Tiga belas tahun berlalu. Benar kata orang yang bilang sejarah itu diulang. Semalam, di Superbad vol. 69, Mocca membuktikannya; mereka memainkan sebuah set yang mengingatkan saya pada pengalaman pertama menyaksikan mereka di sebuah klub legendaris bernama Parkit di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat tahun 2002 yang lalu.
“Nama acaranya National Front Disco, Lix. Gue masih inget. Waktu itu sama (The) Upstairs dan Jimi masih ngomong kayak di comberan,” kata Arina Ephipania, vokalis Mocca yang biasa dipanggil Dede.
Ia sedang duduk di salah satu sudut The Jaya Pub bersama Eric Wirjanata dan Ryan Koesuma, dua kawan lama yang kebetulan merupakan otak di balik situs http://www.deathrockstar.info. Mereka bercengkerama selepas Dede memimpin Mocca memainkan set tanpa setlist untuk menutup Superbad vol. 69 itu.
Yang membuat ingatan lama tadi kembali adalah perilaku masing-masing personil Mocca malam itu. Mereka bermain dengan ekspektasi yang rendah; hanya berempat, tanpa pemain kibor Agung Nugraha dan peniup trompet Tommy Pangemanan yang sudah bertahun-tahun bersama mereka.
“Ini format miskin, jadi kami hanya tampil berempat,” kata Dede yang kemudian disambut tawa penonton.
Well, Superbad memang seperti itu. Dan justru di sanalah kelebihan seri ini. Hampir semua band yang main tidak mendapatkan bayaran, tapi hampir semuanya juga mendapatkan kesenangan luar biasa yang tidak bisa dijumpai sehari-hari. Crowdnya legendaris dan dikenal luas berpengaruh bagi cerita karir sebuah band. Hampir semua nama besar di scene independen pernah mencicip panggung sempit Superbad.
“Elo harus main setidaknya sekali di sini,” sambung gitaris Riko Prayitno, di bagian malam yang lain.
Tadi malam, Mocca memainkan pertunjukan kedua mereka sepanjang masa di Superbad. Penyesuaian, tentu saja harus dilakukan oleh setiap band.
“Acara gini sebenarnya membantu kita untuk tetap ingat roots kita ada di mana. Komunitas-komunitas model begini yang mendukung kita terus dari awal sampai akhir,” lanjut Riko lagi.
Di dalam kasus Mocca, penyesuaian terjadi pada tidak adanya satu orangpun teknisi yang menemani masing-masing personil ke atas panggung. Mereka, masing-masing, mengeset peralatannya sendiri.
Mocca malam itu hanya ditemani manajer dan sound engineer mereka yang berhasil menyulap tata suara jadi bagus. Sebuah hal yang super jarang terjadi di Superbad.
Beberapa shot minuman keras juga mengalir ke arah belakang formasi panggung Mocca. Tersangkanya sudah barang tentu si penggebuk drum Indra Massad.
Senang rasanya menyaksikan Riko, pemain bas Toma Pratama dan Indra serta Dede mengeset peralatan sendiri. Satu hal yang mungkin sudah tidak terjadi dalam kuantitas yang sering di dalam keseharian mereka belakangan ini. Mereka bersenang-senang, main di depan orang-orang yang sudah dikenal lama dan familiar.
“Ayo, mau lagu apa?” tanya Dede ketika set dimulai.
Saya, yang ada di sebelah kanan panggung, langsung berteriak. “It’s Over Now,” ucap saya. Lagu ini adalah track penutup dari album Friends yang jadi salah satu lagu favorit sepanjang masa saya dari Mocca. Kebetulan pernah jadi soundtrack putus cinta sekitar tahun 2005.
Dede mencatat bersama dengan sejumlah riuh rendah teriakan lagu lain yang diteriakan orang-orang di sekitar.
Yang lucu ketika seseorang berteriak, “Persib!”
Dede membalas, “Wah, saya pikir-pikir dulu ya. Takut mainin lagu itu di sini, takut ada The Jak.” Tentu saja disambut riuh tertawaan orang-orang.
Anyway, catatan itu kemudian diwujudkan. Mereka memainkan sejumlah komposisi yang sudah jarang disentuh model What If atau Lucky Man. Dan tentunya It’s Over Now saya.
“Eh, India, lu kenapa sih? Lagi putus cinta ya?” ujar Dede dari atas panggung ketika akhirnya mereka menuruti teriakan saya (sekali lagi) untuk memainkan lagu itu. Dan kemudian, lagu itu dimainkan.
Lagu itu mengalun. Dan saya bahagia mendengarkannya, lengkap dengan dedikasi spesial.
Oh, jangan berpikir Dede adalah orang yang rasis. Kebetulan saja saya dan dia pernah dipersatukan di sebuah masa di Bandung dulu ketika kami mengenali masing-masing orang dengan suku bangsanya. Saya juga suka membalas dengan memuji level kekotakan wajahnya yang diwarisi para leluhur Bataknya. Anggap saja, itu cara kawan lama berinteraksi.
Ketika malam berakhir, mereka juga masih terlihat akrab dengan sejumlah orang. Riko malah jadi salah satu orang yang pulang paling belakang.
Saya menikmati dengan sangat apa yang saya lihat malam tadi. Mocca, ada di sana, mengingat dengan baik dari mana mereka berasal dan masih punya ruang untuk bersenang-senang di bar sempit. Kesan yang ditinggalkan sama persis dengan apa yang mereka beri di pertunjukan National Front Disc. Oh, pertunjukan tahun 2002 itu, merupakan kali pertama mereka bermain di Jakarta. It’s always fun to see big bands playing small places and get the old feeling.
Dan Superbad, selalu jadi tuan rumah yang baik untuk momen-momen bersejarah model begini. If you missed it, then it’s your loss. (pelukislangit)
Kantor Darmawangsa
2 Juni 2015
16.55
Seluruh foto diambil oleh Ryan Koesuma
mas Felix, tulisannya boleh saya repost di website swingingfriends ya..hehe
Silakan.