Rasanya belum lama pergi. Tapi alam raya dan segala tindak-tanduknya membawa saya kembali ke sebuah tempat yang ternyata tidak bisa dilupakan dengan mudah.
Tempat itu bernama AirAsia Indonesia. Kalau kelewatan, AirAsia Indonesia itu adalah tempat saya berkarya sepanjang Mei 2010 – April 2015. Ceritanya bisa dicek di sini. Saya pergi karena kehabisan bensin, kehilangan tantangan dan ingin mencoba peruntungan baru.
Keputusan itu membawa saya pergi lumayan jauh menantang diri sendiri dan menemukan posisi yang lumayan nyaman; menjadi pekerja independen, berkonsentrasi pada sejumlah karya yang sedang dikerjakan dan menggambar hidup di luar jerat rutinitas korporat.
“Maneh moal move on sih ti AirAsia,” kata teman baik saya, Tazkia Jiniputri, yang asli Tanah Pasundan. Kalimat itu keluar dalam Basa Sunda, salah satu bahasa daerah yang lumayan saya kuasai. Artinya, “Kamu nggak move on sih dari AirAsia.”
Pergi dari AirAsia Indonesia rasanya memang seperti putus cinta. Terlebih durasi hubungannya lima tahun kurang satu bulan. Kata-kata Tazki, membuat saya berpikir, “Apa benar memang saya belum move on dari AirAsia Indonesia?”
Kayaknya, yang membuat belum move on adalah proyek majalah Travel 3Sixty Indonesia yang saya tinggalkan beberapa bulan lalu. Bukan perusahaannya.
Orang-orang di dalamnya tentu saja punya tempat spesial. Beberapa masih mengobrol dengan intensitas yang lumayan. Beberapa jadi terlupakan seiring waktu yang berlalu. Hal yang biasa itu, tapi si majalah ini seolah menjadi panggilan yang terus mengisi ruang kecil di dalam diri saya.
Majalah ini merupakan salah satu bayi saya sewaktu berkarir di AirAsia Indonesia. Tentu saja, ada peran orang lain di dalamnya, tapi keterikatan saya dengannya sangatlah erat. Selepas pergi, saya masih memerhatikan bagaimana ia berjalan.
Ada kerikil di dalam perjalanannya beberapa bulan belakangan. Lalu, kawan-kawan lama yang bertanggung jawab untuk pengerjaan majalah itu mulai mengontak. Obrolan-obrolan ringan itu ternyata jadi panjang.
Beberapa minggu yang lalu, Yudo Ristianto, salah satu kawan lainnya mengontak dengan tawaran yang nyata. Saya diminta untuk mengajukan paket guna bergabung kembali menjadi salah satu penggarap majalah ini.
Selain paket finansial, ada satu hal yang saya ajukan: Saya ingin bekerja remote dari luar kantor dan statusnya freelance. Tidak ingin jadi pekerja tetap. Bagaimanapun juga, hidup saya telah berjalan ke depan dan berbagai macam kemungkinan telah dibuka oleh alam raya. Tawaran yang satu ini, selain baik dan disukai, juga harus bersisian dengan berbagai proyek menulis yang sedang saya lakukan.
AirAsia Indonesia menyanggupinya dan memang rasanya kami sudah menemukan format yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak.
Saya super excited melihat hal ini terjadi. Semoga memang bisa bertemu kepentingannya. Jadi ingat salah satu omongan si ibu ketika saya memutuskan untuk keluar kuliah satu dekade yang lalu.
Waktu itu, dia bilang begini, “Mama sih kecewa. Tapi karena kamu anak mama, ya harus didukung mau buat apa. Yang penting, berani berbuat ya berani bertanggung jawab.”
Dalam konteks yang berbeda, mungkin itu yang dibilang orang banyak bahwa orang tua memang perlu untuk mengawasi anaknya tumbuh berkembang, memberikan dukungan baik ketika bagus atau sulit. Bisa jadi, itu yang terjadi dengan saya dan Travel 3Sixty Indonesia.
Yeah, it’s good to be back. More stories to come. (pelukislangit)
KLIA2, 29 Agustus 2015
08.21 LT
Ketika menunggu pesawat pulang selepas Kolkata
Wowww… Welkombek pak felix!
Berangkat!
Gak salah tadi sempet salaman sama pria yang satu ini sambil bertanya: “kapan balik?”
Hehe.
Tadi baru salaman, Mas Tantu. 🙂