Nyaris satu dekade, rasanya, nama Risa Saraswati ada di dalam kehidupan saya. Saya beruntung bisa melihat beberapa sosok dirinya; tidak melulu dari sisi panggung pertunjukkan di mana ia selalu menjadi pemenang perhatian orang.
Sepanjang perjalanan yang lumayan jauh itu, saya juga menemukan kekaguman permanen pada beberapa hal yang ia miliki. Terutama berkaitan dengan talenta berkarya yang ia miliki dan bagaimana cara ia mengelolanya.
Salah satu wujud paling penting dari berkah itu adalah berkenalan dengan kemampuannya berkarya di dunia musik. Risa punya talenta yang luar biasa besar dalam bentuk suara. Tidak berlebihan kalau sampai sekarang, ia merupakan salah satu penyanyi perempuan yang saya sukai. Suaranya khas, hampir tidak mungkin –untuk tidak takabur dengan menyebut kata tidak mungkin— ditiru.
Berangkat dari suara yang khas itu, kemudian terciptalah turunan karya yang mencatatkan namanya di buku sejarah scene musik lokal. Kita tidak perlu bahas masa lalunya yang sekarang sudah usang untuk diceritakan kembali, tapi mari bicara tentang hari ini.
Kalau saya diperkenankan mundur ke belakang, tingkahnya dengan sosok Sarasvati ini, bisa dibilang luar biasa. Kata kuncinya adalah keberanian dan eksplorasi. Muncul dengan sosok baru yang segar dan lepas dari bayang-bayang masa lalu, adalah keberhasilan Risa bersama sosok Sarasvati.
Keberanian menurut saya sangatlah penting karena yang ia lakukan merupakan sebuah titik pijakan baru yang mungkin belum ia akrabi sebelumnya. Risa menjadi seorang penulis lagu yang buah karyanya –selain suara yang sudah disebutkan di atas tadi— sangatlah khas.
Ia menulis lirik Bahasa Indonesia berdasarkan kebiasaannya mengikuti scene musik populer Indonesia –maafkan, karena saya harus membongkar rahasia itu—. Dan, jadinya sangatlah bagus. Unsur ke-Indonesiaannya tinggi dan dia tidak berpura-pura atau sedang mengenakan topeng. Ia tampil apa adanya.
Pemilihan tema pun seolah berjalan beriringan. Risa mencoba berkonsentrasi pada apa yang dekat dengan hidupnya. Tidak heran bagi saya ketika kemudian dia menjadi penulis lagu dan memanfaatkan topik-topik yang ia akrabi sebagai penjaga jalur karyanya.
Mencampuradukkan sesuatu yang disukai dan melakukannya dengan level fokus yang sangat tinggi, sudah barang tentu akan menghasilkan energi baik yang tercermin otomatis lewat karya. Itulah Risa.
Saya harus mengakui bahwa saya memilih untuk tidak membaca buku-bukunya karena tidak suka dengan topik-topik yang ia pilih. Saya penakut dan tidak suka membiarkan cerita-cerita pelanggar teresterial seperti itu hadir dalam hidup saya. Tapi, dari informasi penjualan yang katanya baik, saya yakin bahwa banyak orang yang menyukai karyanya dalam bentuk buku.
Setelah punya keberanian, ia juga melengkapinya dengan kemauan untuk mengeksplorasi ruang berkesenian yang ia punya. Tidak percaya? Coba dengarkan lagi Story of Peter yang terkesan cukup misterius atau Mirror yang tampak lebih dalam kadar misterinya.
Risa dikelilingi banyak orang hebat yang kalau bersinergi akan jadi kolektif dengan energi besar. Karena alasan pemilihan topik pula saya harus mengakui bahwa saya tidak mau terlalu sering mendengarkan Mirror. Risa, dengan pilihan kata-katanya, mampu menakut-nakuti saya lewat musiknya. Dan saya memilih untuk tidak bersentuhan sering-sering dengan mereka.
Yang sekarang ada, Sunyaruri, masih misterius juga. Tapi tidak dengan singlenya.
Ketika Boit –ia perempuan, ibu beranak satu, pengusaha sukses dan manajer baru Sarasvati— meminta saya menulis untuk proyek baru ini, saya tidak langsung mengiyakan. Saya ingin mendengar dulu lagunya. Kalau memang efek sampingnya masih sama seperti Mirror, mungkin saya tidak ingin melakukan apa yang ia minta.
Saya ingat, kalau berurusan dengan Risa, harus berani mencoba. Dia saja mencoba banyak hal baru, masa saya tidak mau mendengarkan karya barunya?
Single Cerita Kertas dan Pena mengembalikan seketika keberanian saya. Kali ini, Risa bermain-main dengan gaya yang beda. Aransemennya sedikit melanggar pakem yang sudah ia perkenalkan di karya-karya sebelumnya. Pendekatannya baru untuk cerita Sarasvati.
Saya suka Cerita Kertas dan Pena. Dan saya menantikan Sunyaruri dirilis. Dan saya yakin, banyak yang sepakat dengan saya. Risa tidak pernah kehilangan kadar spesialnya.
3 November 2013
20.11
Kedai Tjikini, Cikini, Jakarta Pusat
*) Foto diambil dari era album Mirror. Sumber: http://www.sarasvatimusic.com.
Ah Teh Risa mah emang sesuatu. 😀