Malam tadi, Sabtu, 15 Maret 2014, saya menyaksikan The Raid 2: Berandal. Film ini menjadi pembuka section film ARTE Festival 2014. The film is so fucking awesome.
Ada banyak ekspektasi mengikuti film ini. Maklum, The Raid: Redemption, seri sebelumnya film ini meledak di mana-mana. Sudah jadi film kelas dunia dan mencuri banyak perhatian.
Kendati digarap oleh orang berkebangsaan Wales, Gareth Evans, tapi kebanyakan pekerjanya berkebangsaan Indonesia dan memang filmnya dibangun berdasarkan seni bela diri Indonesia, Pencak Silat. Jadi, bisalah film ini dibilang film Indonesia.
Menurut cerita yang beredar, The Raid: Redemption adalah upaya Evans untuk mengakali keterbatasan. Karena tidak punya budget yang cukup untuk memproduksi The Raid 2: Berandal –judul aslinya hanya Berandal— maka dibuatlah sebuah plot film yang lebih sederhana dan tidak menyedot budget produksi yang sangat besar. Tapi, hasilnya luar biasa.
Trailernya bisa dilihat di sini:
Kalau The Raid: Redemption menghadirkan sebuah film action yang napasnya sudah lama hilang dari muka industri film Indonesia. Film ini punya elemen tegas yang menyatakan bahwa perkelahian itu adalah seni sekaligus bisa jadi hiburan yang meninggalkan kesan. Mungkin memang manusia selalu suka kekerasan dengan kadar yang berbeda-beda. The Raid: Redemption menunjukkan itu.
Yang saya saksikan semalam, setidaknya 5x jauh lebih hebat. Sangat bisa dimengerti kenapa Evans memerlukan budget yang jauh lebih hebat. Selain karena kebutuhan fisik filmnya juga luas, ada faktor ekspektasi yang membengkak. Dan itu harus dijawab dengan sebuah karya yang baik.
Saya tidak akan bicara plot film secara mendetail, tapi mungkin hanya akan menganalisa sejumlah hal menarik yang tinggal di dalam memori semalam.
Pertama, simpan logika kamu di dalam rumah. Kunci yang rapat. Kalau kamu orang yang merasa segala sesuatunya harus dinilai menggunakan logika ketimbang rasa, maka sebaiknya kamu diam di rumah dan mendengarkan cerita penuh kekaguman orang-orang yang menonton film ini. Film ini sama sekali tidak cocok untuk kamu yang masih merasa bahwa logika itu jauh lebih penting. Haha. The Raid 2: Berandal, tidak mementingkan logika. Karena memang tidak diperlukan.
Yang diberikan oleh film ini adalah hiburan dalam bentuk kekerasan. Agak ironis, tapi memang begitulah adanya. Jalinan ceritanya sangat sederhana.
Analoginya seperti ini: Ibu bangun pagi, exercise sedikit, lalu memasak air panas untuk seluruh anggota keluarganya. Setelah air setengah matang, ia membangunkan suami dan si anak. Suami akan mandi dulu, lalu si anak setengah malas akan beranjak dari tempat tidurnya. Setelah semuanya mandi, masakan sarapan sudah tersedia di meja makan dan semuanya bersantap sambil saling mengecek kehidupan yang akan dijalani hari itu. Ibu menyimak dengan seksama lalu menunggu mobil jemputan si anak yang akan mengantarkannya ke sekolah. Si suami duduk di depan televisi menyaksikan program tv pagi atau bahkan membaca koran. Segera setelah si anak pergi sekolah, si ibu akan ngobrol sedikit lagi dengan si suami hingga pukul 07.00. Begitu jam berdentang, si suami siap-siap untuk bergegas pergi kerja dan menjadi teman akrab macet. Sebuah kecupan di kening menyelesaikan pagi mereka dan perpisahan dimulai. Si suami pergi kerja dan si ibu duduk manis di depan tv, menyaksikan acara gosip sembari menyantap sarapannya.
Semuanya text book. Sudah kebaca sejak awal. Tapi detail-detail film itulah yang membuat 150 menit jadi tidak berasa. Durasi yang panjang bisa diimbangi dengan plot yang wajar dan tidak membosankan. Menurut video behind the scenenya yang sudah dirilis, total ada 19 scene perkelahian. Lumayan banyak, dan flownya makin menaik dari satu scene ke scene lainnya.
Video behind the scenenya bisa dilihat di sini:
Film ini, kendati bagusnya luar biasa, tetap tidak sempurna. Ada satu adegan perkelahian yang menurut saya agak terlalu dipaksakan; bagian di mana Prakosa mengakhiri perannya di film ini. Setting yang sudah berhasil dibangun dengan baik di mana kita hanya tahu ini terjadi di Jakarta dan tidak mengetahui persis kota tempat tokoh-tokoh ini tinggal serta beraktivitas, berantakan. Kalau diceritakan jadi spoiler. Jadi, saya harus berhenti di sana.
Ketidaksempurnaan itu sangat bisa dimaafkan dengan menyaksikan berbagai macam adegan lain. Yang paling keren adalah efek skeptis yang muncul setelah adegan perkelahian kedua sebelum terakhir; adegan kejar-kejaran dengan mobil. Adegan itu sangatlah panjang dan membuat koreografer The Fast and Furious 6 harus berpikir 200x untuk mengakui secara terbuka bahwa kekolosalan yang ia buat –kendati makan durasi yang sama sekali tidak masuk akal— adalah omong kosong. Evans berhasil membuat penonton penasaran; adegan itu sebenarnya sudah sangat layak menjadi adegan perkelahian terakhir karena memang kerennya bukan main. Lantas, penonton sudah pasti bertanya, “Ada yang akan lebih keren dari ini?”.
Wajar. Tapi ternyata, ada yang lebih keren dari adegan itu. Adegan perkelahian terakhir adalah puncak film ini. Dan lebih hebat dari adegan mobil. Benar-benar brutal dan khas film action tanpa logika. Darah ada di mana-mana dan itu membuat saya harus menutup muka beberapa kali dan merasa dengan hanya mendengar suara saja sudah lebih dari cukup.
Oh ya, sepanjang pemutaran film semalam itu, penonton –termasuk saya— beberapa kali bertepuk tangan untuk ketegangan yang tersaji lewat adegan-adegan perkelahian yang benar-benar penuh ketegangan.
Yang harus juga dicatat adalah adegan perkelahian di penjara yang penuh lumpur. Dan pilihan untuk membuat tokoh utama kalah di adegan itu sangatlah cerdas. Sebuah proses tarik-ulur yang berhasil.
Sekarang, kita bicara penokohan. The Raid 2: Berandal seperti sebuah film penuh bintang yang membuat nama-nama legendaris industri film Indonesia mencatatkan namanya di barisan pendukung. Kita harus berterima kasih kepada Evans untuk tidak memasukkan nama Reza Rahardian dan Jajang C. Noer ke dalam film ini. Kalau tidak, super sah, mereka ada di mana-mana. Haha.
Yang paling mengejutkan adalah kemunculan Deddy Sutomo untuk memainkan sebuah peran kecil di film ini. Ada juga barisan orang tua lain seperti Pong Hardjatmo, Roy Marten dan Cok Simbara. Tapi karakter paling keren menurut saya adalah Alicia The Hammer Girl yang diperankan oleh Julie Estelle dan Prakosa yang diperankan oleh Yayan Ruhian.
Energi dari dua tokoh ini luar biasa besar, kendati kemunculannya hanya beberapa scene; Alicia The Hammer Girl bahkan tidak punya dialog sama sekali –karena digambarkan sebagai gadis bisu— dan hanya muncul di dua scene super penting. Sementara Prakosa dikisahkan sangat berdarah super dingin dan punya pasangan super cantik yang dimainkan oleh Marsha Timothy.
Tio Pakusadewo yang berperan sebagai Bangun juga mainnya luar biasa bagus. Tapi, kalau dia sih, memang sudah seharusnya bagus. Karakternya juga nampaknya sangat cocok untuk menempel di dirinya. Kedinginannya sebagai seorang singa tua yang masih lapar juga meninggalkan kesan mendalam.
The Raid 2: Berandal juga menampilkan kolaborasi lintas negara yang ciamik. Untuk adegan kejar-kejaran mobil yang sudah sempat disinggung di atas, misalnya. Evans menggunakan jasa tim profesional asal Hongkong yang memang sudah biasa menggarap adegan sejenis. Lengkap dengan bagaimana mengelola keamanan pengambilan gambar dan tetek bengeknya.
Soundtrack juga seru, kendati tidak spesial-spesial amat. Film ini menampilkan sejumlah track dari Nine Inch Nails. Gila kan? Walaupun kalau mau dibandingkan, The Land of Living Dead-nya Sigmun di The Raid: Redemption jauh lebih seru kalau dimasukkan ke dalam filmnya.
Secara umum, film ini luar biasa bagus. Sangat layak untuk bikin industri film Indonesia berbangga. Industrinya naik kelas dan bangsa ini berhutang banyak pada Evans. (pelukislangit)
16 Maret 2014
10.10
Rumah Benhil
*) Terima kasih untuk John Badalu yang sudah memberikan invititation pemutaran film ini pada menit-menit terakhir.
*) The Raid 2: Berandal yang saya saksikan rasanya adalah uncut version, tidak dilengkapi keterangan lolos sensor.
*) Film ini menjadi opening film ARTE Festival 2014. Film lainnya bisa dilihat di http://2014.arte.co.id/programs/film-festival/
*) Gambar-gambar dicuri dari internet. Sepanjang pemutaran kemarin, tidak diperkenankan membawa ponsel ke dalam studio. Policy yang bagus!
Awesomee! Pelukis langit (y) gak bikin bosen bacanya 😀 terutama tentang India.. Yaampun…very touched kak! Kebetulatan aku lagi butuh beberapa informasi, saran, dan masukan kak. Dari bulan kemarin aku cari blog belum ada yang cocok dan kayaknya nih si kakak bisa bantu aku. And I hope so. Balas ya kak! Salam kenal, floren 🙂 (florenciazhen25@gmail.com)