Pintu gereja dibuka. Bukan sebagai tempat keagamaan, tapi sebagai ruang yang menyerahkan tubuhnya untuk menyaksikan musik diperdengarkan kepada orang banyak. Setiap babak ditutup dengan tepuk tangan.
Siang itu, saya pertama kali masuk ke Union Chapel, sebuah gereja tua yang juga populer sebagai venue pertunjukan di London. Beberapa band terkenal dan populer pernah main di sini. Coba cek hasil pencarian gambar ini. Atau pencarian video yang ini. Gerejanya sendiri masih berfungsi menggelar kebaktian dan melayani umat.
Ruangannya magis. Saya datang untuk memenuhi undangan Stuart Bruce, seorang Inggris yang kembali ke kampung halamannya setelah tinggal bertahun-tahun di Indonesia. Kami berteman karena musik. Mumpung masih di London dan tanggalnya cocok, ia mengajak saya untuk melihat seri Daylight Music. Di sana, ia jadi pekerja amal yang membantu acara berlangsung.
Daylight Music sudah digelar ratusan kali. Tidak perlu band ternama datang unjuk gigi. Yang dikandung, biasanya mereka yang baru meretas karir atau sedang dalam tur independen di Inggris. Saya datang tanpa ekspektasi. Stu –panggilan akrab Stuart— sudah menjual menunya terlebih dulu. Dan nama Union Chapel sendiri sudah menarik.
“Kalau bandnya jelek, yang penting saya sudah pernah menyaksikan musik di venue bagus inilah,” ucap saya dalam hati. Jadi, ekspektasi memang dimatikan. Hadapi saja apa yang ada di depan mata.
Pengunjung yang datang, tidak dipungut biaya. Tapi dianjurkan –bisa menolak dan tidak memberi— untuk melakukan donasi. Nantinya donasi akan dibagi ke seluruh band yang main. Unsur swadaya ini ada di depan.
Begitu juga dengan penjualan produk. Band yang main berhak untuk menjual produk mereka di meja merchandise. Penonton dibiasakan untuk melihat dulu band yang main untuk kemudian memberi support –yang bisa juga berarti pengganti biaya tiket— dengan membeli merchandise yang tersedia. Bentuknya pun menarik, ada yang jualan produk standar seperti cd dan kaos serta plat, ada juga yang jualan selai.
Pada dasarnya, kalau ingin mengembalikan modal produksi atau bahkan mendapatkan honorarium, masing-masing band diminta untuk berusaha sendiri dengan bantuan tenaga penjual di booth merchandise. Itu berarti, penampilan mereka perlu meninggalkan kesan di hati penonton.
Union Chapel sendiri punya kapasitas ratusan orang. “Di musim dingin minimal bisa enam ratus orang yang datang,” kata Stu. Hari itu, hanya sekitar dua ratus orang yang datang. Ruangan nampak kosong.
Tapi kemudian, saya terpekur sendiri. Bangsa Inggris bisa memberdayakan gereja untuk perayaan budaya populer. Gerejanya sendiri, tidak kehilangan kesakralannya. Misalnya, tempat ini tetap punya bar dan tempat makan, tapi diletakkan di gedung yang berbeda. Tidak boleh minum minuman beralkohol di gereja.
Yang dibela adalah fakta bahwa Union Chapel merupakan representasi dari gedung-gedung dari masa lalu bangsa itu yang memiliki kualitas akustik yang sangat baik. Budaya dan agama, ternyata bisa disusun berdampingan. Pemberdayaan ruang menjadi satu faktor penting yang perlu dicatat.
Hasilnya, saya punya siang yang sangat menyenangkan. Takjub dengan bagaimana ruang bisa memberi nyawa pada musik yang dimainkan. (pelukislangit)
Amsterdam, 8 Juni 2017
13.20 – Menunggu Kamboja vs. Indonesia