Waktu menunjukkan kurang lebih pukul sebelas malam. Saya dan tiga orang teman baik sedang berjalan menuju kendaraan kami yang diparkir di Jalan Purnawarman, Bandung. Tiba-tiba dari arah belakang, suara sirene polisi mengagetkan saya. Mobil polisi yang membunyikan sirene itu berjarak begitu dekat dengan tangan kiri saya.
“Nah, kayak gitu tuh, Lix,” sambar Boit, si teman baik.
Suaminya, Trie, menambahkan, “Kebayang nggak lo? Orang bubar acara jam segini, mau nyari bir buat nangkring, tapi hanya punya waktu satu jam?”
Jam 12, jalanan Bandung harus bersih dari orang yang nongkrong. Polisi, akan meminta orang-orang yang masih ada di jalanan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Dalil yang dipakai katanya meminimalisir angka kriminalitas yang disebabkan mereka yang masih ada di luar rumah di atas pukul 12 malam dan menyaksikan hari berganti.
Secara teknis, satu jam untuk duduk-duduk selepas acara musik, bukanlah waktu yang cukup. Kami, satu lagi teman dekat saya yang ikut adalah Satria Ramadhan, baru saja menyaksikan konser Teenage Death Star yang berlangsung di IFI, lembaga kebudayaan Prancis.
“Jual bir di Bandung daerah kota juga udah nggak ada, Lix,” repet Trie lagi.
“Loh, itu IFI bisa jual?” tanya saya setengah tidak percaya.
“Iyalah, Lix, itu kan aset asing. Mana berani mereka larang-larang,” balas Trie.
Benar juga. Tapi nggak lucu sih jadinya melihat Bandung seperti ini. Jam malam, apapun alasannya, tidak bisa diterapkan di kota yang baik-baik saja kehidupannya. Dan tidak ada marabahaya yang mengancam kehidupan bersama di kota itu.
Saya hidup tujuh tahun di Bandung dalam kurun waktu 2001-2008. Saya tahu persis bagaimana kehidupan di kota ini dijalankan. Saya mengerti karakter orang-orang lokal. Dan saya, bisa mengerti dan ngomong aktif –dengan dialek yang jelek— Bahasa Sunda kasar ala Cicadas yang dilengkapi imbuhan “anying”. Saya paham Bandung itu seperti apa.
Yang kemarin saya alami adalah teror. Kami memutuskan untuk makan di daerah Kebon Kelapa, sekitar 10-15 menit dari kawasan Jalan Purnawarman. Sepanjang perjalanan, setidaknya kami bertemu dengan enam-tujuh mobil polisi yang patroli dan meraungkan sirenenya.
“Itu pemanasan, Lix,” terang Trie.
Jadi, modusnya begini: Sekitar pukul sebelas malam, mobil-mobil patroli itu akan keliling kota dengan trayek tertentu. Lalu, sepanjang jalan, mereka akan membunyikan sirene sporadis. Itu untuk memperingatkan warga untuk menyudahi aktivitas kumpul-kumpul mereka. Ada tindakan lain menunggu.
Yang paling mengejutkan adalah ketika kami selesai makan. Dari Kebon Kelapa, kami melewati tangsi militer di Jalan Sunda/ Daerah Saparua –mungkin saya salah menyebutkan nama jalannya—. Kaget rasanya menemukan sekitar 20-30 polisi sedang bersiap untuk konvoi keliling kota. Formasinya lengkap.
Ada sejumlah truk pengangkut, setidaknya lima mobil patroli, dua mobil sipil dan sekitar tujuh motor berseragam lengkap. Ada yang membawa senapan serbu, ada yang menggunakan seragam coklat.
Di sinilah teror menghajar saya.
Saya kecewa, marah, tapi tahu bahwa orang-orang seperti saya hanya bisa berharap dan teriak lewat tulisan seperti ini. Beban besar seolah menggelayut dan jadinya kepikiran sepanjang malam. Begitu pagi tiba, saya memutuskan untuk melempar sejumlah tweet seperti ini:
Tadi malam, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasakan langsung teror karena jam malam di #Bandung. Padahal lagi #TeenagerTrip.
Saya jadi penduduk #Bandung 7 tahun, tapi tidak pernah merasa takut. Bahkan jalan di Cicadas, misalnya. Semalam beda. #TeenagerTrip
Sepulang dari IFI, saya makan di Kebon Kelapa. Kami pulang lewat pukul 24.00. Kata @itbo, “Lix, #Bandung beda sekarang.” #TeenagerTrip
Bir menghilang dari convenience store di pusat kota #Bandung. Pukul 11, sirene polisi meraung-raung. Jam malam memang ada. #TeenagerTrip
Sirene polisi adalah teror ketika mata dan rasa tidak bisa menyium bahaya. Bahaya paling laten di momen itu adalah suara itu. #TeenagerTrip
Polisi dan pendukung jam malam boleh bilang apa saja, tapi perasaan saya sebagai manusia bebas terteror oleh raungan sirene. #TeenagerTrip
Omong kosong mau bikin #BandungJuara kalau warganya kena teror jam malam. Saya bayangin aja serem, gimana mau menjalaninya? #TeenagerTrip
Hal paling penting yang membuat saya mau pindah ke #Bandung dulu adalah kemerdekaan berpikir & berekspresi. Sekarang? Teuing. #TeenagerTrip
Kemerdekaan selalu ada pada ide-ide kebebasan yang membebaskan. Jam malam adalah indikasi #Bandung mundur 2000 langkah. #TeenagerTrip
Turut bersedih untuk teman-teman di #Bandung yang mengalami teror jam malam secara reguler. Semoga cepat berakhir. #TeenagerTrip
Terakhir: Sirene polisi itu tai kucing! #TeenagerTrip
#TeenagerTrip adalah hashtag yang digunakan untuk mendokumentasikan konser Teenage Death Star yang saya datangi akhir pekan kemarin.
Masih tidak habis pikir kenapa harus menggunakan sirene? Seperti saya tulis di salah satu tweet itu, tidak ada teror yang tertangkap di mata dan rasa nyaman ada di mana-mana. Bandung itu kota yang menyenangkan, di mana rasa nyaman ada di mana-mana. Tidak perlulah ditakut-takuti dengan sirene meraung-raung itu.
Pengalamannya sungguh tidak enak. Kalau tidak percaya, silakan datang ke Bandung di sebuah hari dan pastikan ada di jalanan ketika pukul sebelas menjelang.
Bandung seharusnya bebas dari teror. Dan sangat ironis rasanya kalau teror itu berasal dari mereka yang seharusnya memberantas terorisme. Semoga keadaan cepat membaik. (pelukislangit)
10 Maret 2014
00.24
*) Tulisan pertama di rumah Benhil
kasian eta warung perkedel bondon atuh 😦