Kejadian pertama dalam lima tahun terakhir. Mungkin ini yang disebut orang banyak sebagai resiko.
Saya pergi meninggalkan AirAsia Indonesia setelah nyaris lima tahun ada di dalamnya. Sepanjang waktu itu, rasanya saya tidak pernah terbang domestik dengan membayar harga normal. Pilihannya hanya tiga: perjalanan dinas menggunakan AirAsia, perjalanan dengan diskon pegawai atau perjalanan dengan maskapai lain tapi dalam rangka dinas. Yang terakhir otomatis dibayari oleh perusahaan.
Bulan Juni 2015 nanti, saya dan seorang teman punya rencana untuk pergi ke Jazz Gunung yang ada di Pegunungan Bromo.
Teman saya itu datang dari luar negeri. Jadilah saya akan terbang sendiri dari Jakarta menuju Surabaya, kota yang kami sepakati sebagai meeting point.
Di sinilah persoalan muncul. Kebiasaan terbang tidak dengan biaya normal yang menempel selama kurang lebih lima tahun itu, harus diakhiri. Saya harus membayar tiket pesawat dengan harga normal.
Pertimbangan jadi tidak mudah. Maklum, tidak biasa membayar dengan normal. Jadi, isi kepala perlu dibangunkan untuk jadi terbiasa; sekarang semua urusan terbang harus ditempuh dengan biaya yang tidak dalam kerangka fasilitas kemudahan tertentu.
Saya bahkan menempatkan perjalanan dengan menggunakan kereta api sebagai salah satu opsi yang bisa dipilih. Untung harganya tidak beda jauh dengan pesawat, jadi opsi itu akhirnya gugur dengan sendirinya.
Opsi pesawat jadi yang utama. Tapi, pilihan mengerucut menjadi dua saja; AirAsia Indonesia dan Citilink. Saya tidak mau terbang dengan Lion Air atau Batik Air. Sementara, Garuda Indonesia, tidak ada di dalam pertimbangan karena mahal.
Pilihan menggunakan Citilink lumayan menarik, karena mendarat di malam harinya terjadi di Bandara Halim Perdanakusumah yang lebih dekat dengan rumah di Pejompongan; ongkos pulang jadi lebih murah sedikit. Sayang, mereka tidak terbang dari bandara itu di pagi hari. Sementara, saya sudah harus di Surabaya hari Kamis pagi.
AirAsia Indonesia adalah pilihan yang bijak. Sudah tahu luar dalam, tentu saja. Harga pun kompetitif. Beberapa minggu terakhir, harga tiket berkisar di angka Rp.1.200.000,00 untuk perjalanan pulang-pergi. Sekarang tax bandara sudah termasuk di dalam tiket. Jadi, agak sedikit mahal memang. Orang suka tidak mempertimbangkan hal ini. Ada fakta juga bahwa Bandara Juanda di Surabaya punya salah satu tax keluar paling mahal untuk perjalanan domestik di Indonesia, sekali jalan sekarang Rp.75.000,00.
Semua, sekarang dipertimbangkan. Maklum, semua biaya harus dikeluarkan dari kantong sendiri.
Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya yang deal terbaik datang. Tiket.com punya promo potongan Rp.100.000,00 untuk penerbangan bolak-balik dengan maskapai yang sama. Setelah pikir-pikir, barusan saya membeli tiketnya.
Jadi, saya terbang ke Surabaya menggunakan AirAsia Indonesia dengan biaya Rp.1.100.000,00 pulang-pergi.
Tahu kapan terakhir kali saya membayar tiket normal untuk penerbangan domestik? Tepat hari ini, lima tahun yang lalu. Tanggal 13 Mei 2010, saya terbang dari Bandara Ampenan di Lombok ke Jakarta. Menggunakan Lion Air waktu itu.
Yeah, perubahan memang kadang tidak terlalu menyenangkan. Lucu juga kalau dipikir sekarang untuk terbang saja, perlu pikir panjang. Beda seratus ribu diperjuangkan. Segitunya? Iya, segitunya. Beberapa bulan ke depan, ada lagi jadwal berkunjung ke Ubud. Itu juga harus dipikirkan sedari sekarang. Celakanya, promo untuk penerbangan domestik itu biasanya datang last minute. Tidak jauh-jauh hari.
Jadi, dinikmati saja. Berusaha dibawa gampang; berarti resiko untuk mencari duit lebih banyak guna membiayai perjalanan pribadi, harus lebih digiatkan. Semoga berhasil mengalahkan kegagapan ini dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Yang paling penting, Jazz Gunung 2015, Felix Dass datang. (pelukislangit)
Woodpecker, Panglima Polim
13 Mei 2015 – 20.20