Mengajar itu tidak pernah mudah. Ini bukan pengalaman pertama, tapi bisa jadi yang paling berharga. Anak kelas satu level sekolah dasar membuat saya keok.
Saya baru saja menyelesaikan sebuah pencapaian baru: Menjadi relawan Kelas Inspirasi Depok. Kenapa kata yang dipilih pencapaian? Karena sejatinya, ini merupakan sebuah tantangan besar yang baru saja diselesaikan. Tidak dengan sempurna, tapi saya cukup puas menemukan diri saya di akhiran hari.
Indikator kepuasan, di dalam kasus saya, adalah punya energi banyak untuk bercerita panjang lebar kepada orang-orang dekat tentang apa saja yang baru terjadi di dalam kisah hidup saya. Sebuah tantangan sederhana, harus diselesaikan dengan cara yang juga sederhana. Justru di situ seninya, menciptakan kesederhanaan itu selalu susah.
Salah satu pesan yang keluar yang ponsel saya setelah kegiatan itu selesai, bunyinya begini:
“Cannot be happier than this. I came out from that school as a different person.”
Orang yang saya kirimi gambar-gambar dan pesan dua kalimat itu, sangat mengerti karakter saya. Makanya, balasan yang ia kirim, nadanya menetralisir keadaan yang euforistik (apakah itu kata Bahasa Indonesia yang benar?). Begini bunyinya:
“Huaaaa. Keren-keren. Dasar Virgo.”
Setelah mengambil jarak beberapa saat dengan pesan balasan itu, saya sadar bahwa indikator kepuasan telah menguasai diri saya. Dua kalimat dalam pesan yang saya kirim keluar itu benar adanya, sebuah hari penuh harga baru saja mampir ke dalam hidup saya.
Sedikit ke belakang, sewaktu sesi briefing dilangsungkan dua minggu sebelum acara berlangsung, ada sebuah kalimat pemateri yang saya ingat dengan jelas.
“Ini bukan tentang siapa Anda, tapi tentang bagaimana Anda memberikan inspirasi ke anak-anak itu.”
Jadilah, kalimat itu melandasi kelas-kelas yang saya isi. Ada banyak cara yang bisa dipilih untuk bercerita kepada anak-anak yang menunggu relawan di sekolah-sekolah. Semuanya tidak bisa dibilang benar atau salah, semuanya relativitas. Saya, tentu saja, memilih menyampaikan materi dengan cara saya sendiri. Termasuk di dalamnya pilihan sadar menjadi diri sendiri, lengkap dengan berbagai sisi karakter yang menempel.
Karena bukan tentang seorang Felix Dass yang penulis, maka saya sama sekali tidak punya rencana memamerkan hasil pekerjaan dan pencapaian di dunia tulis-menulis yang sudah kejadian. Kelas-kelas yang saya isi temanya jelas, bagaimana menulis itu bisa menyenangkan dan jadi satu pilihan yang bisa diambil ketika dewasa nanti.
Yang saya sampaikan adalah materi tentang seorang penulis.
Jadwal membawa saya mengajar kelas satu dan lima. Giliran kelas satu datang pertama dan kelas lima mengikuti beberapa jam kemudian.
Sehari sebelumnya, saya memilih untuk pulang ke rumah ibu di Depok. Supaya lebih dekat dengan lokasi SDN Depok Dua, tempat saya menjadi relawan. Lokasi sekolah dasar itu ada di dekat Stasiun Depok Lama, lokasi yang sebenarnya tidak sulit untuk ditemukan.
Ketika briefing dengan seorang guru dari sekolah itu, sembari bercanda, saya berceloteh, “Tapi ada tukang bubur enak dekat sekolah kan, bu?”
Sekolah itu dilengkapi dengan berbagai macam pilihan sarapan yang bisa disantap. Itu modal bagus untuk mengawali hari. Hari saya dimulai pukul lima pagi, waktu janjian pukul enam tiga puluh. Saya harus berangkat lebih awal karena ada keperluan mencetak materi presentasi untuk anak kelas satu.
“Felix, elo nggak bisa presentasi sama anak kelas satu pakai cetakan hitam-putih,” kata seorang kolega di kantor yang saya temui sehari sebelumnya. Kebetulan, anak paling kecilnya ada di kelas satu sekolah dasar.
Fakta itu mendorong saya untuk berangkat lebih awal dan mencetak ulang materi presentasi dalam format full color.
Karena mengajar di dua level yang berbeda, maka saya menyiapkan format yang juga beda. Untuk anak kelas satu, saya mencoba mengajak mereka menebak profesi-profesi yang ada. Jadi, saya mencetak gambar polisi, fotografer, penulis, pelukis, Bambang Pamungkas serta Joko Widodo.
Sementara untuk anak kelas lima, saya menyiapkan kertas kosong saja untuk mengajak mereka bermain dengan tulis-menulis. Saya membagi mereka ke kelompok-kelompok kecil lalu mengajak mereka menulis secara kolektif. Saya menulis kalimat pertama lalu mereka akan melanjutkan dengan satu kalimat, masing-masing anak. Sehingga, akan tercipta sebuah cerita di akhir.
Ada kejadian lucu sewaktu upacara, seluruh relawan diperkenalkan di hadapan anak-anak yang ikut upacara. Jadi, kami mengikuti upacara bendera di sekolah dasar itu. Termasuk bonus dijemur. Awalnya, saya membiarkan kemeja tangan panjang saya berfungsi sesuai dengan tugasnya sampai ujung tangan. Tapi rasa panas yang merongrong, membuat saya menggulungnya.
Itulah awal sebuah hari yang menyenangkan. Rombongan anak kelas lima yang berdiri di dekat saya, langsung tertarik kepada tato yang ada di lengan kiri saya. Tato itu memang dibuat dengan aksara Hindi dan berarti Dass, nama keluarga saya. Bentuknya yang Hindi, mmebuat sejumlah anak berpikir bahwa saya bisa diasosiasikan dengan pemeran serial Mahabarata yang tayang stripping di ANTV.
“Kak, yang main Mahabarata ya?” celoteh seorang anak.
Saya membalasnya dengan senyum, kendati belum mengerti bahwa ini adalah pintu masuk besar ke komunitas mereka.
Seringai saya yang kepanasan rupanya juga membuat mereka tambah bersemangat. Tensi sedikit naik ketika tiba giliran saya memperkenalkan diri. Dasar punya otak jail, maka perkenalannya berbunyi kurang lebih seperti ini:
“Halo. Saya Felix Dass. Kata teman-teman di sebelah kanan saya ini, saya pemain Mahabarata. Tapi tidak, saya sehari-hari merupakan seorang penulis. Seperti apa penulis itu? Sampai ketemu di kelas nanti ya.”
Begitu saya mengucapkan kata Mahabarata, tawa memecah dengan kencang di seantero peserta upacara. Mereka membeli candaan yang saya lemparkan. Saya pikir keadaan akan lebih mudah, tapi ternyata tidak.
Beberapa belas menit kemudian, saya masuk ke ruangan kelas 1B, giliran pertama. Menurut jadwal, saya diberi waktu dua jam untuk memberikan materi. Beberapa orang yang saya ajak ngobrol tentang tantangan ini bilang, bahwa saya harus mengajak mereka bermain. Tidak perlu serius, karena toh yang saya hadapi adalah anak-anak yang usianya enam atau tujuh tahun. Bagaimana mau serius?
Sesi dimulai dengan pertanyaan mau bernyanyi atau tidak. Mereka menyanggupi dengan memilih sejumlah lagu, beberapa anak mulai menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan lokal kelas itu. Beberapa mencuri perhatian dan beberapa juga tidak acuh pada kehadiran saya. Persis seperti bicara pada massa yang besarlah, ada yang vokal, dominan, tapi ada juga yang tidak peduli pada keadaan.
Lalu, saya mulai membagikan gambar. Begitu satu kelas sudah dapat gambar, saya mengajak mereka keluar kelas, ke lapangan. Sejak awal, salah satu niatan yang ingin saya sampaikan kepada mereka adalah ketersediaan berbagai macam cara untuk melakukan sesuatu.
Nilai-nilai kebebasan yang bertanggung jawab yang ditanamkan oleh Ordo Jesuit, menempel dengan erat di dalam diri saya. Bukan berarti memaksakan, tapi sampai di level bahwa ada opsi lain selain keteraturan yang ditanamkan oleh standarisasi sekolah sudah cukup untuk saya. Itu kenapa cara yang saya pilih adalah mengajak anak-anak ini ke lapangan, tempat mereka bisa menghirup udara yang lebih segar.
Untuk setengah jam pertama, ini adalah ide bagus. Tapi tidak untuk setelahnya. Anak-anak itu mulai menemukan kesenangan lain. Misalnya saja, menggoda teman yang lain dan mulai bertindak vandal. Yang bosan, juga mulai membuat klub sendiri di pinggir lapangan. Sulit untuk bisa mengendalikan empat puluh anak sekaligus.
Keadaan ini membuat saya panik dan mulai kehilangan konsentrasi. Ada anak-anak yang masih memberi perhatian, lebih banyak yang mulai merasa bosan dengan materi yang saya bawakan.
Lima menit kemudian, saya mulai berpikir untuk melempar handuk tanda menyerah. Ketika waktu menunjukan bahwa saya telah mengajar satu jam, saya segera keluar dari ruangan kelas sembari mengucapkan salam perpisahan dengan anak-anak. Saya kalah.
Begitu keluar, fasilitator yang mengawasi kelompok saya bertanya kenapa saya meninggalkan anak-anak itu. Saya bilang bahwa menyerah adalah sebuah pilihan yang bijak karena memang keadaannya sudah tidak kondusif. Ia berjasa mengisi kekosongan dan mengambil peran saya yang memilih untuk kalah.
Sesungguhnya, pilihan untuk kalah tidak pernah menjadi sebuah opsi yang eksis apabila memang saya punya nyali untuk menghadapi anak-anak kelas satu itu. Apa yang saya bilang kepada Mela, teman saya, di tulisan tentang Kelas Inspirasi sebelumnya, ternyata benar-benar kejadian; lebih mudah membuat sebuah presentasi untuk presiden ketimbang anak-anak kelas satu sekolah dasar.
Tulisannya bisa dicek di sini: https://pelukislangit.wordpress.com/inspirasi
Tapi, jangan khawatir. Saya orang yang percaya bahwa kesempatan kedua itu akan selalu datang. Ternyata juga, ada beberapa relawan yang mengalami kesulitan seperti saya; waktu dua jam terasa begitu lama. Akhirnya, berdasarkan kesepakatan bersama, waktu mengajar dipotong menjadi satu jam saja.
Inilah uniknya Kelas Inspirasi. Masing-masing kelompok dibebaskan untuk menentukan aturan mereka sendiri mengenai alokasi waktu. Spirit kebebasan dan independennya lumayan besar.
Giliran kedua saya adalah mengajar anak kelas lima. Ketika istirahat panjang, beberapa anak yang sudah bertegur sapa dengan saya ketika upacara beberapa jam sebelumnya, menyambangi ruang tunggu kami di ruangan kepala sekolah. Dasar memang hobi ngobrol, saya akhirnya ngeriung bersama mereka. Topiknya tetap berkisar pada Mahabarata. Itu adalah ice breaker yang jitu. Sekaligus saya jadi tahu bahwa serial yang tampak lame itu, ternyata populer di anak kecil.
Tato saya menarik perhatian. Beberapa bahkan memberanikan diri menyentuhnya, ingin merasakan bagaimana gugusan tinta yang menempel di tubuh manusia. Saya membiarkan mereka, karena bisa jadi ini merupakan persentuhan pertama mereka dengan tato. Sekaligus mengikis pesan standar (kalau ada) bahwa tato itu tidak baik untuk kehidupan manusia.
Pertanyaan standar yang mengikuti adalah:
“Kak, itu artinya apa?”
Kalau dalam ruang personal satu lawan satu, biasanya saya akan iseng dengan menjawab sekenanya dengan nama lawan bicara saya. Misalnya saya berbicara dengan seseorang bernama Laurena.
“Eh, Felix, itu tato artinya apa ya?
“Laurena,” jawab saya. Biasanya, trik seperti ini lumayan mencairkan suasana karena level gombaliongnya luar biasa besar. Di beberapa kalimat berikutnya, baru saya bilang ke dia arti sebenarnya.
Tapi, karena berhadapan dengan belasan anak sekaligus, tidak mungkin trik gombaliong itu dimainkan. Haha.
Saya menjelaskan bahwa tato itu adalah nama keluarga saya, Dass. Mereka kemudian bisa mengerti –atau tampak pura-pura mengerti— dan memegang-megang tato saya. Menyenangkan rasanya bisa membuka pembicaraan dengan mereka yang usianya jauh di bawah saya.
Saya juga membiasakan diri untuk memanggil mereka dengan “Elo-Gue”, sebuah panggilan yang sebenarnya biasa di level mereka tapi seolah dianggap tidak ada oleh orang yang lebih tua. Dulu waktu masih di sekolah dasar, saya pernah dipanggil oleh kepala sekolah karena ngomong “Tai” ke teman sekelas. Karena dilakukan tepat di depan si kepala sekolah, maka hal itu jadi salah. Padahal, yang lain juga melakukan hal itu. Cara si kepala sekolah itu, menurut saya tidak efektif.
Anak-anak itu akrab dengan kata-kata makian, tapi dibiasakan bahwa cara bertutur pergaulan seperti itu dianggap tidak sopan. Dalam beberapa hal, bukankah itu mengajarkan manusia untuk jadi munafik?
Jadi, “Elo-Gue” adalah upaya saya untuk berkontribusi mengurangi kadar kemunafikan di dalam pendidikan sehari-hari yang didapatkan anak-anak ini. Memang sih, tidak akan berarti banyak, tapi setidaknya membuat mereka punya pandangan lain bahwa berbicara dengan gaya yang seperti itu sah-sah saja.
Poin pentingnya adalah memperlakukan mereka sebagai sesame manusia, tidak lebih muda dan tidak lebih tua. Kesetaraan membuat saya bisa memandang banyak manusia dengan level umur yang beragam sebagai teman. Landasannya sederhana: sama-sama manusia.
Ok, maaf sedikit ngelantur. Kembali ke proses mengajar anak kelas lima. Kali ini, rencana saya berjalan sesuai dengan rencana.
Idenya sederhana, seperti sudah dijelaskan di depan tadi. Saya akan membagi mereka ke kelompok-kelompok kecil lalu meminta mereka membuat cerita yang harus sambung dengan kontribusi masing-masing orang. Untuk membuatnya lebih menarik, saya membebaskan mereka memilih tempat bekerja. Malah, saya menggoda mereka untuk keluar dari kelas yang ruangannya membosankan.
“Silakan pilih tempat, boleh di kelas, boleh di luar. Tapi masa di dalam kelas sih?” ucap saya.
Kebanyakan anak-anak itu sumringah, mungkin karena diijinkan untuk keluar kelas. Pilihan lokasi kerjanya pun jadi macam-macam; ada yang memilih di depan kelas, ada yang di musholla bahkan ada yang di halaman depan luar sekolah.
Tugas yang saya berikan pun penuh keisengan. Ada beberapa kalimat jahil, karena memang saya tidak mengonsep kalimatnya sejak dari rumah. Jadi, semuanya spontanitas. Rasanya cukup adil untuk membiarkan proses itu dinapasi oleh faktor spontanitas yang besar.
Misalnya saja, saya memulai tulisan dengan kalimat, “Saya belum mandi tiga hari” atau “Semalam saya makan pecel ayam”. Imajinasi mutlak diperlukan untuk membuat hasil yang beragam dan ide itu tersampaikan dengan baik.
Tidak semuanya punya hasil menarik, tapi kebanyakan dari mereka punya imajinasi bagus dan menemukan bahwa proses tulis-menulis itu menyenangkan. Asumsi ini saya dapatkan dari setiap tawa dan tepukan tangan yang muncul begitu masing-masing kelompok selesai membacakan cerita mereka. Dari delapan kelompok setiap kelasnya, biasanya lima mendapatkan sambutan meriah. Bolehlah hitungannya.
Metode ini saya ulangi sekali lagi di kelas lima dan sekali di kelas tiga. Dua kelas ini muncul tanpa rencana karena memang semuanya melihat kondisi di lapangan yang memerlukan improvisasi besar.
Senang bahwa ide yang sama bisa dikonsumsi dengan baik oleh anak-anak itu. Itulah yang membuat sunggingan senyum lama bercokol di wajah saya. Di sesi kelas lima kedua, bahkan saya berhasil membuat lebih dari lima orang mengacungkan tangan ketika ditanya siapa yang ingin menjadi penulis. Sebelum sesi dimulai, saya memberikan pertanyaan yang sama dan tidak ada yang mengacungkan tangan mereka.
Di kelas tiga sesi terakhir, juga ada sebuah kejadian lucu di mana sedari awal mulai kelas, saya memilih untuk duduk di meja guru, mengambil posisi yang santai. Pelan-pelan, anak-anak di kelas itu mengikuti cara saya dengan memanjat meja belajar mereka untuk kemudian duduk di atasnya. Guru mereka melihat dari luar sambil tersenyum dan itu adalah sebuah kemenangan untuk niat saya membuat mereka punya pilihan yang tidak seragam dengan tindak-tanduk saya yang apa adanya.
Untuk hal ini, saya berhutang pada John Keating dari Dead Poets Society yang dimainkan dengan sempurna oleh mendiang Robin Williams.
Kalau dari hitungan pribadi, saya gagal di satu sesi tapi berhasil di tiga sesi lainnya. Skor 1-3. Bolehlah ya?
Tapi, souvenir paling mengesankan hari itu adalah dikejar-kejar anak sekolah dasar yang meminta tandatangan. Entah apa alasannya. Tapi ketika lebih dari dua ratus anak memburu tandatanganmu, ada masalah di situ. Haha: Pegel.
Awalnya, ada beberapa anak meminta memorabilia tandatangan berikut dengan pesan untuk mereka. Tapi pelan-pelan efeknya menjalar dan anak-anak yang sadar belakangan juga meminta tandatangan tanpa alasan yang jelas, mungkin tidak mau kalah dari teman sekitarnya.
Atau, mungkin juga ada dari mereka yang masih menyangka bahwa saya adalah pemain dari serial Mahabarata? Haha.
Kelas Inspirasi Depok yang saya ikuti hari Senin kemarin mengajarkan sebuah hal penting: Bahwa tugas orang dewasa adalah membagi pengalaman dan menanamkan sejumlah nilai penting hidup kepada anak-anak yang jadi masa depan alam raya. Kemasannya bisa masing-masing, tapi kalau dilakukan dengan kadar yang apa adanya, pasti lebih bisa masuk. Manusia lebih bisa menerima sesuatu yang sifatnya asli dan natural ketimbang segudang hal-hal palsu yang dibuat-buat.
Saya berhutang sama anak-anak yang saya temui di SDN Depok Dua kemarin Senin. Dan, saya juga membuka diri terhadap mereka yang ingin berteman setelah sesi kemarin. Saya menyebarluaskan akun Facebook dan Instagram saya untuk mereka follow. Kalau kamu mengikuti saya di dua akun itu, pasti menemukan bahwa ada beberapa anak kecil yang minta difollow back atau mengajak saya ngobrol. Selama masih bisa, kenapa tidak diladeni?
Toh, jauh di palung kehidupan paling dalam, ada satu esensi penting kehidupan: Manusia membutuhkan manusia lainnya untuk hidup. Terima kasih banyak, Kelas Inspirasi! Tidak sabar untuk ikut serta di kali berikut. (pelukislangit)
Selasa, 21 Oktober 2014
Kopi Tiam Oey, Sabang
*) Tidak banyak foto yang saya ambil, beberapa foto di halaman ini didapatkan dari fasilitator kelompok saya, Bayu.