“All your dreams are made
When you’re chained to the mirror on your razor blade
Today’s the day that all the world will see…”
(Oasis – Morning Glory)
Sebuah album bagus, memang ditakdirkan untuk hidup selama-lamanya. Kalau di ranah pribadi, (What’s the Story) Morning Glory?-nya Oasis, masuk daftar itu. Album yang nomor satu malah.
Di link project milik Wok the Rock ini, saya mencatatnya. Segitu pentingnya memang untuk hidup karena ia memberi pahatan yang jelas pada masa remaja dulu. Di pertengahan 90-an, album ini menjadi kunci yang membuka banyak pengalaman baru. Keberuntungan bersekolah di dekat Duta Suara Sabang yang membuat akses pada rekaman-rekaman baru jadi mudah, melengkapinya.
Belum lagi digdayanya MTV Indonesia yang memutar video-video dari album ini. Bombardir itu membuat saya menyerah untuk kemudian membiarkan ia berkuasa. Oasis kemudian menjelma menjadi perwujudan musik paling hebat. Dalam konteks tertentu, ia tuhan. Benar, layak dipuja dan diikuti tindak-tanduknya.
Kalau ditanya mana karya yang terbaik, sudah pasti jawabannya album ini. Dari depan sampai belakang hafal.
Fragmen pembabtisan itu rasanya terjadi di sekitar akhir 1995 atau awal 1996. Dalam waktu sebentar, saya dikuasai.
Sejak itu, ia hidup abadi. Diputar berkali-kali, dimiliki dalam beberapa format untuk mengakomodasi ruang dan kemungkinan. Beberapa kopi juga hilang atau rusak. Rasanya sampai sekarang saya memiliki sekitar lima atau enam kopi album ini, terserak berantakan di sejumlah tempat penyimpanan. Statusnya: Harus ada.
Pengaruh album ini juga tunai dibayar dengan kesempatan menyaksikan Oasis bermain langsung di depan mata dua kali. Semuanya di Singapura, bersama Aditya Suharmoko, teman dekat saya yang juga membagi hasrat yang sama.
Saya pikir, cinta saya sama Oasis (dan album ini) sudah sempurna sampai sebuah kejadian menampar. Ini terjadi beberapa hari yang lalu.
Adik saya paling kecil, Zachary Dylan Dass, tahun ini berusia lima belas tahun. Umur kami terpaut tujuh belas tahun. Ia lahir tahun 2001, lima setengah tahun setelah (What’s the Story) Morning Glory dirilis. Ketika saya menyaksikan Oasis, ia belum melek musik rock. Familiar dengan musik, tapi bukan rock.
Di sebuah perjalanan menuju Mangga Dua, ke restoran dimsum favorit, kami membahas banyak lagu. Pintunya Coldplay. Lalu, entah mengapa, tiba-tiba ia mengakui bahwa ia fasih dengan musiknya Oasis. Wah! Jackpot.
Ini seperti obrolan dua orang yang baru bertemu dan disatukan oleh minat yang sama. Ia bercerita bahwa ada segelintir orang di lingkungan pertemanannya yang punya minat besar pada musik tahun 90-an. Ketika ditanya kenapa, jawabannya sederhana, “Kayaknya 90-an keren ya, mas?”
Waduh! Ini nih. Kami lalu berbincang tentang katalog Oasis. Saya tidak ingin memengaruhinya, tapi kemudian lagi, saya menanyakan pertanyaan selanjutnya, “Jadi, kamu kalau disuruh milih album Oasis yang mana, maunya yang mana?”
“(What’s the Story) Morning Glory?-lah,” jawabnya mantap.
“Loh, lagunya yang mana aja sih itu?” lanjut saya pura-pura tidak begitu paham.
“Yang ada Wonderwall sama Don’t Look Back in Anger. Eh, ada Champagne Supernova juga,” timpalnya.
Kelar! Semua bahasan tentang album ini lantas mengalir dengan lancar. Menurutnya, Oasis punya tempat di dalam hidupnya karena musik rock mereka mengisi celah anak-anak seumurnya yang kebanyakan diisi oleh musik berbau EDM. Lumayan aneh alasannya. Tapi, bisa jadi yang dialami oleh dia dan proses mengenal musik yang luas spektrumnya, benar begitu. Musik rock berbasis gitar bukan hal yang populer untuk anak seumurannya sekarang ini. Ada plus dan minusnya sih. Namanya juga jaman. Mana bisa dilawan?
Setelah kami mencapai kesepahaman, ada lagi yang mengejutkan; kami bernyanyi bersama di sejumlah lagu di album itu. Surreal sih buat saya pengalamannya. Rentang umur jauh yang nyaris dua dekade itu ternyata bisa diterabas oleh Gallagher Bersaudara. Luar biasa!
Jadilah akhirnya kami berbincang tentang sejumlah turunan band yang ada di sekitar musik-musik Oasis. Kami mendengarkan The Smiths, The Stone Roses, Blur, Manic Street Preachers dan sejumlah nama lain.
Jadilah juga, kami sepasang kakak-adik yang menggemari Oasis. Lumayanlah nanti nambah teman nonton Oasis lagi kalau mereka reuni. (pelukislangit)
Rumah Benhil
29 Juni 2016
11.45
Foto diambil di Jalan Gunung Sahari, di sebuah lampu merah. Kami sedang mendengarkan album ini.
Mungkin ini kejadian yang bagus banget. Gue lahir 2002 dan entah kenapa gue juga suka banget sama band oasis ini.
Awalnya pertama tau band oasis pas liat tulisan WONDERWALL di tembok kamar kakak temen gue dan gue tanya WONDERWALL itu apa dan malah temen gue dengerin gue sebuah lagu itu. Dan setelah dengerin gue langsung suka dengan tuh lagu dan kepo tuh lagu dari band apa.
Karena berawal dari lagu WONDERWALL gue cari bandnya apa dan ternyata OASIS. Gue kepo cari lagu – lagunya yang lain dan ternyata wow, semua lagunya langsung terngiang di kepala gue dan kejadian itu waktu pertama suka waktu SMP kelas 1 dan sampe sekarang tuh oasis masih menjadi band no 1 di hati gue dan masih terus gue puter lagi lagunya sampai sekarang gue kelas 2 sma.
Musik bagus tidak pernah mengenal umur. Senang mendengar elo suka Oasis. Semoga mereka segera reuni.
Gw cewek 27th. Seneng Oasis pas mereka dah bubar. Gw gk ngerti ada ya album yg bisa semua list lagunya unggul. Album ini emang fenomenal (WHAT’S THE STORY ) MORNING GLORY?
Hampir semua gw suka. Seperti biasa Wonderwall, Champagne Supernova, Don’t look back in Anger, Cast No Shadow, Hey Now, Some Might Say, terus Roll With It, gilaaaa hampir semua kan. Sumpah gw gk pernah suka hampir semua lagu dlm 1 album.