Tentang Laskar Pelangi 2: Edensor yang tidak bagus
Hidup setelah Mira Lesmana dan Riri Riza itu benar-benar menyulitkan. Ada di bawah bayang-bayang besar untuk melanjutkan dua buah box office bernama Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, adalah sebuah misi mustahil. Komentator bola biasa bilang, ini misi yang sifatnya “Thundering the storm”.
Film Laskar Pelangi 2: Edensor bukanlah film yang bagus kalau mau dibandingkan dengan dua sekuel pendahulunya yang dikerjakan oleh Miles Films lewat duet maut Mira Lesmana dan Riri Riza.
Miles Films punya reputasi kelas wahid yang memang melekat erat dengan mereka. Kualitas super baik dalam eksekusi film –bahkan ketika menggarap Eliana, Eliana atau Atambua 39 Derajat yang budget produksinya lebih rendah dari film sukses secara komersial mereka— tidak perlu diragukan lagi. Sulit untuk bisa sepadan dengan mereka. Bukannya tidak bisa. Tapi memang sulit.
Jadi, ketika kisah cerita ini terus bergulir ketika Miles Films melepas tanggung jawab penggarapan filmnya, tanda tanya besar sudah barang tentu segera mengikuti.
Pemilihan judul pun sudah memberi isyarat kuat bahwa si produser dan pemilik cerita tidak punya nyali yang cukup besar untuk membiarkan judul aslinya berdiri sendiri.
Aneh menamai film ini Laskar Pelangi 2 ketika fakta bilang bahwa ini sekuel nomor tiga dari serial buku laris manis tanjung kimpul ini. Memangnya kenapa kalau hanya menyebut film ini dengan judul singkat Edensor, persis seperti judul bukunya?
Sebagai pagar tinggi pembatas, saya tidak ingin membahas buku, korelasi cerita atau bagaimana kedua faktor itu kawin. Yang ingin saya bahas adalah filmnya, tentu saja berhak dibandingkan dengan dua seri sukses sebelumnya.
Di dalamnya masih ada Lukman Sardi si Ikal, Mathias Muchus si ayah dan penampilan spesial anak-anak yang muncul di dua film pertama. Jadi, bahan racikannya relatif sama.
Yang tidak ada –padahal pentingnya luar biasa— adalah kehadiran Nazril Irham si Arai di Sang Pemimpi. Padahal, penampilannya di Sang Pemimpi jadi salah satu hook penting yang membuat film itu diingat cukup lama oleh orang banyak.
Abimana, pemeran Arai di Edensor, tidak bermain jelek. Sama sekali tidak jelek, tapi dia tidak punya pesona yang sudah dibangun susah payah oleh Nazril Irham. Karena penokohannya adalah kelanjutan, sangatlah wajar jika kemudian perbandingan muncul.
Orang-orang seperti saya sudah terpatri pada sosok Nazril Irham yang meninggalkan kesan dalam. Abimana sudah melakukan yang terbaik, kesalahan tidak ada pada dirinya. Tapi ada di keputusan untuk menggantikan sosok pemeran sebelumnya dengan dirinya. Okelah, mungkin ada sekian banyak faktor yang menyebabkan sosok awal itu tidak bisa dibawa ke layar lebar kali ini –bisa jadi jadwal tidak cocok, honor tidak masuk budget, artisnya tidak punya minat main film lagi, atau apalah—. Ini kegagalan pertama.
Dari segi penyutradaraan, si sutradara –yang saya sudah lupa namanya— tidak ada di level yang sama dengan Riri Riza. Ia tidak detail; misalnya saja pemilihan plot waktu yang kehilangan identitas. Contohnya, dandanan Ikal terlihat sangat 2013 tapi komputer belajar yang ia pakai ketinggalan jaman sekitar lima atau enam tahun. Musim dingin-panas yang loncat-loncat. Atau baju-baju bermerk yang dipakai Ikal dan Ara yang sama sekali tidak mengesankan bahwa mereka adalah dua orang pengembara susah di Paris. Ini kegagalan kedua.
Caranya memotret Paris juga tidak bagus. Ia menggunakan kacamata turis yang sudah tertebak pilihannya; akan menampilkan Montmartre, Menara Eiffel dan Museum Louvre. Padahal, ceritanya dua orang pengembara susah ini punya tugas utama sekolah di Universitas Sorbonne dan menjalani kehidupan normal sebagai penduduk temporer Paris. Bukan turis.
Bisa dimengerti bahwa sayang untuk tidak menampilkan tiga tempat indah tersebut. Tapi, ada sudut-sudut Paris lain yang lebih humanis dan cocok untuk film ini dan kisah penduduk temporer yang sedang dijalani Ikal dan Arai. Misalnya adegan di stasiun metro yang seksi itu. Masih untung Champ Ellyses tidak ditampilkan –atau ditampilkan tapi saya kelewatan karena kehilangan fokus menonton?—.
Sekedar catatan, saya pernah jadi turis di Paris untuk 36 jam. Empat tempat (ditambah Champ Ellyses) yang disebutkan di atas waktu itu jadi menu wajib untuk orang yang ikut tur privat nan padat di Paris. Kalau bicara Jakarta, itu seperti menampilkan kehidupan di Kawasan Monas. Padahal, orang Jakarta, tidak ada yang hidup di Monas. Ini kegagalan ketiga.
Risetnya mungkin tidak matang. Atau si sutradara terlalu takjub sama kawasan turis Paris jadi lumayan dibuang sayang tempat-tempat wajib kunjung itu. Khusus Kuburan Jim Morrison, masih masuklah ceritanya.
Pemilihan scenenya juga lemah. Jaringan metro Paris yang seksi itu, ditampilkan sepotong saja. Itu juga adegan di mana Ikal dan Ara masuk ke dalamnya. Tidak ada adegan lanjutan. Beberapa potongan kamera hand held yang goyang juga merusak kesan eksekusi anggun yang sudah dilakukan oleh Miles Films di dua edisi sebelumnya. Seolah-olah, perijinan pengambilan gambar tidak megah; sehingga menyebabkan mereka harus colongan mengambil gambar dengan segala keterbatasan teknis. Jadinya, kesan tidak total muncul tanpa diundang. Ini kegagalan keempat.
Sekali lagi, kalau dibandingkan dengan dengan dua sekuel pertama, kelemahannya sudah terjembreng dengan kasat mata.
Yang juga lemah kalau dibandingkan dengan dua sekuel pertama adalah musik. Film ini dilengkapi oleh Andika Triyadi, bintang bersinar di dunia scoring film lokal. Sama kasusnya seperti Abimana, ia tidak melakukan sesuatu yang di luar standar kerjanya. Scoringnya baik-baik saja. Tapi keputusan produser menjadikan Coboy Jr. sebagai lagu tema film ini adalah sebuah kesalahan fatal. Bandingan Laskar Pelangi yang punya Nidji atau Sang Pemimpi yang punya Gigi, tentu saja Coboy Jr. tidak ada apa-apanya. Lagunya pun tidak bagus.
Penggarapan musik di dua sekuel pertama lumayan detail dan mengadopsi sisi dunia hiburan yang komplit; ada artis-artis papan atas yang tentunya dengan suka hati mau ikut serta dalam proyek Miles Films. Tapi sekarang? Waduh. Ini kegagalan kelima.
Sudah cukuplah rasanya lima alasan untuk bilang film ini merupakan yang terburuk dari tiga sekuel novel Andrea Hirata yang sudah dirilis. Laskar Pelangi 2: Edensor ini seolah kurang budget, kurang riset, kurang ok secara teknis dan masih punya potensi mencari beberapa kurang lainnya kalau ada waktu lebih. Sayang.
Oh, rasanya saya harus mengangkat kegagalan keenam; kemunculan Andrea Hirata di akhir film. Seolah-olah dia sedang menuliskan kisah ini, lengkap dengan Macbook Pronya. Orang sudah tahu siapa itu Andrea Hirata. Dia sudah terhormat karena seri buku inspiratif ini. Tapi, kenapa harus muncul? Kenapa tidak membiarkan film ini jadi cerita utuh tanpa perlu tahu ditulis oleh siapa? Waduh. Waduh. Waduh.
Kesimpulan: Film ini tidak bagus dan jomplang kalau dibandingkan dengan dua sekuel pertamanya. Dari angka penjualan tiket pun, si produser pasti tahu persis bahwa produknya kalah ciamik dengan yang sebelumnya.
Hidup setelah Mira Lesmana dan Riri Riza memang tidak pernah mudah. Ini pelajaran penting untuk scene film lokal kita, jangan pernah coba menghidupi kisah yang ada di dalam bayang-bayang pasangan pembuat film terbaik di negeri ini.
Film ini terlihat amatir kalau dibandingkan dengan Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. (pelukislangit)
2 Januari 2014
23.05
Rumah Kalibata
*) Terima kasih kepada Berry Muchtar yang sudah coba memperingati saya sebelum menonton film ini. Filmnya memang tidak bagus, Ber!