Saya sedang duduk di sebuah kedai kopi di sudut Queen Street, jalan utama di Central Business District (CBD) Auckland, salah satu kota penting Selandia Baru. Ini kunjungan kedua dalam setahun belakangan.
Ada bentangan waktu yang tidak main-main, Auckland maju enam jam dari waktu Jakarta. Analoginya persis seperti pergi ke Eropa, tapi kebalik. Jika biasanya mundur, ini maju. Kalau di Auckland pukul dua belas siang, berarti di Jakarta masih pukul enam pagi.
Kali ini, kunjungan saya hanya empat malam, tidak lebih. Agenda utamanya menonton pertunjukan Bruce Springsteen di rangkaian Summer ’17 Tour-nya. Bruce Springsteen adalah salah satu pahlawan musikal saya. Musiknya sangat orang putih, termasuk konflik-konflik yang disajikan dalam lirik-liriknya. Dan ukuran pertunjukannya sangatlah besar, kelas stadion. Sulit untuk melihatnya main di Asia karena bentukan musik yang seperti itu. Maka, ketika mendapat kabar bahwa ia main di Australia dan Selandia Baru, saya merasa harus pergi.
Pilihan untuk Auckland diambil secara logis. Saya punya visa negara ini yang hidup sampai 2018. Jadi, bisa melenggang dengan baik tanpa perlu repot-repot lagi mengurus ijin masuk. Sementara, kalau Australia, harus mengurus dulu. Visa saya mati dan tidak pernah diperpanjang sejak 2014 rasanya.
Plus, Selandia Baru lebih menyenangkan ketimbang Australia. Itu faktor utamanya. Orang-orang di sini, sangat santai. Lebih kalem, lebih manusia dan setara. Tapi, itu alasan personal sih. Tidak begitu penting untuk orang banyak.
Karena hanya ingin menyaksikan pertunjukan musik, maka saya memang tidak punya rencana banyak. Tadinya mau ke Wellington, tapi malas karena tidak ingin perjalanan ini terburu-buru jadinya. Kebetulan pula, dapat kesempatan untuk mengatur ulang perjalanan karena perubahan jadwal. Jadi, rencana pergi sepuluh hari diperpendek menjadi tujuh hari saja. Lengkap dengan perjalanan pulang-pergi yang makan waktu sehari masing-masing.
Kebetulan, pekan ini, ada rencana nonton pertunjukan musik lainnya di Singapura; Explosions in the Sky. Jadi, kalau bisa dihemat waktu dan dijalankan berturutan, kenapa tidak?
Keputusannya adalah mencoba bertahan dengan jam biologis Indonesia, tidak mengikuti perbedaan waktu. Resikonya: Bangun siang dan punya sistem tubuh yang berantakan. Jetlag itu menyebalkan. Saya bukan orang yang handal berurusan dengan tantangan alam model begini.
Dalam satu perbincangan panjang dengan yang terkasih beberapa hari lalu, ada satu fakta menyenangkan yang rasanya akan tinggal permanen di dalam diri saya; Menyadari kepentingan perjalanan dan tidak ingin memaksimalkan waktu untuk hal-hal yang tidak begitu perlu.
Alasannya: sebuah tempat selalu bisa dikunjungi di masa yang akan datang. Keberanian untuk menyimpan pikiran positif ini, sebenarnya mampu membawa saya menjelajah ke banyak tempat di muka bumi ini. Bukan perkara kaya secara finansial, tapi ada di waktu dan ruang yang tepat.
Waktu dan ruang yang tepat adalah: punya visa, punya kartu kredit yang lengkap fasilitas cicilan 0%-nya, visi melihat dunia, mengejar keinginan selagi bisa serta tidak kebanyakan mikir; mau pergi, ya pergi saja.
Orang Indonesia itu, sebenarnya beruntung. Kebanyakan dari kita, melakukan perjalanan keluar negeri pertama ke Singapura. Negara itu mahal. Coba hitung, di luar biaya tiket, berapa biaya hidup yang diperlukan untuk sebuah perjalanan ke Singapura. Biaya yang tidak dalam budget ketat ya, yang normal-normal saja. Kalau bisa memenuhi kebutuhan yang model begitu, mau pergi ke sisi dunia yang manapun, pasti bisa.
Ongkos terbesar di Selandia Baru, misalnya, adalah tempat tinggal dan transportasi. Mungkin makan di restoran bisa disebut juga mahal. Tapi, selalu ada cara untuk mengakalinya. Jalan kaki di pusat kota sangat mungkin, lalu makan bisa masak dengan fasilitas hostel. Tinggal, ya jangan cari hotel, tinggal saja di backpacker’s place. Memang, masing-masing orang punya preferensinya masing-masing, tapi paradigma standar bisa berlaku dengan baik kok.
Uang bisa dicari dan disederhanakan perannya. Toh, selamanya, ia akan hanya menjadi barang substitusi. Kamu tidak perlu kaya raya untuk bisa menjelajah.
Yang ada di depan mata saya ketika tulisan ini diselesaikan juga mewahnya bukan main: Ada di simpangan salah satu penanda kota dan duduk melihat mobil lalu-lalang. Saya membuka komputer, mengerjakan tulisan tentang Homicide dan mengisi situs pribadi. Bersenang-senang.
Dua cangkir kopi menjadi teman. Ongkosnya mirip seperti minum kopi di kedai di Jakarta. Barangkali, Jakarta juga lebih mahal sedikit. Relatif sih. Tapi, masih ok kok.
Pengalaman, memang ada untuk dikumpulkan. Kemudian diceritakan.
Ngomong-ngomong, saya suka sekali dengan Selandia Baru. Mungkin sepanjang hidup akan belasan kali ke sini. Mungkin juga, ingin hidup di sini. Seperti biasa, tidak tahu kemana masa depan akan membawa saya. (pelukislangit)
Remedy Coffee, Auckland
27 February 2017
15.18