Sempurna!

*) Catatan menyaksikan dua konser Belle and Sebastian
*) Pada akhirnya tulisan ini dipost setelah mangkrak nyaris lima tahun

B&S 7

Semenjak kedatangannya ke Asia Tenggara diumumkan, entah kenapa saya sudah punya feeling yang sangat kuat untuk pergi menonton pertunjukan Belle and Sebastian di Singapura. Padahal mereka juga main di Jakarta. Tapi, berhubung ini namanya tur reuni setelah vakum lama dan memang kesempatannya jarang-jarang, ya sudahlah dikejar saja.

Teman saya kali ini adalah Annisa Amalia, seorang gadis yang (bakalan hebat dan) sedang mengadu peruntungan bersekolah di Singapura. Abazh, panggilan akrab si Annisa, merasa menyesal tidak bisa pulang menyaksikan Belle and Sebastian di Jakarta. Jadi, dia rasanya cukup senang bisa menyaksikannya di Singapura bertemankan teman dari Jakarta.

Saya bertugas membeli tiket. Abazh menunggu saja. Awalnya, sempat susah mencari tiket. Karena memang berebutan. Pertunjukan di Singapura menggunakan sistem nomor tempat duduk. Siapa cepat, dia dapat. Nah, misi saya adalah duduk sedepan mungkin. Biar berasa dekat dan puas menyaksikan konsernya.

Setelah berburu, saya mendapatkan tiket untuk kami berdua di baris H, nomor tujuh dari depan panggung. Bolehlah, setidaknya ini lebih depan ketimbang waktu saya menyaksikan Elvis Costello beberapa bulan yang lalu.

Jadi, ketika hari H datang, kami berdua mencoba setenang mungkin untuk menghadapi hari yang menyenangkan itu. Saya sudah merekam bekal lebih awal, menyaksikan konser mereka di Jakarta beberapa hari sebelumnya. Jadilah, saya banyak membagi spoiler untuk si Abazh. Haha.

Konser di Jakarta sendiri berlangsung dalam kadar yang ‘biasa’ dari segi kualitas. Tentu saja menjadi tidak biasa karena yang bermain adalah Belle and Sebastian. Lagipula, venuenya Bengkel Night Park. Jadi, ekspektasi yang saya bangun di kepala adalah bagaimana bisa secara personal merekam memori bersama Belle and Sebastian di tanah sendiri dan mendapatkan kenyamanan luar biasa menyaksikan mereka di Singapura yang memang sudah dikenal punya standar kualitas papan atas untuk produksi konser. Cukup adil lah itu.

Beatfest

Hari di Jakarta berkesan untuk saya karena kesabaran saya membawa hasil. Saya bisa mengoleksi tandatangan tujuh orang personil band ini di sebuah kaos lama Belle and Sebastian yang memang sudah sedikit sempit. Habis konser, baju tersebut langsung saya bingkai. Tapi, perjuangan untuk mendapatkan memorabilia agak keras. Saya tidak berhasil mendapatkan setlist, kendati bisa membawa pulang sejumlah merchandise dari konser tersebut dengan harga yang masuk akal. Masih jauh lebih murah ketimbang harus memesan online, kendati kaos Belle and Sebastian yang sedang saya incar tidak dibawa serta malam itu.

Saya juga beruntung sudah mengenal Stevie MacDougall, road manager Belle and Sebastian yang meninggalkan kesan angker untuk banyak orang. Saya dan Stevie bekerja sama ketika Camera Obscura main di Bandung dan Jogjakarta beberapa bulan yang lalu.

Ketika bertemu di belakang panggung, Stevie langsung memeluk saya. “Hey! Kamu ada di sini juga. Apa kabar?” tanyanya. Saya menjawab, “Tidak pernah lebih baik dari hari ini. Karena akhirnya Belle and Sebastian ada di kota saya. Oh ya, saya tidak kebagian setlist malam ini. Boleh minta nanti di Singapura? Saya akan ada di antrian signing session dan kamu pasti akan lewat situ, kan?”

Kami tertawa. Kebiasaan Esplanade, tempat Belle and Sebastian manggung di Singapura, memang seperti itu. Mereka –dengan persetujuan artis— selalu menggelar sesi meet and greet untuk si artis yang baru saja main. Tujuannya memang membuat si artis bisa dengan mudah bertegur sapa dengan penggemarnya. Buat penggemar? Jangan ditanya lagi deh.

Malam di Jakarta sejujurnya berlangsung begitu saja. Saya hanya menyimpan senyum karena berhasil dengan misi saya malam itu. Tapi, selebihnya, harapan saya sudah liar berkelana ke malam di Singapura.

Terbukti, itu benar. Harapan saya dijawab oleh penguasa alam raya. Pertama, saya menyaksikannya dengan teman baik saya. Abazh tersayang ini, sedari awal sudah sok akrab. Dia mendoakan saya untuk selamat sampai di tujuan. Bukan sayanya yang penting, tapi tiket konsernya yang penting. Karena dibeli dengan menggunakan kartu kredit saya, jadi dia membutuhkan kartu kredit saya untuk menebus tiket aslinya di venue pertunjukan. Dasar!

Kami tiba di area konser pukul tujuh malam, lebih awal tiga puluh menit dari jadwal. Sengaja, karena memang harus mengecek gerai merchandise. Senang mendapatkan harga merchandise di sini lebih murah ketimbang di Jakarta. Haha. Cuma murah ribuan rupiah sih. Tidak signifikan. Tapi bolehlah, sekali-kali setara.

Percaya atau tidak, awalan temuan merchandise yang harganya sebanding itu rasanya membawa saya punya feeling semakin kuat bahwa pertunjukan ini beda. Kursi kami ternyata hanya sekitar sepuluh meter dari panggung. Berasa kayak Belle and Sebastian main di pesta ulang tahun pribadi. Beberapa orang di baris paling depan sudah mulai berdiri. Wah, ini makin tidak biasa.

Benar saja, ketika menjelang konser dimainkan, beberapa baris di depan sudah mulai berdiri. Abazh bertanya, “Eh, kita nggak mau ke depan?” Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan. Akhirnya dalam sekelebat waktu, kami bisa berdiri di bibir panggung. Persis di depan tempat yang diplot untuk Mick Cooke dan Bobby Kildea, di sayap kanan panggung.

Mengamankan tempat di bibir panggung, rasanya adalah sebuah kemenangan tersendiri. Konser di Jakarta memiliki sejumlah barikade yang menjembatani panggung yang tinggi itu dengan penonton. Jadi pasti tidak akan bisa enak jika memutuskan untuk ada di garda depan. Lagipula, Bengkel Night Park tidak punya kualitas tata suara yang mumpuni, jadi nonton di tengah adalah pilihan paling baik.

Kembali ke konser di Singapura, karena posisi yang enak tersebut, di depan saya tersembut setlist lagu yang akan mereka mainkan malam itu. Saya tidak ingin melihatnya, toh kurang lebih akan sama saja dengan penampilan mereka di Jakarta.

I Didn’t See It Coming membuka penampilan mereka. Lagu ini selalu dipilih sebagai pembuka di tur comeback kali ini. Ini lagu baru dan sejujurnya, sebelum konser di Jakarta, saya tidak tahu bentuknya seperti apa. Tapi, tanpa perlu waktu lama, saya sudah merekam melodinya dengan baik. Sarah Martin mengambil porsi vokal utama di lagu ini. Lumayan unik juga, mengingat dia sebenarnya tidak banyak bernyanyi.

Yang agak sedikit berbeda, lagu kedua yang dipilih adalah Expectations, yang menjadi banyak dikenal orang karena termasuk di dalam OST Juno yang lumayan populer dari satu komputer ke komputer lainnya di Indonesia.

Sisanya kurang lebih sama. Tapi, orang yang di sebelah kiri saya sama sekali tidak sama. Saking terlalu antusias, setiap memulai lagu, saya selalu menceritakan padanya tentang apa yang terjadi di Jakarta. Semacam spoiler yang datang terus menerus begitu. Dia sih cukup sabar. Untungnya, saya buru-buru sadar dan menghentikan aksi tersebut. Menikmati konser adalah tujuan utama, jadi saya menghentikan racauan dan membuat si Abazh menonton dengan tenang. Haha.

Di luar dugaan, konser berjalan dengan begitu semarak. Entah kenapa, masing-masing personil Belle and Sebastian di atas panggung, tampak lebih semangat. Mereka dengan sabar menyapa dan mengisi jeda antar lagu dengan komunikasi yang lumayan intens dengan penonton; ini satu hal yang tidak terjadi di Jakarta.

Komunikasi antar personil juga tampak begitu hangat. Kalau ini sih, saya sudah bisa merasakannya via arus informasi yang saya baca di internet.

Baru di lagu keempat, Stuart Murdoch sudah berulah. Di tengah-tengah lagu, dia menaruh gitar listriknya dan langsung berlari ke sayap kiri panggung. Sempat terjadi beberapa kontak mata antara personil lainnya. Penonton juga teriak. Standar, euforia melihat sesuatu yang tidak terduga. Ternyata, Stuart berlari menghampiri seorang penonton yang sedari tadi melambaikan bendera Skotlandia, negara asal Belle and Sebastian.

Ia langsung mengambil bendera tersebut dan memajangnya di depan amplifiernya. Momen menarik berikutnya terjadi ketika I’m Not Living in the Real World dimainkan. Lagu ini, juga merupakan lagu baru. Stevie Jackson mengambil porsi vokal utama. Yang seru, adalah bagian vokal latar yang diperankan dengan sangat baik oleh Bobby dan Sarah. Ini merupakan satu-satunya di mana Bobby bernyanyi. Suaranya tinggi dan terlihat begitu misterius. Sampai sekarang, rasanya dia belum pernah mengambil porsi vokal utama di band ini.

Kedua lagu ini, merupakan garansi untuk membuat album baru Belle and Sebastian menjadi sangat menarik untuk dinanti.

Saya jadi ingat ketika menyaksikan Camera Obscura bermain di tempat yang sama tahun 2008 yang lalu. Waktu itu, My Maudlin Carreer belum dirilis. Tapi Camera Obscura memainkan Swan dan You Told a Lie. Dan, dua lagu itu benar-benar terngiang di kepala sampai saat album My Maudlin Carreer dirilis. You Told a Lie, selain James, adalah lagu favorit saya di album tersebut.

Jodoh saya rasanya dengan Esplanade nih.

Kembali ke Belle and Sebastian –aduh, kebanyakan loncat-loncat ceritanya nih—, senyum si Abazh terus-terusan mengembang. Sementara di panggung, suasana semakin panas. Belle and Sebastian –seperti layaknya apa yang terjadi di Jakarta— menunjukkan bahwa mereka memang sebuah band panggung yang menarik. Kendati Stuart masih juga beberapa kali fals mengambil nada.

Di suatu momen, ia naik ke balkon –yang memang tidak begitu tinggi— dan berkeliling ke seluruh penjuru gedung. Padahal, hal yang seperti ini adalah sebuah ketabuan di Singapura. Orang di sana cenderung kaku, dan rasanya mendapatkan pengalaman yang seperti ini merupakan sebuah kelangkaan yang belum tentu bisa diperankan dengan baik oleh semua artis yang bermain di gedung pertunjukan itu.

Tempat Stuart berjalan adalah balkon yang biasanya diletakkan sebagai sandaran tangan. Tentu saja, melihat idolanya berlaku gila seperti itu, penonton menjadi semakin punya hak untuk berteriak liar. Puncaknya adalah ketika ia menyalami semua penonton yang ia lewati.

Ketika sudah sampai di ujung, dengan semena-mena, ia keluar via pintu yang ada di situ. Secara logika, pintu itu memang seharusnya nyambung dengan tempat mixer monitor berada. Tapi ternyata tidak. Dan hebatnya, Stuart tidak mengambil jalan balik. Ia, entah pergi ke mana.

Orang-orang di atas panggung kebingungan. Termasuk pemain lainnya. Beberapa kru mereka mencari ke belakang, berharap Stuart segera muncul. Tapi, ia benar-benar menghilang.

Stevie yang juga beberapa kali kebagian peran untuk berbicara, mengambil alih panggung ketika semua orang sudah tersadar bahwa Stuart memang tersesat. “Hey, Stevie, kamu ada di mana?” tanyanya.

Akhirnya, untuk membunuh waktu, ia mulai memainkan sebuah komposisi asal-asalan. Sekali lagi, Belle and Sebastian membuktikan kelas mereka ada di mana. Komposisi asal-asalan itu menjadi sebuah lagu utuh tanpa vokal yang bisa mengantar mereka melewati kekosongan.

Stuart muncul di ujung lagu. Dengan tergopoh-gopoh, ia masuk dengan membawa bendera Singapura. Bagian ini sudah barang tentu dirancang dengan baik. Tapi, kalau disambungkan dengan dia yang tergopoh-gopoh dan menghilang selama kurang lebih lima menit, rasanya tidak diatur.

Melihat benderanya dibawa oleh sang bintang, tentu saja publik Singapura kembali berteriak kegirangan. Konser diadakan tanggal 7 Agustus 2010, dua hari sebelum hari kemerdekaan Singapura yang dikenal luas dengan nama National Day.

Menurut seorang teman saya yang orang Singapura, orang Singapura memang luar biasa antusias menyambut hal-hal seperti ini. “Orang sini paling suka sama kembang api, Felix,” katanya beberapa waktu yang lalu ketika kebetulan saya juga berkunjung ke sana. Jadi, ketika Stuart menyinggung National Day mereka, orang Singapura sudah barang tentu senang.

Inilah yang saya senang dari Singapura. Kendati hidupnya luar biasa membosankan karena semuanya serba teratur, mereka masih menyimpan kebanggaan kebangsaan yang luar biasa tinggi. Lihat bangsa saya, bangsa kebanyakan kamu yang membaca tulisan ini.

Kalau ada ribut-ribut, baru deh semangatnya terbakar. Haha. Ngelantur. Jadinya, nanti malah kami tidak takut lagi. Sudah ah, mari balik lagi ke konser.

Konser berlalu dengan sempurna. Tata suara terjaga dengan baik sampai selesai. Bahkan atraksi pergantian alat yang terjadi di sepanjang konser; setiap pergantian lagu, semua personil seperti melakukan aksi tersendiri dengan berganti alat musik. Hanya Chris Geddes dan Richard Colburn yang tidak berganti posisi.

Menjelang encore, saya sudah memberi kode kepada Abazh untuk mengambil setlist yang ada di depan mata kami. Setelah konser selesai akan ada meet and greet untuk 100 orang yang beruntung dan telah membeli merchandise. Saya tentu saja akan mengantri untuk itu.

Saya dan Abazh adalah tim yang bagus, rasanya. Saya sudah mengamati posisi sekitar dan memblok tubuh manapun yang ingin mengambil setlist tersebut. Sementara, Abazh bertugas untuk mencopot pelan-pelan setlistnya.

Tapi, tiba-tiba sebuah teriakan menegur kami, “Oi!” Itu berasal dari kru panggung Richard yang melihat kami melakukan perbuatan itu. Dia memberi kode bahwa kami tidak boleh mencabut setlist itu. Sangat masuk akal, karena memang konser belum akan berakhir. Masih akan ada encore.

Setelah diperhatikan dengan seksama, orang yang menegur saya itu adalah orang yang menimpuk Satria, teman baik saya, di Jakarta. Satria ditimpuk sebotol air mineral ketika ingin mengambil setlist yang tertempel di area tempat Richard berkuasa. Haha. Hampir kena juga saya.

Sat 2

Encore dimainkan dan tepat begitu lagu terakhir dimainkan, tanpa panjang lebar saya meminta Abazh untuk mengambil setlistnya. Lagu terakhirnya sama dengan yang di Jakarta, Legal Man. Jadi sudah ketebak. Inilah untungnya nonton dua kali. Haha.

PR selanjutnya adalah bagaimana bisa keluar tepat waktu untuk mengantri di antrian meet and greet. Kami ada di urutan paling belakang yang bisa keluar dari gedung itu, sementara pasti antrian sudah berlangsung panjang di luar.

Setelah mendesak-desak ala rebutan masuk ke dalam busway, saya dan Abazh berhasil keluar dari ruang konser. Antrian sudah panjang. Abazh saya suruh mengantri dengan manis di belakang, sementara saya mencari kejelasan tinggal berapa pass yang tersisa.

Ada dua orang yang membagikan pass untuk meet and greet. Yang satu sedang sibuk dengan sejumlah orang yang bersikeras untuk masuk walaupun sudah diberitahu harus membeli merchandise terlebih dahulu. Saya menyerobot dan mendapatkan sebuah pass.

Setelah mendapatkan posisi cukup enak di antrian, saya memohon kepada si ibu-ibu pemberi pass tadi untuk memanggil teman saya yang ada di belakang. “Maaf, saya bisa tukaran dengan teman saya? Dia lebih penting untuk mendapatkan pass ini,” ujar saya.

Dia mempersilakan saya. Saya memanggil Abazh. Ketika lagi-lagi dia lengah, saya memasukkan Abazh ke dalam antrian. Haha. Saya luar biasa licik, kalau dipikir-pikir.

Pikirannya, “Ah, kalau misalnya ketahuan, ya sudahlah tidak apa. Toh, saya sudah bertemu dengan mereka di Jakarta. Jadi, ini lebih penting untuk si Abazh.”

Setelah beberapa saat, benar saja, antrian sudah ditutup. Sepertinya tidak lebih dari sepuluh orang di belakang kami. Ketika pass meet and greet habis, antrian langsung ditutup oleh sebuah marka. Si ibu baik hati yang saya zalimi tadi pun melengos pergi. “Aman,” pikir saya.

Abazh nampaknya masih shock dengan kelihaian saya itu. Tinggal beberapa bulan di Singapura rasanya sudah membuat dia berlaku seperti orang Singapura yang kaku. Haha. Padahal, untuk hal-hal seperti ini, aturan rasanya memang ada untuk dilanggar.

Coba pikir saja, kapan lagi bisa bertemu Belle and Sebastian?

Di atas, saya menulis tentang Stevie MacDougall yang saya minta tolong. Nah, dia benar-benar memegang janjinya. Ketika sedang duduk manis mengantri, tiba-tiba ia lewat. Ia seolah sedang mencari seseorang. Langsung saja saya teriak, “Stevie!”

Ia menoleh dan langsung menghampiri saya, “Hey! Look, I’m looking for your setlist ya,” ujarnya. Dia sepertinya memang mencari saya dan memastikan bahwa saya mendapatkan apa yang saya minta. “Wah, oke juga orang ini,” pikir saya.

Stevie adalah sosok yang luar biasa kaku. Satria bercerita bahwa kendati sudah kenal duluan sebelumnya, ketika di Jakarta ia begitu kaku menerangkan bahwa tidak ada agenda band di luar manggung yang boleh difoto. Alhasil, Satria yang memang khusus dipekerjakan oleh si promotor semacam makan gaji buta karena larangan tersebut.

Tapi, perlakuannya itu benar-benar spesial untuk saya. Tidak beberapa lama, ia datang membawakan setlist yang sudah ia janjikan sejak ada di Jakarta.

Karena tadi sebenarnya saya sudah mendapatkan setlist, jadi setlist pemberian Stevie saya berikan kepada Abazh. Tentu saja dia senang luar biasa. Bertambahlah memorabilia yang bisa kami bawa pulang dan kenang atas malam luar biasa ini.

Kembali ke antrian. Kami semakin dekat dengan meja tempat personil Belle and Sebastian membubuhkan tanda tangan. Ternyata ada seorang petugas lagi, dia bertugas mengambil pass yang sudah diberikan kepada pengantri ini.

“Mati saya,” ujar saya dalam hati. Pass hanya satu sementara kami berdua ada di sini. Langsung saja sekelebat ide gila keluar. Pokoknya, yang saya pegang hanya, “Kalau ketahuan, biarlah Abazh yang tetap meminta tanda tangan.”

Saya punya trik manjur untuk mengalihkan perhatian orang. Biasanya trik ini saya pakai di bandara ketika menjadi penyeludup beberapa item bisnis yang saya jual kembali di tanah air. Menjelang keluar bandara di Jakarta, pasti kamu akan distop oleh petugas custom. Petugas tersebut biasanya akan memilah barang mana yang harus masuk pemindai xray ulang. Kalau bawaan yang diletakan di bagasi pesawat biasanya memang malas dicek oleh yang bersangkutan. Tapi, ada baiknya mengalihkan perhatian orang yang bersangkutan.

Biasanya, sebelum dia yang ngomong, saya duluan yang ngomong. Pilih saja topik basa-basi yang kira-kira bisa membuat dia menjawab pertanyaan saya dan beralih ke muka, ketimbang ke barang. Topik ini biasanya berakhir di kalimat, “Mana yang harus dimasukkan xray, pak?”

Jadi, bukan dia yang meminta, tapi saya yang menawarkan. Sejauh ini (dan semoga di masa yang akan datang, seterusnya) trik ini selalu berhasil. Maklum, yang saya seludupkan kan bukan barang terlarang. Tapi ini justru membantu banyak anak bangsa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Haha.

Nah, si bapak tua yang bertugas mengambil pass itu menjadi obyek trik ini malam itu. Saya memberi kode dulu kepada Abazh untuk terus melengos tanpa melihat dia dan berlagak bodoh. Sementara, saya yang mengajak dia ngomong.

Obrolannya kurang lebih seperti ini, “Halo, malam yang sibuk ya?” tanya saya.

“Tidak, pak. Biasalah ini. Kalau konsernya anak muda, selalu ada sesi ini. Anda sepertinya bukan orang sini,” tanyanya. Dia memang ramah sekali.

“Saya dari Jakarta, Indonesia, pak,” jawab saya. “Teman kamu? Juga dari Jakarta?” tanyanya balik.

“Ah, tidak, saya sekolah di sini,” Abazh menimpali. “Oh, bagus,” ujarnya. Tidak berapa lama, antriannya tiba pada kami.

“Boleh minta tiket kamu?” tanyanya.

“Tentu saja,” balas saya.

“Tunggu, kok hanya satu?” tanyanya lagi.

“Wah, saya nggak tahu, pak. Tadi dikasih sama ibu-ibu yang memberikan pass di belakang sana hanya satu. Kami pikir tidak masalah. Bapak bisa lihat kan bahwa saya tidak menerobos masuk ke sini,” ujar saya mencoba menyakin dia.

Dengan senyumnya yang ramah dia membalas, “Ah, okelah. Silakan.”

Sejujurnya, tadi saya deg-degan ketika mempraktekkan trik itu. Bukan apa, rasanya jahat sekali mengkadali orang yang begitu ramah. Tapi, sekali lagi, untuk beradu kencang dengan nasib, memang segala cara –selama itu tidak menghancurkan orang lain— rasanya sah-sah saja untuk dipraktekkan.

Saya dan Abazh hanya beradu senyum, akhirnya kami bisa bertemu idola kami bersama-sama. Yang ada di urutan pertama adalah Chris Geddes.

“Hey, terima kasih atas konser yang seru. Tidak percuma saya datang dua kali,” ucap saya. Tentu saja, saya ingin mereka mengetahui dengan pasti bahwa saya terbang ke Singapura untuk menyaksikan mereka. Padahal, mereka juga bermain di tempat saya berasal.

“Oh, terima kasih. Kamu terbang khusus dari Jakarta? Wow. Terima kasih,” balasnya.

Saya meminta tanda tangan di atas setlist yang saya dapatkan dan tiket konser saya. Sebelumnya, di Jakarta, saya sudah meminta tanda tangan di atas sebuah kaos Belle and Sebastian saya yang sudah sedikit sesak dan di atas buku Just Another Modern Rock Band, biografi resmi Belle and Sebastian.

Yang kedua giliran Sarah Martin. Saya terpesona pada matanya. Rasanya teduh sekali. “Hey, saya orang yang di Jakarta, yang meminta tanda tangan di atas kaos yang sudah kesempitan,” saya berusaha kembali menarik perhatiannya.

Dia membalas, “Ah, ya, saya ingat. Kamu terbang ke sini khusus?” tanyanya, sama seperti Beans. “Iya,” jawab saya.

Abazh, merasa perlu untuk mengambil gambar dengan Sarah. Mungkin karena bentuknya mirip. Haha. Alasannya kurang lebih seperti ini, “Friend, gue pengen foto sama si Sarah. Kayaknya dia damai gitu orangnya, enak ngeliatnya.”

Haha. Di antrian berikut adalah Stevie Jackson. Saya sengaja meminta ia yang menulis tulisan, “TO: FELIX” di setlist saya. Buat saya, selain Stuart, dia merupakan sosok yang spesial; flamboyan, bersuara emas, dan gitaris yang kaya ide. Jadi, tidak boleh dilewatkan.

Richard Colburn yang hangat ada di posisi nomor empat. Dia menyambut, “Hi, saya Richard, senang berjumpa dengan anda.” Luar biasa. Di balik sosoknya yang hangat, dia rasanya begitu rendah hati untuk mau menyapa satu demi satu penggemarnya.

Mick Cooke yang luar biasa datar ada berikutnya. Tidak banyak kesan yang saya rekam bersama dia. Haha. Maklum, dia datar banget sih. Jadi bingung juga mau membuka pembicaraan seperti apa.

Bobby Kildea adalah yang paling berkesan. “Halo. Kita bertemu lagi. Saya ingat kamu, yang di Jakarta kan? Ah, kamu benar-benar datang ke sini,” ujarnya dengan penuh senyum.

Sewaktu di Jakarta, saya berkesempatan meminta tanda tangan di ruang ganti Belle and Sebastian. Bobby dan Richard sedang santai ngobrol, saya menyelinap masuk dan meminta ijin untuk meminta tanda tangan.

Bobby mengajak saya ngobrol ketika waktu itu saya bilang bahwa saya akan pergi ke Singapura, menyaksikan mereka untuk kali kedua. “Oh, Singapura itu seperti apa?” tanyanya.

Saya menjawab sekaligus menerangkan bahwa Singapura punya infrastruktur pertunjukan yang jauh lebih bagus. Ketimbang dari segi penonton, di Asia Tenggara, Indonesia dan Thailand seolah jauh lebih baik. Rupanya, itu diingat dengan baik olehnya.

“Benar kan yang saya bilang waktu itu? Bagaimana rasanya main di sini dan dapat sambutan yang seperti ini. Kami, orang Asia, selalu melakukan ini terhadap band favorit kami” ucap saya.

“Wah, ini adalah kali pertama kami melakukan ini, sepanjang saya bergabung di Belle and Sebastian. Sebelumnya, kalau ada yang minta tanda tangan, itu biasa. Tapi kalau dibuatkan meja dan antrian seperti ini, baru kali ini. Gila!” ceritanya.

Yang terakhir adalah Stuart! Haha. Sepertinya, semua orang inginnya bercengkerama dengan dirinya. Saya sendiri memilih untuk tidak terlalu antusias. Tapi Abazh, rasanya antusias sekali. Akhirnya, kami mengambil gambar berdua dengan dia.

B&S 2

Stevie MacDougall menunggu di ujung antrian. Dia mengawasi jalannya meet and greet ini dan sekaligus mengambil kesempatan untuk mengucap selamat tinggal, saya juga begitu.

“Terima kasih banyak, Stevie. Sampai jumpa, di mana pun kita akan bersua,” ujar saya.

“Oke, Felix. Have a safe trip. Take care,” jawabnya hangat.

Saya dan Abazh meninggalkan lokasi meet and greet. Sontak dia berkata, “Duduk dulu ya, friend. Lemes nih gue.”

Saya juga lemas sebenarnya. Karena rasanya semua perjuangan mulai mencari tiket sampai dengan menulis dengan giat untuk menutup biaya perjalanan menemui hasil akhir yang saya inginkan.

Malam kami masih cukup panjang saat itu. Masih harus bertemu Boit dan Trie, dua orang teman baik saya yang juga sedang ada di Singapura.

Sebagai penggemar, tidak ada lagi yang bisa kami minta selain apa yang sudah digariskan untuk kami peroleh.

Yang lebih mencengangkan adalah perkataan Abazh setelah konser, “Eh, friend, inget nggak kalau kita pernah bertukar komen bahwa kita akan nonton Belle and Sebastian bareng?”

Lihat gambar ini, diposting satu setengah tahun yang lalu.

B&S

Semakin lemas saya dibuatnya. Haha. Emang udah suratan takdir ini sih namanya! (pelukislangit)

09 Agustus 2010 – Rumah Cipete
13 Agustus 2010 – Di udara, ketika bertolak menuju Bangkok

*) Dan sekarang kami akan menyaksikan Belle and Sebastian sekali lagi:

Screen Shot 2015-01-30 at 4.31.26 PM

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: