berlindung di dalam proses, bagian paling penting dari perjalanan panjang mengembalikan kejayaan. Walaupun tidak perlu briefing kolektif tentang hal ini, seluruh isyarat dan hasrat yang dikirimkan secara terbuka oleh Rodgers dan klub bisa diserap dengan baik oleh masing-masing elemen.
Jadi juara, adalah bonus. Kalau dapat syukur, kalau tidak ya namanya pelajaran, pasti ada harganya.
Kita semua sama-sama tahu bahwa Manchester City berhasil menjadi juara Liga Inggris musim ini. Selamat untuk mereka, selamat untuk jadi yang terbaik dari segi perolehan point. Yang paling penting, mereka adalah tim dengan mentalitas terbaik.
Musim Liga Inggris tahun ini sangatlah melelahkan. Terlalu banyak drama dan unsur kompetitif yang luar biasa keras dari minggu ke minggu. Di papan atas, lima nama bersaing keras; Manchester City, LFC, Chelsea, Arsenal dan Everton. Di papan bawah, lebih banyak lagi nama bersaing untuk bisa bertahan di kompetisi musim depan; Cardiff City, Norwich City, Fulham, West Bromwich Albion, Crystal Palace –yang bangkit setelah dipegang oleh Tony Pulis— dan tentu saja tim yang berhasil melakukan the greatest escape in Premier League history, Sunderland.
LFC melakukan kesalahan fatal ketika kalah di Anfield dari Chelsea. Itu adalah titik balik paling curam dari musim ini. Padahal, posisi sedang di atas angin. Yang mengalahkan, bukanlah kehebatan parkir bus Chelsea, tapi mental yang memang belum berkualitas juara liga.
Mental juara itu, tidak dibentuk dalam waktu yang pendek. Itu kenapa banyak pemain yang secara kualitas personal sangat bagus, tapi ketika bersatu dan bermain sebagai tim, tidak bisa apa-apa. Percaya pada proses, sesungguhnya, membuat kita yang mengikuti merasa lebih legowo dan rela mengeluarkan investasi waktu untuk menunggu hal terbaik tiba.
Orang bisa bicara apa saja tentang LFC. Bisa pakai kacamata apa saja. Tapi, hubungan saya dengan dia, sudah sulit sekali dipisahkan. Itu soal rasa dan sifatnya sangat personal sekali. Agama saja rasanya tidak seperti ini; agama kebanyakan diturunkan oleh orang tua, sementara klub favorit ditemukan lewat penelusuran minat dan bakat yang sifatnya berkawin campur dengan selera.
LFC membuat saya pergi ke Kota Liverpool dua kali –sampai hari ini, rasanya masih akan berpuluh atau beratus kali lagi— dan itu adalah sebuah alasan yang cukup mendasar untuk menjelaskan secara mudah bagaimana level hubungan saya dengan dia. Pengorbanan yang dilakukan untuk bisa pergi menginjakkan kaki di kota itu karena alasan sepakbola, sudah menyiratkan betapa besar cinta yang saya punya.
Jadi, dikatain saja sih, pasti nggak mempan. Karena bisa jadi, orang yang mengatai bahwa LFC gagal musim ini, tidak paham betapa besar cinta yang saya punya. Sepakbola memang gila.
Tapi, ini hanya putaran reguler musim. Akan ada tahun-tahun berikutnya di mana perasaan akan diobok-obok. Dan sekarang saya sedang menabung untuk membeli jersey away tahun depan yang cantiknya bukan main. (pelukislangit)
Kantor Cengkareng: 12 Mei 2014.
Kedai Tjikini: 15 Mei 2014.
Seluruh gambar dicuri dari internet, maaf.
Merinding bacanya :’). YNWA
Waduh…. asik”