Record Store Day (RSD) Indonesia akan datang akhir pekan ini. Indonesia juga sudah kebagian tradisi ini. Beberapa kota menggelar acaranya masing-masing. Banyak band juga mengagendakan rilisan khusus yang diluncurkan bertepatan dengan agenda ini.
Akhir pekan lalu, di program #LOKALwisdom yang saya asuh di RURUradio, ada sebuah tawaran menarik mampir dari Satria Ramadhan, teman baik saya. Kebetulan, ia menjadi salah satu orang yang saya wawancarai karena memang topiknya tentang RSD Indonesia yang akan diselenggarakan akhir pekan ini.
“Cik, mau isi slot talkshow nggak di RSD Indonesia nanti? Masih ada kosong satu nih hari Minggu,” katanya, seperti biasa dengan bersemangat. “Tapi, cari dulu temanya,” ia melanjutkan.
Satria punya keterlibatan yang penuh di penyelenggaraan RSD di Kota Jakarta. Setelah kasak-kusuk sejenak, saya segera mengirimkan email berisi satu ide yang seliweran di kepala sejak beberapa waktu sebelumnya.
Ide ini dimulai ketika Peter Walandouw dari Anoa Records serta Merdi Simanjuntak dari Sweaters mengontak saya untuk menuliskan liner notes di album Sweaters – Live in Singapore yang akan jadi salah satu rilisan Anoa Records di RSD Indonesia tahun ini.
Rekaman ini adalah sebuah bukti sejarah tentang perjalanan Sweaters –bersama dengan Ballads of the Cliché dan Dear Nancy— ke Singapura tahun 2009 yang lalu. Di salah satu bagian tulisan di liner notes itu, saya menulis begini:
“Kami mengirimkan pesan yang mungkin laku sepanjang masa; bahwa bermain musik adalah tentang bersenang-senang dan melewati batasan mimpi lewat serangkaian kerja keras. Band yang tidak hebat-hebat amat bisa melintas batas dan mempresentasikan musik mereka di pasar yang benar-benar baru.”
Perjalanan itu meninggalkan kesan yang mendalam. Sejarah mencatat bahwa band-band kecil seperti Sweaters, Ballads of the Cliché dan Dear Nancy punya pengalaman memainkan musik mereka di pasar yang lebih luas. Dalam ruang lingkup yang tidak besar, tapi spesial.
Keputusan untuk membuat rekaman live ini tersedia untuk publik yang lebih luas adalah sebuah upaya untuk mendokumentasikan kegiatan bermusik dari level sederhana yang celakanya punya kemampuan untuk melintasi batas negara.
Kalau dirasa-rasa, upaya untuk mendokumentasikan masa lalu ini ada di mana-mana. Momen seperti RSD Indonesia justru memacu bergulirnya bola ini. Bangkutaman, beberapa tahun yang lalu, misalnya, merilis ulang Love Among the Ruins, debut album penuh mereka dalam bentuk cd.
Kebetulan juga, saya dipercaya untuk menuliskan liner notes untuk rekaman itu. Gambar di bawah menerangkan tulisan yang saya buat:
Well, masa lalu memang tidak pernah bisa kita ulang. Tapi beberapa artefaknya masih bisa terus berjalan menembus waktu bersama kita ke masa depan. Momen RSD Indonesia adalah salah satu kontributor penting untuk perjalanan menembus waktu ini.
Karena ada momen, banyak band merasa perlu untuk merilis ulang katalog mereka yang mungkin bisa jadi sudah terlupakan. Padahal, yang namanya musik sudah barang tentu bisa melintasi jaman. Kata Indie Art Wedding, “Hidup itu pendek, seni itu panjang.”
Merilis arsip atau katalog lama, adalah sebuah isu yang menarik. Itulah ide yang saya ajukan ke Satria sebagai tema diskusi yang akan saya pandu di hari Minggu, 19 April 2015. Diskusi ini dijadwalkan akan berlangsung pada pukul 16.00 WIB.
Bersama saya, akan turut tampil sebagai pembicara adalah Agus dari Majemuk Records yang merilis ulang album-album lama milik Themilo, The Upstairs, Abahama dan sejumlah nama lainnya. Juga Peter dari Anoa Records sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut sumbang cerita. Dari kacamata musisi, ada Jimi Multazham dari The Upstairs yang akan menjelaskan kenapa akhirnya mini album Antah Berantah milik bandnya dirilis ulang. Tadinya, saya juga ingin mengajak Wahyu Nugroho dari Bangkutaman yang tahun ini merilis ulang Garage of the Soul, album ketiga bandnya. Tapi ternyata ia punya jadwal main di Surabaya di waktu yang bersamaan.
Diskusi tentang musik, buat saya, selalu menyenangkan. Apalagi jika dilakukan di tengah sebuah perayaan yang megah. “Tahun ini kita punya 90-an praktisi records yang ikut buka booth di RSD Indonesia,” kata Satria. Itu bukanlah angka yang kecil.
Lalu, gambaran-gambaran model begini seliweran seketika di kepala:
Gambar di atas diambil di Manchester, Inggris. Atau yang kecil begini, macam sebuah toko rekaman yang pernah saya kunjungi di York, juga di Inggris:
Tidak ketinggalan yang ini juga, yang pernah saya temui di Toulouse, Prancis Selatan:
Yang namanya toko rekaman itu tidak perlu besar. Indonesia, memang jauh berbeda dengan eropa kalau sudah bicara kuantitas toko rekaman. Tapi 90-an itu sama sekali bukan angka yang kecil. Banyak orang sudah mengubah hidupnya dengan menjadi pengusaha rekaman.
Dari yang sekedar iseng-iseng berhadiah sampai yang menjadikannya pijakan ekonomi utama. Scene ini, sudah besar.
Di RSD Indonesia nanti, saya juga akan melepas sejumlah koleksi rekaman lama dan kaos-kaos band lama yang sudah tidak lagi muat di badan. Beberapa masuk kategori antik. Melepasnya pada orang yang mungkin tepat adalah sebuah pilihan yang bijak. Supaya tidak keki-keki amat. Anyway, diskusi dan seluruh rangkaian RSD Indonesia tahun ini didukung oleh Go Ahead Challenge yang punya semangat change the ordinary.
Jadi, mari kita mampir ke Blok M akhir pekan ini. Informasi lengkap ada di sini:
Selain saya, kawan-kawan dari Irama Nusantara juga akan menghelat diskusi sehari sebelumnya di hari Sabtu. Topik yang mereka pilih adalah sejarah dan fenomena vinyl di Indonesia. Biarlah, mereka ahlinya. Haha.
Sampai jumpa. Awas dompet jebol digerus banyak barang menarik. Jangan lupa pakai baju yang nyaman. Bakal panas, kayaknya. Happy hunting! Jumpa hari Minggu ya! (pelukislangit)
17 April 2015
Rumah Benhil
#GoAheadJakarta
#RSDindo
01.28
Ps. Anyway juga, semoga diskusinya bisa semenarik apa yang terjadi di RRREC Fest: In the Valley kemarin.
Setelah membaca beberapa postingannya, akhirnya muncul keraguan. Felix Daas ini saya panggil Mbak atau Mas? Ya, biar tidak salah paham. Hehehe…jujur, saya suka tulisan-tulisannya.
Saya laki-laki.
Terimakasih Mas.