Ini lagi-lagi tentang Jakarta. Saya belum kehabisan energi untuk menuliskan cinta yang begitu besar untuk kota ini.
Saya baru saja menyaksikan Selamat Pagi, Malam, film Indonesia yang mendekati jenius. Ia memotret Jakarta dengan sangat elegan, lengkap dengan drama-drama kecil yang justru jadi kekuatan utamanya.
Di beberapa pemahaman, mungkin Selamat Pagi, Malam bisa menjadi perkenalan yang baik dengan hidup beraneka ragam wajah yang dimiliki oleh Jakarta.
Film ini mengajak saya, kamu yang membaca tulisan ini dan Jakarta secara keseluruhan untuk berkaca pada kenyataan dan menjawab pertanyaan, “Apa sih yang sebenarnya kita butuhkan dalam hidup ini?” Dan jika sudah punya jawaban samar-samar, pertanyaan itu akan dilanjutkan dengan, “Apakah kamu menjalani kehidupan ini dengan kejujuran dan jadi diri sendiri?”
Ada begitu banyak serangan frontal pada Jakarta di film ini. Entah apa motifnya, tapi ia mengajak kita semua yang menyaksikannya untuk tertawa satir dan melakukan pengecekkan instan ke dalam sendiri tepat beberapa detik setelah film berakhir.
Ok, sekarang bahas sedikit tentang filmnya. Sebagai permulaan, silakan lihat trailernya di sini:
Ada tiga kisah utama di film ini, semuanya tentang perempuan. Dimensi konfliknya pun seru; gay, tante girang dan social climber. Titik awalnya sudah sangat menarik buat saya.
Benang merah film ini sangat-sangat tegas; apapun bisa terjadi di Jakarta dan pilihan selalu ada di tangan pemeran utama, apakah ingin ikut arus atau menentukan sikap dan tetap jadi diri sendiri.
Jakarta, adalah kota kelas dunia. Akan mudah memberikan persetujuan apabila kamu menyaksikannya dari dekat. Saya, kebetulan, hidup di udaranya sejak usia belasan awal dan terlalu banyak pergerakan ke masa depan yang terjadi sepanjang perjalanan itu. Kadang-kadang, saya bisa dibuat kaget olehnya.
Jakarta, bisa membuat orang dan menghirup udaranya berbeda 180 derajat dalam hitungan waktu yang singkat. Kamu, perlu karakter yang sangat kuat untuk bisa bertahan menjadi diri sendiri dan menjawab dua pertanyaan penting di atas itu.
Selamat Pagi, Malam membantu memberikan refleksi awal tentang bagaimana daya hisap Jakarta yang mungkin punya efek jelek untuk orang-orang yang tidak berkarakter kuat. Penggambaran sejumlah detail di film ini mewakili judgement sepihak saya tadi.
Tanpa bermaksud memberikan beberapa spoiler, tapi silakan lihat sekali lagi trailer itu. Senang rasanya bisa tertawa satir menyaksikan Naomi yang begitu independen di dalam kisah ini, sewaktu hidup di New York, lalu berubah menjadi perempuan kelas menengah Jakarta yang tipikal; hidup dengan gaya hidup konsumtif, punya ponsel dua, takut makan pecel ayam dan anti jalan kaki.
Ia juga tampak kikuk menggunakan kata panggilan “Gue-Elo” dan “Aku-Kamu” kepada Gia, mantan kekasihnya yang kembali dari perantauan dan pulang ke langit Jakarta. Sementara Gia dengan lebih aman menggunakan “I-You” untuk berbicara pada Naomi walau sesekali masih menggunakan “Aku-Kamu”.
Perkara kata panggilan ini lumayan esensial. Gaya bahasa dan cara orang Indonesia, termasuk Jakarta, memperlakukan kata demi kata terkadang membuat maknanya hilang. Mungkin penggambarannya seperti ini: Kalau romansa hilang, maka kata panggilan “Aku-Kamu” sudah tidak lagi bisa diterapkan. Sementara kalau romansa berperan aktif, maka panggilan itu harus diimplementasikan dengan segera. Ini beda dengan Bahasa Inggris yang cenderung aman dari sisi makna dengan “I-You”-nya.
Naomi dan Gia dulunya merupakan pasangan. Mereka gay. Tapi semenjak pindah ke Jakarta, Naomi terpaksa tunduk pada keadaan dan kemudian menjadi anak muda tipikal yang harus menikah di range usia tertentu. Ia memilih untuk kalah.
Kisah selanjutnya yang juga menarik adalah Indri, seorang pemudi di pertengahan dua puluh yang ingin mencoba memperbaiki nasibnya. Ia ingin ada di liga utama kehidupan kelas menengah Jakarta yang biasa ia saksikan di tempatnya bekerja: sebuah pusat kebugaran.
Ia akrab dengan teman gaynya yang mendadak jadi heteroseksual hanya demi mendapatkan uang lebih dari tante girang yang bentuknya amit-amit. Ia juga fasih menceritakan ulang mimpi menggunakan barang bermerk yang terlalu hampa makna. Ia, memaksa untuk menjadi seseorang yang sama sekali bukan dirinya.
Indri lupa bahwa konsekuensi dasar ketika tidak terbiasa menggunakan sepatu berhak tinggi adalah lecet dan itu mengubah level keanggunan seseorang berjalan dengan seketika.
Mulut manis laki-laki juga mampir dalam kisahnya. Diawali dengan Lumpia yang diberi nama asing sehingga membuat makanan itu seolah naik kelas dan bisa dijual mahal, perkenalannya dengan laki-laki yang ternyata brengsek sangatlah menarik.
Bagian ini membuktikan bahwa seks dan singgah sekejap di hotel jam-jaman bukanlah hanya milik mereka yang berduit. Yang cekak, dengan segala cara, pun bisa bertukar cairan dengan level kesepahaman dan kesepakatan yang sifatnya mutual. Seks, dalam kacamata Indri, adalah milik semua level sosial.
Penggambaran seorang social climber lewat kisah Indri ini menurut saya merupakan cerita terbaik di film ini. Ia punya kebaruan dan memberi informasi mencengangkan yang mungkin saja terlewatkan dari keseharian saya.
Kisah terakhir adalah Ci Surya yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya yang ternyata main gila dengan seorang penyanyi kafe. Bermodalkan sebuah nomor telepon yang tertinggal di dompet suaminya, ia menelusuri jejak si penyanyi kafe.
Sampai akhir film, motifnya masih mengambang; apakah ia ingin memahami kenapa suaminya main gila atau mencoba untuk merasakan apa yang dirasakan oleh suaminya dulu.
Di dalam pencarian itu, ia tersesat. Di kemapanan, ia terjebak antara hal baik dan buruk yang relativismenya begitu besar. Ia melakukan hal-hal yang asing dan kehilangan kendali dalam perjalanan itu. Yang ini, nuansanya muram dari depan sampai akhir.
Film ini mungkin akan kadaluarsa satu hari nanti dari segi detail adegannya, tapi muatannya akan bertahan lama. Detail-detail kekinian seperti Rainbow Cake, manusia berponsel dua (satu kemungkinan smart phone berbasis iOS atau Android, satunya sudah nyaris pasti Blackberry), tongsis atau sepatu lari, bertebaran di mana-mana sebagai penanda jaman.
Ia juga dilengkapi dengan sebuah lagu tema yang luar biasa bagus berjudul sama, dinyanyikan oleh Agustin Oendari. Ia juga menulis lagu ini.
Videonya bisa dilihat di link ini:
Saya merasa harus menajamkan tinta untuk single ini. Ia sederhana, bertemankan denting gitar dan berkekuatan kata-kata yang luar biasa besar. Dua kalimat liriknya merupakan kesimpulan penting tentang hubungan manusia dengan Jakarta:
“Karena ku tak ingin apa-apa
Dan tak dimiliki siapa-siapa…”
Kalau dipikir, Jakarta di dalam film ini bisa disimpulkan dengan sederhana oleh dua kalimat itu. Jakarta menyediakan ruang tapi sebenarnya ia bukan milik eksklusif siapa-siapa. Semua orang bisa punya hak untuk mengukir kisahnya masing-masing di tanahnya.
Tapi balik lagi ke pertanyaan di atas, “Apakah kamu menjalani kehidupan dengan jujur dan jadi diri sendiri?”
Di Jakarta, semua bisa terjadi. Kamu, yang membaca tulisan ini, adalah pemeran utamanya. Film ini sangat direkomendasikan. Sayang sejumlah cutting sensor untuk adegan bernuansa seksnya tampak terlalu kasar. Tapi, itu bukan salah si empunya film. Itu salah lembaga negara. Walau sedikit cacat ini gagal membuatnya menjadi sebuah karya yang jenius. Saya suka luar-biasa-banget-sekali sama film ini. (pelukislangit)
Kedai Tjikini
23 Juni 2014
20.17
*) Seluruh gambar diambil dari situs resmi film ini. Copyright fotografer bisa dicek langsung di sana.
*)Tidak percaya saya bisa mengalahkan kesukaan pribadi saya pada Marissa Anita dengan tidak menuliskan secara spesifik peranan dan cara ia bermain di film ini. The film speaks louder than the casts. Umm.. tapi tidak salah menutup tulisan dengan gambar di bawah ini, kan?
Agree dengan tulisannya.. Malam ini berusaha sekali untuk nonton takut minggu depan sudah turun. Sekali lagi setuju dengan kasar nya pemotongan adegan nya.
Semoga di versi DVD/ screening umum lainnya nggak sejorok yang ada di film ya.
Reblogged this on AstridAvenue and commented:
baru saja (juga) menonton film ini semalam dan rasa-rasanya memang tidak akan ada habisnya berbicara kemudian bercerita mengenai Jakarta.
Seru banget sih filmnya. Terutama untuk orang yang cinta Jakarta. Romantisme kota ini hebat sekali.
Kebetulan saya belum nonton film ini (dan jarang nonton film Indonesia).
Tapi baca review ini bikin saya pengen ke bioskop sekarang 😀
Jadi, sudah nonton? Filmnya masih ada, tapi frekuensi pemutarannya sudah berkurang drastis. 😦
Suka banget film ini. Sayangnya tulisan lo bertaburan spoiler Lix. haha. Terutama soal hubungan mereka berdua. itu twist ending yang lumayan nampol buat gue soalnya. Untung gue baru mau baca review ini setelah nonton filmnya. hehe
Tapi setelah nonton, jadinya orait dong, To?
Belum sempet nonton filmnya, tapi tertarik banget buat nonton. sedih barusan abis ngecek web bioskop, di jakarta tinggal 5 bioskop doang yang masih muterin. 😦
Harus dibelain. Kalau nggak nyesel. Gue aja sudah 2x nonton. 🙂