Teman-teman dan sejumlah cerita terbaik saya, kebanyakan berasal dari fase Kolese Gonzaga. Ia berlangsung antara 1998-2001. Menjelang dua puluh tahun berlalu, masih banyak yang bisa dikenang. Salah satunya adalah Ibu Irma Yanthi dan pelajaran Bahasa Indonesia yang ia asuh.
Ide untuk menulis tulisan ini muncul ketika saya membonceng motor Raymundus Gifford –atau GP, panggilan akrabnya—, salah satu teman baik. Kami baru saja sarapan di Petak Sembilan, Jakarta Barat.
Sebelumnya, ia menginap di rumah saya. Niat. Karena memang, babi harus dibela. Perlu komitmen baik untuk pergi ke sana baginya, maklum tinggalnya di desa. Haha.
Kami berbincang tentang sejumlah nama teman. Tiba-tiba ia bicara.
“Yang sekarang nggak ada kabarnya tuh si Lambe, nyong –panggilan akrab kami—. Temen-temen kuliah gue aja dulu udah nggak ada yang tahu kabarnya gimana,” ucapnya.
Lambe adalah panggilan akrab Ray Cinorta, salah satu teman kami yang lain. Yang entah sekarang ada di Jakarta sebelah mana. Yang memang sedang tidak ada kabarnya belakangan ini.
Mendengar kata “Lambe” saya mendadak langsung ingat Ibu Irma.
Ibu Irma mengajar kami di kelas dua. Yang ia asuh adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ialah yang menciptakan panggilan itu. Korbannya ada dua, Lambe 1 untuk si Ray Cinorta dan Lambe 2 untuk si Raymundus Gifford ini. Mereka dianggap berseri oleh Ibu Irma.
Penyebabnya satu: Bentuk bibir mereka memang offside. Terlalu maju ke depan. Haha. Kocak, memang.
Yang lebih seru lagi, Ibu Irma ini punya dominasi yang kuat untuk mencap sebuah panggilan sayang untuk seseorang. Ia punya karakter yang sangat kuat. Keraslah. Kadang bikin sebal banyak orang karena mulutnya tajam, kalau lagi ngamuk pun bahaya laten galaknya. Tapi, lebih sering ia membuat orang tertawa.
Buat saya lumayan menyenangkan. Karena saya suka pelajaran Bahasa Indonesia. Walaupun, kalau harus membandingkan, ia masih kurang influential ketimbang Christina Purwanti, guru Bahasa Indonesia yang lainnya. Alasannya sederhana, Ibu Pur –begitu kami memanggilnya— lebih enak diajak ngobrol, mengajar mata pelajaran khusus sastra dan gemar memberi buku untuk anak didiknya.
Kembali ke Ibu Irma. Sampai hari ini karakternya membekas. Terlepas dari pembawaannya yang sedikit nyeleneh dan penuh dengan mixed feelings, ada satu yang tidak pernah saya lupakan.
Suatu kali, kami anak kelas dua, diberikan tugas yang umurnya panjang, satu caturwulan. Dulu namanya caturwulan, belum semester seperti sekarang. Well, semester sebenarnya kembali ke masa yang lebih lama lagi deh. Intinya, dulu namanya caturwulan.
Tugas itu adalah mencari buku-buku yang dilarang pemerintah karena alasan komunisme dan teman-temannya, lalu harus direview. Ibu Irma keluar dengan daftar buku-bukunya. Kebanyakan adalah buku Pramoedya Ananta Toer dan rasanya sejumlah buku Tan Malaka.
Gila!
Anak kelas dua sekolah menengah atas, ada di fase umur 15 atau 16, diperkenalkan dengan politik dan sastra yang rasanya punya hubungan kandung itu.
Dan saya menikmatinya.
Awalnya, kami mengerutkan kening. Pertanyaan paling mendasar, “Ini bagaimana cari bukunya ya, bu? Kan dilarang.”
Ia membalas dengan cekatan, khas tukang ngeles, “Ya, nggak mau tahu, cari aja.”
Beberapa bulan kemudian, semua anak kelas dua mengumpulkan tugas mereka. Haha. Ia berhasil membuat anak-anak ini mengulik berbagai macam peluang untuk mengerjakan tugas yang ia beri.
Dan karena itulah saya berhutang padanya: Jadi kenal dan jatuh cinta setengah mati sama Pramoedya Ananta Toer. Buku yang saya pilih adalah Bumi Manusia. Yang sampai hari ini, nyaris dua puluh tahun kemudian, tetap menjadi buku favorit saya.
Buku itu beberapa kali membuat saya mengambil keputusan penting. Hanya karena serangkaian kata yang bunyinya begini, “Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan jadi apa-apa.”
Saya keluar dari bangku sekolah. Memutuskan untuk kembali lagi ke Jakarta tersayang setelah menghabiskan waktu tujuh tahun di Bandung. Meninggalkan AirAsia setelah kurang lebih lima tahun bekerja di sana. Atau sekarang, memilih untuk menjadi penulis penuh waktu.
Semua karena kata-kata Pramoedya di buku yang menjadi subyek tugas dari Ibu Irma di bangku Kolese Gonzaga dulu.
Senang mengingat Ibu Irma dan perannya di masa remaja saya. Saya juga yakin, ada banyak orang yang punya kisah-kisah senada tentang dirinya. Maklum, lumayan berkesan juga yang satu ini.
Semoga bisa segera bertemu satu hari nanti. Melihat dari dekat apakah ia masih se-badass dulu atau tidak.
Anyway, selama mengingat pengalaman ini tadi, saya dan GP beberapa tertawa terbahak. Kami –dan mungkin banyak anak Kolese Gonzaga yang lain— tahu persis betapa Ibu Irma punya pengaruh penting bagi hidup di masa itu. (pelukislangit)
8 Agustus 2015
Rumah Benhil
18.23
Menunggu Florian Candella datang menjemput
Tulisan pertama dengan mesin baru
Tidak menemukan foto Ibu Irma. 😦
Ibu Irma TOP!! Julukan2 dia mmg ngena. Lambe? Kl gw dapetnya ‘Cerewet’. Lol. Anyway, love u bu Irma and The 12th Generation.
lix…max mallen juga noh ga ada kabarnya….si lambe…ucok moses..