Spontanitas bisa membawa kita berjalan jauh, melihat hal-hal yang tidak pernah bisa diprediksi sebelumnya. Kejutan yang jadi sepaket dengannya, menghadirkan cerita yang baru dan tetap sederhana.
Stasiun Gambir dan Jalan Sabang yang punya jarak 1.9 kilometer –menurut Google Maps— tadi malam menyadarkan (lagi) kalau Jakarta adalah kota yang indah untuk berjalan kaki. Pilihan jalan kaki, bukanlah sebuah keputusan yang populer. Ada negosiasi di dalam diri saya; antara mengeluarkan uang ekstra untuk naik kendaraan umum atau jalan kaki yang tidak keluar uang.
Pilihan jalan kaki menang, sekaligus membawa saya melihat beberapa hal menarik; waria lewat 30-an yang bergoyang sok seksi pada sekumpulan pemuda yang sedang nongkrong di warung, petugas valet yang kesepian karena pelanggan nyaris tidak ada, mobil-mobil parkir dengan mesin dan pendingin udara menyala yang menjadi tempat berteduh penggunanya yang sedang makan nasi goreng kambing atau seorang pengendara mobil yang mencoba bernegosiasi tarif parkir dengan petugas di Jalan Sabang yang punya sistem perparkiran yang baru.
Masing-masing kisah dibiarkan hidup di permukaan, hanya berdasarkan penghilatan sekilas yang berbagi konsentrasi dengan lagu-lagu Komunal yang berputar kencang di telinga. Tapi, ada ruang kecil untuk mereka semua di Jakarta.
Kota ini rumah, tempat di mana seluruh jalinan emosi dirajut. Senang bisa melihatnya dari dekat secara reguler dengan berjalan kaki.
Kalau tidak bisa menemukan kenyataan ini, ya salah sendiri. Sejak di bangku sekolah menengah di usia belasan awal, Jakarta sudah menebarkan pesonanya. Perjalanan naik bus umum dari Sarinah Thamrin ke Depok Timur menjadi agenda dan ia hidup dengan kisah-kisah sederhana yang dibawa berbagai macam orang yang berseliweran setiap hari.
Infrastruktur yang tidak baik, kemacetan, amarah, kecurigaan pada sekitar dan segala tetek bengek peruntuh selera memang selalu ada. Toh, di sisi lainnya ada banyak bentangan pilihan yang selalu terbuka lebar.
Jakarta bisa dijelajahi dengan kegiatan jalan kaki yang menyenangkan. Sudah dicoba di Cikini, Pejompongan, Pasar Minggu, Kemang, Pondok Kelapa, Kuningan, Kalibata, Cawang, Tebet, Jakarta Kota, Gunung Sahari, Pasar Gembrong, Manggarai, Lenteng Agung, Jalan Panjang dan daftar daerahnya masih bisa dibuat lebih panjang kalau perlu.
Yang terjadi semalam, hanya penegasan saja. Di akhir cerita, semangkok Mie Roxy menyelamatkan keinginan dan lumayan mengenyangkan. Selebihnya, paham lama masih bertahan dengan kokoh; Jakarta ada untuk ditaklukan, bukan untuk dikeluhkan. Kalau tidak suka, ya jangan hidup di langitnya. Sederhana. (pelukislangit)
Kantor Cengkareng
12 Januari 2015
16:55
*) Ide dipikirkan sejak semalam ketika melintas di depan Nasi Goreng Kebon Sirih yang legendaris tapi biasa saja itu.