Calo

Salah satu yang tidak pernah bisa dipandang sebelah mata dalam bisnis hiburan adalah calo. Kadang menyebalkan, kadang super berguna. Yang lebih seru dan tidak boleh dilupakan, yang kita punya di Indonesia, sesungguhnya diimpor dari kebiasaan yang ada di barat.

Inggris pun dunia percaloannya tidak kalah menarik. Bahkan untuk sekedar diperbincangkan. Di Liverpool Sound City 2017, ada satu bahasan menarik di sesi conferencenya. Judulnya Power to the People. Summary progamnya bisa dilihat di sini. Kalau ingin lebih jauh tentang isu ini, silakan dilanjutkan proses mencarinya. Ada banyak sumber di internet.

Intinya, keberadaan secondary market di pasar musik Inggris –Tulisan ini kemudian bisa berkembang konteksnya ke negara lain—, selalu jadi usikan yang signifikan untuk diperhatikan. Secondary market ini kasarnya adalah situs jual ulang. Semacam forum di Kaskus yang isinya pihak-pihak yang punya tiket lebih lalu menjual kembali kepada mereka yang membutuhkan. Kenapa pihak-pihak, karena memang ini kebanyakan juga bukan perorangan; bukan mereka yang membeli tiket lalu tidak jadi menggunakannya atau yang dengan sengaja membeli tiket untuk kemudian menjual lagi. Kebanyakan adalah perusahaan, celakanya dimiliki oleh situs-situs penjual tiket.

Praktek percaloan dijalankan.

Isu ini berlangsung bertahun-tahun. Di beberapa pertunjukan, yang sistematis begini hidup terus seiring perkembangan teknologi. Calo-calo yang bertebaran di jalan juga masih banyak sebenarnya, tapi itu dinamika sendiri.

Keberadaan calo dengan teknologi yang difasilitasi oleh secondary market itu, sebenarnya punya dua sisi mata uang; bisa baik, bisa juga buruk.

Saya pertama kali menggunakannya ketika membeli tiket pertunjukan Bruce Springsteen di Auckland, Selandia Baru. Ketika saya memutuskan untuk nonton, status pertunjukannya sudah sold out. Padahal, mainnya kelas stadion. Kapasitas yang banyak, tentu saja menyisakan banyak peluang tiket beredar di secondary market. Saya membeli tiket di Viagogo. Nama yang tertera di tiket adalah nama latin. Orangnya tidak bertemu dengan saya. Secondary market menjamin bahwa tiket bisa digunakan. Jadi, bisa dipercaya.

Dari situ, saya menyadari bahwa bisnis ini ada dan punya peluang ekonomi yang sangat besar. Bisa juga disambungkan dengan kasus yang pernah terjadi dengan Pearl Jam, ketika mereka bertengkar dengan Ticketmaster di pertengahan 90-an. Tidak langsung begitu, tapi ada dimensi konfliknya yang beririsan.

Dari diskusi itu, ada satu fakta yang seru; bahwa sebenarnya secondary market itu bisa dikendalikan atau bahkan dihilangkan sekalian. Glastonbury Festival adalah contoh penting yang secara politis bisa jalan dengan sukses menghilangkan peran secondary market. Orang yang datang ke festival ini bisa sekitar 200.000 orang. Tapi, nyaris tidak ada tiket yang beredar di secondary market. Bukan apa, ketika beli saja, sudah dimintai bukti foto nama yang bersangkutan. Tidak ada ruang untuk dijual kembali karena verifikasinya personal.

Informasi tentang bagaimana Glastonbury Festival memperjuangkan penerapan perlawanan terhadap secondary market, bisa dicek di artikel ini atau ini. Salah satunya berasal dari tahun 2007, berarti upayanya sudah lama toh?

Kalau ada keinginan politis untuk melawan, pasti bisa. Tapi memang ada investasi teknologi yang dilakukan. Dengan ukuran penonton yang segitu banyak, biayanya jadi masuk. Tidak semuanya ingin secondary market ini dilawan. Kebanyakan, memilih untuk tutup mata.

Konsumen, punya pilihan untuk bersikap. Menurut saya, tergantung obyektifnya apa, mau nonton band favoritnya atau ya secara fanatik menikmati perlawanan yang dilakukan organiser yang sebenarnya masih sedikit sepenuh hati untuk memberantas. Ya, bisa dimengerti, wong yang besar-besar itu sahamnya juga dimiliki oleh mereka-mereka itu juga.

Lantas, apa yang enak untuk konsumen? Sepanjang perjalanan ini, saya tiga kali membuktikannya; Saint Etienne dan The Stone Roses di London serta Southside Johnny and the Asbury Jukes di Amsterdam.

Sebelum lebih jauh, jadi ide dasar dari secondary market itu adalah menjual ulang tiket dengan harga pasar. Tentu, berbeda dari harga aslinya. Bisa lebih murah atau lebih mahal. Lebih murah? Calo kok lebih murah?

Jadi begini, stok tiket kadang banyak. Istilahnya kalau di percaloan dalam negeri, banjir. Tiket yang banjir ini ujung-ujungnya membuat perusahaan rugi. Jadi, diobral. Bagaimana cara menemukannya?

Cari saja informasinya di situs secondary market. Kalau harganya tidak jauh dari harga dasar, bisa jadi tiketnya banjir. Coba dipantau dalam beberapa hari. Kalau masih ada, ya berarti banjir. Jangan takut dengan iming-iming yang memberi tahu bahwa stok tiket sudah terbatas dan ada banyak antrian di dalam pembelian. Itu kebanyakan palsu. Memang dibuat untuk menyegerakan konsumen membeli tiket. Kadang, kalau terburu-buru cenderung bisa ditipu.

Kalau di Inggris, bisa juga mengecek situs fans to fans model Twickets. Ia bisa dijadikan referensi. Di Twickets, yang tersambung jelas; penggemar ke penggemar. Jadi, tidak anonymous.

Oh iya, ingat juga bahwa ada fee tambahan dari harga yang tersaji. Jadi, harus cek benar-benar sampai proses terakhir untuk mengetahui berapa total. Yah, namanya orang cari makan, wajarlah diputar-putar. Banyak akalnya. Yang jelas, level ketulusannya tidak semurni yang menjual resmi.

Saya kasih contoh.

Untuk Saint Etienne, saya menonton mereka main di Royal Festival Hall. Tiket aslinya berharga sekitar 30 pounds. Sampai beberapa hari menjelang pertunjukan, masih bisa didapat di situs resmi venue. Jadi, tidak laku.

Lalu, saya memantau Viagogo. Harganya makin turun dari hari ke hari. Akhirnya saya membeli tiket dengan harga dasar 5 pounds. Setelah pajak dan biaya macam-macam, akhirnya saya mendapatkan deal total 13 pounds. Ok kan? Kursinya paling atas. Tapi, masa nonton band dance duduk diam?

Di lagu keempat atau kelima, orang mulai berdiri dan bebas untuk merapat ke pinggir panggung. Akhirnya, jadi beginilah pemandangannya. Bayangkan, dengan tiket murah, ini bisa terjadi. Good deal kan?

Yang kedua, The Stone Roses. Pertunjukan dimainkan di Wembley Stadium. Kapasitasnya puluhan ribu. Tapi tiket bertebaran di Twickets dan Viagogo. Tanda-tanda over supply sudah terasa. Tunggu saja sampai hari H. Malah bisa memilih.

Saya membeli tiket beberapa jam sebelum hari pertunjukan. Bisa memilih tribun yang enak, tidak paling bawah tapi bisa melihat lurus ke panggung. Pertunjukan di Wembley Stadium itu openingnya banyak. Jadi, memang lebih enak duduk. Harga yang saya bayar 30 pounds total. Harga aslinya sekitar 60 atau 70 pounds. Setengah harga.

Tribun paling bawah juga banyak yang kosong. Padahal, tiket pertunjukan ini kabarnya sold out. Kebayang kan berarti over supplynya seperti apa. Ya itu tiketnya ada di secondary market semuanya. Bukan di tangan fans.

Ngomong-ngomong, The Stone Roses itu, setiap musim panas tur. Yah, maksimal sepuluh pertunjukan. Dan ukurannya harus stadion. Jadi, memang potensi tiket banjir gede. Yang tahun ini, minat fansnya sudah berkurang drastis. Wong, setiap tahun main. Konon katanya, bayaran mereka super besar.

Ini nuansa pertunjukan musik di Wembley Stadium.

Lalu, setelah berhasil dua kali, pengalaman ketika muncul di Amsterdam. Kebayang kan sistematisnya? Di tulisan ini saja, setidaknya saya sudah menulis tiga negara sebagai latar belakang ceritanya. Kalau iseng, coba deh cek berapa harga tiket Ed Sheeran di Jakarta. Ada kok. Kejam aja harganya.

Kembali ke Amsterdam. Di sebuah malam minggu, Southside Johnny and the Asbury Jukes main. Band ini, ada di gengnya Bruce Springsteen and the E Street Band. Jadi, sangat kulit putih Amerika, mustahil bisa main di Asia. Sama saja kasusnya kenapa harus memburu Bruce Springsteen and the E Street Band sampai ke New Zealand.

Southside Johnny and the Asbury Jukes ini tidak terkenal amat. Tapi posisinya penting. Bruce Springsteen dan Stevie van Zandt tercatat pernah ikut rekaman. Jadi, dia kecil. Tapi sangat penting untuk orang-orang berstatus dewa itu. Amsterdam sendiri ternyata, setelah ditelusuri di internet, lumayan sering dikunjungi. Setidaknya, tiga-empat tahun sekali, mereka mampir ke sini.

Peminat banyak, tapi ya tidak lantas membuat tiket sulit didapatkan. Mereka bermain di Paradiso, salah satu venue musik paling ok di Amsterdam. Lagi-lagi, merupakan bekas gereja yang diubah fungsinya. Walau masih menyisakan tulisan Soli Deo Gratia di latar belakang tembok belakang panggungnya. Kalimat itu artinya kurang lebih kejayaan untuk tuhan. Jargon-jargon model begitu, biasa ditemukan di tembok-tembok gereja.

Satu yang selalu spesial dari alih fungsi gereja adalah tetap mempertahankan sisi akustiknya. Jadi, memang cocok untuk pertunjukan musik. Paradiso punya tiga lantai, panggung ada di lantai paling dasar tapi orang bisa naik ke lantai dua dan tiga untuk menyaksikannya. Kapasitasnya mungkin sekitar dua ribu orang kalau seluruh lantainya terisi penuh.

Dengan strategi yang sama, akhirnya tiket terjun bebas H-1. Ya sudah, saya beli saja. Yang menarik, di tagihan kartu kredit, keluarnya dalam mata uang Swedish Kroner. Berarti, si pemilik tiket (siapapun dia), posisinya di dalam yurisdiksi Swedia. Ajaib kan praktek percaloan ini? Lintas negara sudah.

Menarik kan melihat bagaimana praktek percaloan dijalankan? Menurut saya, anti-anti banget juga susah karena ini sudah ada sejak dahulu kala. Kalau mau mengambil posisi yang super jelas melawan, ya sekalian jangan tanggung seperti contoh Glastonbury Festival tadi. Tapi, ya selamat siap-siap juga dengan konsekuensinya.

Kebanyakan dari kita kan debu di tengah industri besar yang kadang-kadang kejam ini. Jadi, dipergunakan saja sebaiknya bagaimana. Dengan tidak mendukung percaloan juga kadang-kadang tidak lantas jadi mendukung langsung si penyelenggara. Wong si penyelenggara juga bisa jadi pelaku percaloan kok. Haha.

Kalau di Indonesia, ada rumor yang tidak pernah bisa dibantah sekaligus dipastikan keabsahannya; calo –yang sering kita lihat melakukan bisnis di pertunjukan-pertunjukan besar, mungkin juga kecil— adalah pasar bawah bagi penyelenggara untuk melempar tiket yang tidak terjual habis. Tapi, itu konon loh ya. Haha. (pelukislangit)

Amsterdam de Meer
26-27 Juni 2017

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: