Akhirnya akan kejadian. Mimpi untuk membuat festival sendiri, ada di depan mata. Namanya Cikini Folk Festival.
Tahun lalu, tanpa sadar, saya mencanangkan sesuatu niat yang perlu untuk diwujudkan di tahun 2016 ini. Secara khusus, saya ingin berkontribusi pada scene musik tempat saya berkarya dengan cara membuat sebanyak mungkin pertunjukan.
Kelasnya diset: Gedung pertunjukan. Bukan apa, tapi ingin membuat bermain di gedung pertunjukan menjadi kebiasaan untuk banyak orang. Bukan lagi hal yang spesial. Karena itulah, Bermain di Cikini dan Future Folk diset. Dengan bantuan banyak orang.
Yang Bermain di Cikini, dilangsungkan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Yang Future Folk dimainkan di Auditorium IFI milik Kedubes Prancis di Jalan Thamrin.
Di perjalanannya, kemudian muncul peluang-peluang kecil untuk mengembangkan apa yang sudah ada. Salah satunya adalah membuat festival sendiri.
Dari sebuah peluang manis yang disambar, jadinya Cikini Folk Festival. Ada tanggal kosong di akhir pekan yang mendadak datang, seminggu sebelum natal. Teater Kecil Taman Ismail Marzuki yang kapasitasnya tidak besar itu, akan menjadi tuan rumah. Di sana, akan ada dua panggung untuk memainkan dua belas nama yang akan tampil. Kita akan masuk ke bagian materi festivalnya nanti.
Festival adalah sebuah konsep yang menantang. Interpretasinya bisa macam-macam. Ekspektasinya juga bisa macam-macam. Tapi, dalam kasus apa yang akan saya buat, bisa dijamin, semuanya berkemasan sederhana.
Saya sejujurnya tidak (atau mungkin belum) punya kemampuan untuk membuat sesuatu yang besar dari segi pertunjukan. Besar dalam artian ada kemegahan produksi, menanggung ribuan orang di satu lokasi pertunjukan dan segala sesuatu yang jadi omongan orang banyak karena kemewahan dan kecanggihan teknologi yang menyertainya. Tapi saya percaya bahwa festival sesungguhnya adalah kepercayaan orang akan sebuah ide yang diusung dan bisa dialami secara komunal nantinya.
Jika beberapa kali saya menulis bahwa Bermain di Cikini idenya disusun oleh pengalaman menyaksikan Bryan Adams dan Glenn Fredly yang sederhana, maka saya berhutang pengalaman pada Ngayogjazz dan Pesta Boneka-nya Papermoon Puppet Theater untuk Cikini Folk Festival.
Di kedua festival yang disebut terakhir itu, saya menemukan bahwa sesungguhnya ide berfestival adalah keberanian untuk merayakan kesenian bersama-sama. Tidak perlu sesuatu yang megah; dua festival ini malah akrab dengan hujan. Yang penting menu yang disajikan menjadi garis merah yang membatasi berbagai macam ekspektasi yang mungkin muncul. Bahwa datang ke sebuah pergelaran hanyalah untuk menyaksikan menu utamanya. Bukan yang lain.
Interaksi orang dan menu yang ciamik, rasanya menjadi titik utama yang harus diperjuangkan. Budget bisa diakali, yang penting terbuka dan percaya bahwa di luar sana, masih banyak orang yang peduli bahwa musik bisa dimainkan di level yang paling sederhana. Ada gelembungan senyum yang tidak terhingga yang siap dibagi dan diambil. Ada proses take and give di dalamnya.
Membuat banyak pihak bertemu di satu kesempatan dan membuka banyak pintu yang kemudian bisa ditindaklanjuti sesungguhnya adalah esensi dasar dari ide festival yang ada di pikiran saya.
Dan dengan berani, Cikini Folk Festival 2016 diselenggarakan.
Nantinya, akan ada dua panggung di dalam lingkungan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, satu di dalam dan satu di lobi. Secara maraton, band-band akan tampil dari pukul 14.00-22.00 WIB. Seluruh band bisa dilihat, berarti tidak ada waktu yang bentrok antar satu penampil dengan penampil lainnya.
Yang akan tampil, semuanya merupakan kesukaan pribadi. Ada yang obsesi lama, ada yang baru berkenalan, campur aduk. Ok, di bawah ini dijelaskan satu demi satu siapa penampilnya. Tidak disusun berdasarkan alfabetikal, karena saya terlalu malas. ☺
Sisir Tanah
Sisir Tanah adalah Bagus Dwi Danto. Dalam waktu dekat, ia akhirnya siap mereka debut albumnya. Materi-materinya sudah berserakan di internet. Saya pertama kali mengajaknya bekerjasama di Future Folk vol. 01 yang diselenggarakan di IFI Jakarta pertengahan tahun ini. Cerita musiknya begitu tulus, enak untuk didengarkan sambil merenung. Saya penggemar berat.
Iksan Skuter
Diimpor dari Malang. Saya baru berkenalan dengan musiknya, lewat Shankara, albumnya yang paling baru. Ketika memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh, saya langsung menyalahkan diri sendiri; kenapa baru berkenalan dengan musiknya sekarang. Ya sudah, diupayakan saja untuk diajak main ke festival ini. Modalnya cuma gitar sama vokal.
AriReda
Kerjasama saya dengan AriReda berjalan jauh. Tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ini merupakan kali ke-4 AriReda main di Teater Kecil tahun ini. Tapi, yang kali ini, biarlah main di luar. Supaya ganti suasana. AriReda juga akan bermain di sore hari. Hari Minggu keesokannya, Ari Malibu punya agenda khusus di Bandung.
Junior Soemantri
Ia paman saya. Jadi, alasan nepotisme, sudah pasti di atas segalanya. Tapi Kelik, panggilan akrabnya, punya debut album yang sangat menarik. Ia menafsir ulang musik lawas milik Indonesia. Dengan sentuhan yang tidak dipaksakan.
Bin Idris
Haikal Azizi dari Sigmun. Ini proyek solonya. Baru merilis album dan dimensi beda yang ia miliki di dalam karya-karya solonya membuatnya menarik. Saya selalu punya respek besar pada orang-orang yang mengutamakan eksplorasi di dalam proses pengkaryaannya. Itu perlu keberanian yang tidak main-main. Dan ketika ia memutuskan untuk bermain di festival ini, saya merasa senang betul.
Sir Dandy
Sir Dandy Harrington dari Teenage Death Star. Kasusnya sama dengan Haikal Azizi, keluar dari pakem bandnya. Bedanya, Haikal punya skill, Sir Dandy pas-pasan. Tapi, siapa yang perlu skill hari begini? Sir Dandy Harrington menampilkan pelajaran penting untuk orang banyak; siapapun bisa main musik dan bersuara kalau memang mereka mau. Bisa jadi, ia lebih berguna sebagai pendidik ketimbang si calon gubernur yang kutu loncat itu. Haha.
Jason Ranti
Nah, kalau Kelik tadi nepotisme, yang ini harus ada. Wajib hukumnya. Salah satu penulis lagu berkategori jenius yang saya sukai. Jeje, panggilan akrabnya, sudah terlibat di beberapa kerja sama bersama saya. Menyaksikannya berkali-kali, dengan berbagai macam tipe penonton, seolah tidak pernah cukup. Ia salah satu nama yang paling atas ada di daftar pengisi Cikini Folk Festival 2016 ketika baru dirancang beberapa bulan yang lalu.
Gabriel Mayo
Merantau dan memperjuangkan nasib lewat musik. Lagi-lagi orang berani memutuskan untuk mengiyakan tawaran main di festival ini. Mayo mengembara dari Surabaya dan menulis sendiri jalannya di Jakarta. Menjadi salah satu musisi yang jadwal mainnya padat merayap. Segala tawaran dihajar. Sedang mempersiapkan album penuhnya.
Harlan Boer
Pemuda Tebet yang selalu berjiwa segar. Dihimpit problema, tapi selalu bisa menggambarnya dengan indah. Gitar dan seorang kawan yang bernyanyi akan membantunya unjuk gigi. Folk at its best.
Vira Talisa
Pendatang baru. Baru merilis mini album awal bulan ini. Bisa jadi, ini kesempatan perdana buat banyak orang untuk bisa menyaksikannya bermain langsung.
Adrian Yunan
Saya punya rasa hormat yang sangat besar padanya. Karena keberaniannya melawan keadaan dan tidak menolak tunduk pada kondisi tubuh yang sakit. Adrian Yunan –juga merupakan salah satu bagian penting dari Efek Rumah Kaca— kembali ke panggung dan mulai menampilkan lagu-lagu dari album solonya yang sedang direkam. Saya menyaksikannya bermain di suatu tempat kecil di Kemang dan tiba-tiba membuat janji untuk mengajaknya bermain di panggung yang lebih besar. Festival ini adalah upaya untuk memenuhi janji itu.
Marjinal
Yang ini masuk paling belakangan. Tapi, pada akhirnya, saya berhasil mengajak Marjinal untuk main di Cikini Folk Festival 2016. Yang pertama dan tentu saja bukan yang terakhir. Tidak banyak yang tahu kalau mereka punya Free Spirit of All Nation, sebuah album akustik yang dirilis khusus untuk pasar Jepang. Nah, format akustik adalah apa yang akan ditampilkan di festival ini. Punk rock, tapi akustik. Sudah biasa sih, dalam kasus mereka.
Nah, dua belas band ini, akan menjadi artis-artis yang mengisi Cikini Folk Festival 2016 edisi perdana pada 17 Desember 2016 nanti di Teater Kecil. Nantinya, akan ada dua panggung yang membagi penampilan menjadi dua kutub; satu di dalam, teater yang biasa digunakan, satunya ada di luar di bagian lobi teater. Tidak ada waktu yang bentrok antara satu panggung dengan panggung lainnya.
Ini bagian jualannya: Tiket akan dilepas seharga Rp.125.000,00 dan bisa dipesan langsung via seribermaindicikini@gmail.com.
Besar harapan, kamu yang membaca tulisan ini, bisa datang ke Cikini Folk Festival 2016. Tentunya, untuk berbagi kebahagiaan yang sama. ☺
Sampai jumpa di Cikini! (pelukislangit)
WSATCC ga masuk bg?
Kapan-kapan saja yang itu.