Untuk album penuh terbaik 2019, versi saya.
Senin, 25 November 2019, saya diundang menghadiri hearing session Menari dengan Bayangan, debut album penuh Hindia yang akan dirilis beberapa hari setelah malam itu; tengah malam 29 November 2019. Lokasinya di Occupied 22, ruang terbuka yang akan dioperasikan oleh Suneater Coven, perusahaan konten yang menaungi Hindia, Feast dan sejumlah nama lainnya.
Suneater Coven, Hindia dan Feast adalah gerbong baru di industri musik Indonesia. Beberapa orang di dalamnya, dalam beberapa kesempatan, bilang bahwa format paling mudah untuk mendeskripsikan modus operandi itu adalah perusahaan konten. Musik adalah medium. Coba telaah lebih dalam pembeda itu, untuk bisa mengerti lebih dalam cara operasi mereka yang terus menerus menghasilkan karya baru seolah tidak pernah lelah.
Setelah disclaimer itu, mari spesifik membahas apa yang sedang coba dilakukan Hindia.
Hindia adalah Daniel Baskara Putra, juga dikenal sebagai vokalis dan penulis lirik utama Feast. Bertalian, tapi toh moniker Hindia punya arah musik yang berbeda ketimbang bandnya. Kendati begitu, mau tidak mau, publik tetap bisa menarik garis yang senada antara Feast dan Hindia; bahwa mereka sedang ada di atas angin dan menerima banyak cercaan yang seliweran dengan penuh energi, terutama di medan laga bernama media sosial.
Cercaan pada mereka yang sedang di atas angin, bukanlah hal yang baru. Bisa jadi, saya dan kamu yang sedang membaca tulisan ini, juga sering terlibat di dalamnya. Tidak spesifik tentang Feast dan Hindia, tapi tentang banyak hal yang lain. Baik itu dilakukan, atau terlakukan. Tanpa sadar, atau malah sadar. Dasarnya kemungkinan bisa dua, yang pertama punya perasaan skeptis yang besar karena satu dan lain hal, yang kedua karena tidak suka melihat orang mendapatkan banyak perhatian (atau sukses/ jadi omongan karena karyanya berbicara secara luas) saja.
Faktanya tumbuh subur. Mungkin malah tidak akan mereda beberapa bulan ke depan. Ini prediksi, yang rasanya akan kejadian. Ia jadi makin kuat ketika melihat apa yang terjadi hari Senin kemarin di Occupied 22. Saya diundang untuk datang malam hari, pukul 19.30. Ada kurang lebih lima puluh orang lain yang hadir. Komposisinya beragam; generasi pelaku musik yang usianya di atas Hindia –saya termasuk di dalamnya—, teman-teman dekat, penggemar, kolega di scene, hingga temannya teman yang bisa jadi colongan masuk. Agenda yang sama-sama dijalani adalah mendengarkan album Menari dengan Bayangan untuk pertama kali bersama-sama, dari depan sampai belakang.
Hearing session kali itu, bukan yang pertama. Juga bukan hal baru di industri musik. Berdasarkan instastory yang seliweran, di bagian lain Senin kemarin, orang-orang media juga sudah melakukannya terlebih dulu di sesi sebelumnya. Di industri musik yang berlatar korporasi mapan–saya tidak mau menyebut industri besar, karena bisa jadi sekarang di Indonesia yang besar itu indieshit semua—, hearing session adalah hal yang lazim dilakukan, untuk memberi teaser pada orang-orang tertentu. Prinsipnya sama dengan press screening di industri film. Tapi, dengan pola industri musik yang sekarang, yang cenderung tidak bisa ditebak, pertanyaan pertama di kepala ketika undangan datang adalah, “Memang hearing session dalam bentuk album penuh yang akan diputar dari depan sampai masih punya daya tarik ya?”
Saya berkaca pada diri sendiri. Sudah tidak banyak kesempatan yang memberi kekuatan untuk mendengarkan sebuah album dari depan sampai belakang. Pilihan makin banyak. Kita bergeser ke mode playlist yang diadaptasi dari rekomendasi dan pola berbagi. Saya saja yang punya logika mendengarkan musik dari generasi sebelumnya mengalami itu, bagaimana mereka-mereka yang sedang jadi pasar utama musik hari ini?
By default, kata kasak-kusuk sejumlah praktisi industri, sekarang orang mendengarkan musik dan menemukan lagu-lagu baru lewat playlist. Tantangannya bukan lagi merilis album penuh sebaiknya, tapi jadi merilis lagu terbaiknya. Itu juga baru kasak-kusuk statusnya. Masih belum bisa dilegitimasi dengan jelas dan dijadikan pegangan dagang. Harap maklum, sekarang itu pancaroba yang penuh anomali. Siapapun bisa menulis pattern mereka sendiri.
Jadi, hearing session album berguna atau tidak?
Saya berangkat dari pandangan yang tidak jernih; saya penggemar Hindia. Jadi, sudah pasti tidak menolak datang ketika diundang. Berguna sekali, dalam kasus saya. Menari dengan Bayangan berisi lima belas lagu. Running timenya 56 menit. “No nego, gan,” katanya ketika saya tanya.
Tadi malam, Baskara memulainya dengan kata pengantar. Lalu mengakhirinya dengan, “Teman-teman, minta tolong jangan direkam ya.” Dan kemudian, semua orang di ruangan itu, bisa menghormatinya. Ponsel disimpan dengan kamera menghadap bawah. Paling hanya digunakan untuk browsing Instagram atau balas pesan kalau bosan. Tapi, secara umum, semuanya intens mendengarkan Menari dengan Bayangan.
Di layar, potongan lirik disajikan. Di lagu-lagu yang familiar karena sudah dirilis lebih dulu, orang tidak bisa ditahan untuk ikut bersenandung. Bayangkan, bersenandung bersama dengan volume yang bisa dirasakan semua orang hanya melihat tembok yang ditembak video. Canggih kan?
Pengalaman mendengarkan pertama kali debut album penuh ini begitu menyenangkan. Albumnya bagus. Tapi, nantilah ke sananya. Buat saya, hal paling menarik adalah bagaimana geng Suneater Coven ini mencampuradukkan pengalaman nyata dengan karya yang bisa dirasakan indera. Alias, interaksi langsung. Padahal, biasanya medan laga mereka kebanyakan media sosial yang maya.
Saya selalu tergelitik melihat tingkah polah mereka. Perjalanan Suneater Coven dimulai dengan sebuah kanvas polos yang bisa diisi apapun. Prinsip itu bisa dirasakan sejak mereka mulai berjalan. Layaknya orang yang baru berjalan, kadang rasa yang ditimbulkan orang bisa macam-macam efeknya; bagus, jelek, too much, garing, dll.
Feast dan Hindia adalah gerbong utama yang mengerek talenta lain. Jadi, wajah perusahaan konten ini, adalah mereka. Feast dan Hindia, juga penuh dengan gimmick. Kebanyakan keren. Kebanyakan revolusioner di scene. Tapi, tidak semua adalah Feast dan Hindia. Itu juga terasa di Suneater Coven. Kualitas talentanya masih tidak sama. Dan itu wajar, namanya pedagang, masa semua barang dagangannya jagoan? Tidak semuanya juga pandai memainkan gimmick yang mereka lahirkan.
Saya termasuk orang yang tadinya anti dengan gimmick. Saya puritan, kalau mau jadi musisi ya dagangnya musik; Karya, lagu, merchandise, dll. Bukan gimmick. Tapi kemudian, zaman kan menuntut sesuatu yang menyegarkan. Arus informasi bergerak makin kencang. Apapun bisa diakses dengan mudah sekarang, dari mana saja dan kapan saja. Adaptasi, plagiasi, peniruan, penipuan dan hal-hal negatif lain bisa dengan mudah terjadi segampang membalik telapak tangan.
Tuntutan untuk sesuatu yang menyegarkan itu terus menerus ada. Dan di sanalah akhirnya gimmick diperlukan. Ide itu, tidak perlu baru. Yang jelas, ia bisa mengakomodir pesan yang ingin disampaikan. Di sanalah saya belajar dari Feast dan Hindia yang piawai memainkannya.
Kesampingkan dulu Feast. Saya juga suka, tapi secara spesifik merasa mereka too much di debut album yang isinya kolaborasi semua itu. Era Beberapa Orang Memaafkan ke sini, joss!
(Ini bagian yang mulai menyinggung isi Menari dengan Bayangan)
Pelajaran penting dari Hindia adalah setia pada pesan yang ingin disampaikan lewat karya. Baskara mungkin bisa bilang secara terbuka bahwa debut album penuh ini adalah kompilasi cerita hidupnya sejak lahir hingga sekarang. Ia direkam dengan format yang begitu beragam, tidak ada yang baru. Bisa jadi, ia mengadaptasi banyak hal dari referensi-referensi yang disantap.
Ini mau diartikan sebagai, “Ah, lagu ini mirip itu. Lagu ini mirip ini,” silakan saja. Buat saya, ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar format. Toh, kita sama-sama tahu, orisinalitas sudah lama mati. Kalau kamu berhenti di tahap format dan tidak mau lanjut ke dalam, silakan. Tapi, mungkin kamu akan kehilangan sisi lain Hindia yang brilliant. Tenang, itu masih pilihan kok sifatnya. Jadi, silakan saja ditentukan mau seperti apa. Jika sekarang misuh-misuh tentang format tapi di kemudian hari mendengarkannya mendalam, juga bebas.
Kalau disuruh memilih yang paling penting, album ini adalah sebuah kesatuan yang jantungnya cerita. Ia, secara komplit menuliskan perjalanan orang biasa yang direkam dengan kacamata persoalan. Dan kemudian jadi tidak baik-baik saja, tidak ideal, tapi mengisahkan seorang yang mampu bertarung dengan berbagai macam cara yang ditempuhnya.
Gut feeling ketika mendengarkan materi Taifunnya Barasuara pertama kali dulu, muncul. Sekedar informasi, dalam ranah personal, ia tidak sering-sering muncul. Rasanya sepanjang scene indieshit ini ada, tidak lebih dari sepuluh kali perasaan begini muncul. Semuanya benar, album-album yang disambangi perasaan ini, semuanya jadi legenda dan acuan. Untuk menyebut beberapa: Mocca – My Diary, Efek Rumah Kaca – Self Titled, Seringai – Serigala Militia dan itu, Barasuara – Taifun.
Jadi, saya juga bersyukur ketika Baskara bilang, “Nggak tahu kapan lagi bikin album Hindia. Mungkin lima belas tahun lagi ketika sudah punya anak.” Cerita-cerita seperti ini tidak bisa dipaksakan untuk hadir. Memang, agak kontras dengan tuntutan modus operandi Suneater Coven. Untung ada kesadaran, bahwa penciptaan materi dari kisah-kisah personal yang sifatnya memoar ini, memang kondisi yang harus dilindungi, yang tidak bisa dipaksakan. Jika ia dipaksakan, hasilnya kemungkinan besar butut. Bisa sukses, tapi kopong makna. Bisa penuh makna, tapi juga tidak ke mana-mana karena dipaksa untuk dijalankan.
Lagu-lagu yang sudah dirilis bisa memberikan gambaran betapa dahsyatnya album ini. Cerita-cerita di dalamnya bisa berdiri sendiri, tapi juga bisa membentuk legiun yang bagus ketika dijejerkan untuk didengar secara beruntun. Cobalah telaah liriknya mendalam. Sangat mungkin untuk pendengar menjadi begitu terkait dengannya, karena memang kisahnya ditulis oleh orang biasa dan berisi tentang persoalan-persoalan biasa yang memang mampir sehari-hari ke hidup kita.
Ada banyak pengulangan, tanda ia tidak sempurna secara format. Tapi, toh semuanya masuk dalam konteks masing-masing karya. Tapi, toh Baskara juga masih anak kemarin sore untuk urusan durasi karir kalau bicara status musisi profesional. Jalannya masih panjang. Sejarah juga dengan terang mencatat bahwa kedewasaan dan kemapanan itu merupakan sesuatu yang didapat seiring perjalanan. Prosesnya tidak instan dan memang tidak perlu dikejar. Ia datang pada saat yang direstui oleh semesta.
Dan ketika ada banyak orang yang suka, berarti penerimaan akannya baik. Ketika diulang, malah jadi dahsyat, berarti beragam materi itu dapat afirmasi yang sama. Jika sudah bagus dan bisa diulang, apalagi yang perlu digugat darinya?
Malam tadi menyenangkan. Sebuah pengalaman yang mengingatkan bahwa pilihan harus diperjuangkan dan jalan selalu terbentang luas untuk mereka yang berani mencoba. Much love buat Menari dengan Bayangan. Cerita tentang pengalaman itu, mungkin akan saya ulang berkali-kali ke orang lain, jadi pertanda penting bahwa ia memang segitu mengesankannya.
Kalau kamu yang membaca tulisan ini ingin mencuri ide dan mengaplikasikannya dalam karir musikmu, coba berpikir lebih panjang dan menyelami prosesnya. Jangan cuma mengambil fakta bahwa album ini akan laris manis tanjung kimpul dan Baskara jadi jutawan –mungkin akan jadi milyarder—. Kalau cuma sepotek mengambilnya, mungkin kamu akan jadi orang yang trying too much. Dan itu biasanya, butut. Ups. (pelukislangit)
Jakarta, 26 November 2019
Edan emang reviewnya kang feliex, dari dulu selera musiknya emang jempolan. Terus menulis ya mas, gw follower udh 10 tahun dari jaman pelukislangit
Felix, bukan Feliex. 🙂