Di kota ini, kita tidak menggunakan satuan jarak, melainkan waktu. Ia lebih akurat. Karena jarak seringkali tidak masuk akal. Terlalu banyak faktor yang bisa memengaruhi hitungan akhir. Seringkali pula, membuat bebal dan kesal. Di Jakarta, hidup perlu untuk diakali. Ia tidak pernah biasa.
Jadi, ketika sebuah hari Minggu datang dan ada ruang kosong yang bisa dijelang atas nama satuan waktu, mari dikejar. Dibuat berarti dan berkesan. Mengunjungi kegiatan yang telah lama ditinggalkan hanya semata-mata.
Kita bisa memulainya di pagi hari dan mengakhirinya sedikit lewat tengah hari. Esensi sama, hanya mempermainkan waktu (dan juga jarak yang tidak lagi jadi penting).
Setelah selesai, semua jadi hal yang menyenangkan.
Tapi tunggu dulu.
Ketika sudah berdamai dan sadar, ada hitungan waktu yang masuk. Jadinya kombo. Hari ini, ia telah pergi sepuluh tahun. Dua belas tahun yang lalu, ada orang-orang yang menangisi perpisahaan. Walau mungkin, untuk sebagian, sudah diprediksi.
Sabda-sabda penguatan masih terngiang. Adegan duduk di tangga itu pun kembali pula terbayang. Ketika diingat, menyakitkan, tapi toh bisa dilalui.
Hitungan waktu, membawa semua berjalan ke depan. Meninggalkan yang di belakang. Baik yang kisahnya terjadi dua belas tahun yang lalu atau sepuluh kilometer yang lalu.
Waktu, menjadi alat ukur yang paling relevan. Ternyata. (pelukislangit)
Rumah Benhil
18 September 2016
15.43
Buat RM dan AGD yang mengajarkan bahwa waktu adalah pengalaman penting (untuk hidup)