Tribute personal untuk kemenangan Persib Bandung, 7 November 2014
Perdebatan tentang dua puluh dua orang berpeluh dan meregang napas memainkan sepakbola selalu ada mengintai. Terlebih jika setengahnya kemudian menjadi juara dan membuat kehidupan lumpuh dalam kebahagiaan.
Bandung, ketika tulisan ini mulai dikerjakan, sedang padat. Boit, seorang teman yang punya usaha di Ciumbuleuit dan rumah di Ujung Berung, sampai harus memutar ke jalan tol untuk menjangkau rumah yang hitungan kilometernya tidak jauh itu. Ia dan suaminya, bukan penggemar sepakbola. Tapi mereka larut dalam kebahagiaan sebagai warga kota yang tim sepakbolanya baru menjadi juara se-Indonesia.
Putaran jarak yang lebih jauh, tidak menjadi masalah untuk mereka. Ada hal yang lebih besar daripada kesulitan jalanan yang padat di luar jam lazim; kebahagiaan mereka sebagai warga Kota Bandung.
Persib Bandung menjuarai Indonesian Super League (ISL) 2014.
Gelar juara ini, harus diraih setelah penantian yang sangat panjang, sembilan belas tahun. Waktu berlalu tanpa berhenti rasanya sejak gol tunggal Sutiono Lamso mengoyak jala Darryl Sinerine, penjaga gawang Petrokomia Putra, di final tahun 1995. Waktu itu, saya masih duduk di bangku sekolah menengah.
Kemenangan Persib Bandung di tahun itu, rasanya pahit untuk orang yang bukan pendukung seperti saya. Auranya tidak bagus, karena ada sedikit kontroversi di partai final. Persis seperti ketika Andreas Brehme membawa Jerman Barat menjuarai Piala Dunia 1990. Masa lalu, toh tidak perlu digugat. Fakta sejarah mencatat, itulah tahun terakhir Persib Bandung meraih gelar Juara Indonesia.
Sepanjang era modern sepakbola Indonesia, tepat setelah Liga Super –dan apapun namanya— bergulir, Persib Bandung seolah terpinggirkan dari guratan sejarah. Beragam tim bergantian menjuarai Indonesia, termasuk tim favorit saya, Persipura Jayapura. Tapi Persib Bandung? Nyaris pun tidak.
Ada banyak faktor penghambat yang membuat mereka gagal; manajemen buruk, materi pemain butut, ogah meningkatkan daya saing dengan menggunakan pemain asing ketika banyak tim menggunakan materi impor, kebanyakan partai usiran karena pendukung yang tidak suportif –sampai harus bermain dengan sunyi di kompleks militer—, atau sekedar tidak punya faktor intangible bernama mental juara.
Kurang lebih enam tahun setelah kemenangan terakhir Persib Bandung itu, saya pindah ke Bandung untuk kemudian menjadi warganya selama tujuh tahun berikutnya. Saya tidak pernah jadi pendukung, tapi beberapa kali ada di stadion ketika mereka memainkan pertandingan di rumah sendiri.
Karena sudah disesaki minat pada sepakbola lokal sejak dini, maka saya seringpula terlibat dalam pembicaraan penuh energi dengan sejumlah teman –yang asli Bandung—
yang dari lahir sudah dinapasi oleh kecintaan brutal pada Persib Bandung. Tim sepakbola itu, ada di dalam setiap detik kehidupan kota.
Kondisinya jadi lebih mudah dipahami karena saya adalah seorang pendukung Liverpool FC yang kebetulan sudah lama juga tidak jadi Juara Inggris. Kerinduan akan gelar juara yang diiringi loyalitas besar, membuat kecintaan itu bisa dimengerti.
Membandingkan pendukung Persib Bandung dengan Liverpool FC merupakan sebuah analogi yang paling mudah dicerna; kalah-menang, bagus-butut, tim favorit selalu didukung.
Ketika menuliskan tulisan penghormatan ini, saya juga ingat Tito Santika, seorang juragan kaos di Bandung yang sejak saya mengenalnya, rela membayar ratusan ribu untuk tiket VIP di pertandingan rumah yang dimainkan Persib Bandung. Kalau tidak salah, sekitar 2006-2007, harganya sudah Rp.150.000,00 untuk sekali pertandingan. Di beberapa pertandingan penting, harganya bisa tiga kali lipat. Waktu itu, juga kalau tidak salah, belum ada paket tiket semusim. Angkanya, untuk kehidupan orang Bandung di jaman itu, lumayan besar.
Tito Santika nyaris tidak pernah absen dan di Bandung, ada banyak sekali orang seperti itu. Seolah-olah, dunia mau kiamat besok, kalau hari ini Persib Bandung main, hukumnya wajib ditonton dulu. Perkara persiapan menuju kiamat, itu urusan belakangan.
Level fanatisme mereka seolah tidak berhubungan dengan prestasi tim di lapangan. Stadion tetap penuh sesak, penjaja merchandise bootleg bisa menghidupi keluarganya atau bahkan jargon-jargon bodoh seperti “Wasit Goblog” tetap akan membahana dalam hitungan yang bising ketika pertandingan dimainkan.
Menggambarkan cinta orang Bandung pada Persib Bandung itu susah. Sesusah mencari pengertian yang pas kenapa Persib Bandung tidak pernah bisa menjadi juara nasional beberapa tahun terakhir.
Ada belokan vital yang dilakukan Persib Bandung dengan menggandeng PT. Persib Bandung Bermartabat (PT. PBB) untuk mengelola tim. Ini juga menjadi penanda era baru tim sepakbola ini; jika sebelumnya hanya menjadi alat kebanggaan primordial, maka keberadaan perseroan profesional ini, membuat mereka menjadi mesin bisnis yang bagus.
Sponsor antri masuk karena memang pasar Persib Bandung ini luar biasa besar. Saya pernah ngobrol dengan Muhammad Farhan, salah satu seorang dedengkot perusahaan pengelola ini. “Persib Bandung itu aset terbesarnya adalah bobotoh,” katanya.
Analogi yang sama bisa diterapkan ketika ratusan pemodal asing dengan penuh birahi ingin masuk ke pasar teknologi internet di Indonesia hanya karena melihat potensi penggunanya besar. Disederhanakan: Penduduknya banyak dan bisa jadi duit. Sukses atau gagal, itu soalan berikut.
Level nafsunya segitu, tapi tentu saja sepakbola bukan semata-mata urusan uang. Bobotoh memang berjumlah jutaan –karena Persib Bandung sudah meluas menjadi masyarakat Jawa Barat, bukan hanya Kota Bandung— berdasarkan riset yang dikembangkan oleh PT. PBB. Dan itu merupakan pasar basah. Tapi, sejarah panjang sepakbola di Bandung, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Prestasi, sudah dirindukan.
Pengelola sadar bahwa prestasi akan membawa banyak efek domino di kemudian hari. Karena itulah, mereka membangun tim yang bertabur bintang beberapa tahun terakhir ini. Atlet-atlet sepakbola kelas satu, digilir untuk masuk Persib Bandung. Yang kurang ok, pada akhirnya terdepak.
Rasanya, bisa sekali dibuat tim baru yang isinya pemain buangan Persib Bandung. Mulai dari kiper Jendry Pitoy, bek tengah Abanda Herman yang berduet dengan Charis Yulianto dan Nova Arianto, pengatur serangan Lorenzo Cabanas yang mungkin akan sangat trengginas jika bersisian dengan Miljan Radovic atau saja pasangan striker idaman di diri Cristian Gonzales dan Sergio van Dijk. Mereka, dengan berbagai alasan, memang sudah tidak lagi bersama Persib Bandung. Tapi kehadirannya selalu dikenang karena memang kualitasnya luar biasa baik.
Orang-orang ini pernah berbaju Persib Bandung karena memang prestasi dituju. Tapi, mereka gagal. Beberapa orang dari ‘generasi modern’ Persib Bandung ini bertahan.
Sebut saja salah satu pemain sepakbola paling bodoh se-Indonesia (menurut saya) yang bernama Hariono. Ia dibawa Jaya Hartono lebih dari lima tahun yang lalu. Setia, tapi mainnya keras cenderung kasar dan suka merugikan tim. Atau poros super kuat di sisi kanan yang dibentuk oleh Muhammad Ridwan dan Supardi Nasir yang membuat keduanya jadi duet atlet sepakbola sisi kanan terbaik di Indonesia beberapa tahun terakhir. Supardi Nasir bahkan kembali masuk tim nasional karena performanya ini.
Tidak hanya di situ, ada nama medioker lain di tim ini yang juga tahan lama, Tony Sucipto. Entah menilai bagusnya orang ini dari mana, tapi ia terus menerus masuk tim utama. Firman Utina, di penghujung karirnya, juga sudah bertahan lebih dari setahun.
Upaya jadi lebih indah dan romantis karena elemen masa lalu selalu berputar di jajaran pelatih. Nama-nama legenda lawas model kiper utama 1995, Anwar Sanusi, yang ada di bangku pelatih kiper, Herrie Setiawan di kursi asisten pelatih serta nahkoda Jajang Nurjaman punya tautan kental dengan masa lalu Persib Bandung. Jajang Nurjaman bahkan menggantikan legenda hidup yang seolah tidak pernah salah, Robby Darwis.
Jadi, dari segi konstruksi tim, Persib Bandung selalu punya amunisi komplit. Tapi, mental juara baru melekat musim ini di diri mereka. Materinya masih kalah mentereng dengan tim promosi Persebaya Surabaya atau Arema Indonesia atau bahkan tim favorit saya, Persipura Jayapura yang sudah bermain bertahun-tahun bersama dan sangat mengerti satu sama lain luar dalam.
Mental juara itu, membuat penampilan mereka konsisten dari awal sampai akhir. Juara kompetisi, idealnya memang harus dilihat bobot-bibit-bebetnya. Bukan hanya bergantung pada pertandingan final. Konstruksi kestabilan itulah yang membuat Persib Bandung punya pemahaman yang mantap untuk menjadi juara.
Perkara taktik yang membuat Hariono menginjak tulang kering Robertino Pugliara di awal pertandingan, Ahmad Jufriyanto yang meneror Dede Sulaiman dengan menabrakan badannya hingga kiper lawan ini terkapar menghajar tiang gawangnya sendiri atau trik Medan berulang yang dipraktekan Ferdinand Sinaga demi mendapatkan pelanggaran, sejatinya merupakan sebuah fragmen kecil yang lazim dimainkan dalam sebuah pertandingan. Dalam spektrum yang lebih besar, Persib Bandung tahun ini, adalah tim terbaik.
Mereka paham harus bermain keras menghadapi Persipura Jayapura yang secara kolektif skill pemainnya jauh lebih baik. Kecerobohan sedikit saja, akibatnya sudah jelas; bisa membuat mereka menderita gol kedua yang dicetak oleh Persipura Jayapura yang hanya tinggal berisi sepuluh orang pemain.
Kalau bicara lawan di final, Persipura Jayapura –kendati saya pendukungnya— tidak punya kestabilan yang dimiliki Persib Bandung. Terlalu banyak drama emosi yang mampir tahun ini. Tim favorit saya itu, kalau sudah emosi, mainnya jadi berantakan dan suka mendramatisir keadaan.
Tim yang saya bela habis itu, kalah dari tim terbaik. Itu bisa dilihat dari betapa hangatnya sambutan antara pemain ketika pertandingan berakhir. Yang berlangsung sepanjang koridor pertandingan, biarlah ada di sana. Ketika alam raya menentukan siapa pemenangnya, sudah selayaknya kondisi itu dihormati.
Alam raya memilih Persib Bandung menjadi pemenang. Sekaligus mengakhiri penantian belasan tahun yang rasanya sudah terlalu panjang itu. Nelson Alom, pengeksekusi penalti Persipura Jayapura yang gagal tadi, tidak pernah salah. Alam raya, tidak berpihak kepadanya dan ia harus menjadi pemenggal harapan.
Persib Bandung juara karena punya mental juara.
Dan faktor itulah yang membuat kota itu berpesta. Tinggal tujuh tahun di Bandung, membuat saya paham bagaimana harapan digantungkan di tubuh tim Persib Bandung.
Puluhan ribu tangis pecah, ratusan orang memilih untuk mabuk, ratusan ribu turun ke jalan atau bahkan lebih dari dua juta pasang mata menyaksikan siaran langsung pertandingan final tadi. Saya bisa merasakan, semuanya mengirim harapan energi yang sama.
Yang menang, bukan hanya tim, tapi seluruh kota.
Untuk teman-teman yang tinggal di Bandung dan merupakan pendukung Persib Bandung –kendati tidak tinggal di kota itu—, selamat. Nikmati momen yang ada di dalam genggaman. Persis seperti kata Ridwan Kamil, Walikota Bandung, di layar Metro TV, yang besok biarlah jadi urusan hari esok. Gimana nanti, yang penting, yang sekarang dinikmati dulu.
Kamu semua layak bersuka cita karena telah jadi yang terbaik. Titip pesan, jangan lupa mengingat mendiang Ayi Beutik yang memberi contoh teladan –baik atau buruk— kepada sepakbola Indonesia tentang bagaimana seorang bisa loyal sampai mati pada tim favoritnya.
(Sulit mengatakan ini) Hidup, Persib Bandung! Selamat melumpuhkan kota Minggu besok. (pelukislangit)
8 November 2014
Rumah Benhil – 01.34
Foto diambil dari Vivanews.com, Wildan Almine, Info Bandung dan Berita Satu. Maaf fotonya dicuri. Anyway, tulisan ini tidak lantas membuat saya menjadi pendukung Persib Bandung. Saya masih pendukung Persipura Jayapura.










Leave a reply to Felix Dass Cancel reply