Hari ini, 19 Mei 2014, Joko Widodo mengumumkan Jusuf Kalla sebagai pendampingnya di perburuan ke kursi Presiden Indonesia. Kabarnya, tidak terlalu mengagetkan. Ada banyak analisa yang bisa diangkat. Bisa dibaca di banyak kanal berita yang menu utamanya memang menyajikan hangatnya perebutan kursi ini.
Saya tidak akan banyak omong lagi tentang kiprah mereka. Tapi, nampaknya ada keresahan rasa yang minta diungkapkan, maka menulislah saya.
Indonesia punya sistem politik yang tidak menguntungkan, menurut saya pribadi. Calon independen, nyaris tidak punya ruang untuk masuk ke panggung besar pertarungan. Oleh karena itu, harus memilih partai politik yang brengseknya minta ampun.
Tidak ada satu partai politikpun yang kena di hati. Sejak pertama kali berhak mencoblos pun, saya tidak pernah memilih satu partai sebagai saluran aspirasi. Cara berpolitik Indonesia tidaklah ideal menurut saya. Konsep keterwakilan yang dianut cenderung seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan. Yang dipilih dan memilih tidak duduk sama tinggi, tidaklah setara.
Yang ada, mereka yang dipilih cenderung lupa berpijak di tanah. Memang, tidak adil rasanya menggeneralisir semuanya brengsek. Pasti masih ada yang benar. Tapi, anti rasanya berurusan dengan wakil rakyat.
Celakanya, untuk memilih presiden, harus melalui pemilihan legislatif. Sebagai bagian super kecil dari negara ini, saya harus mengikutinya. Tapi, syukurlah masih bisa berpijak pada kejujuran yang ada di dalam diri; saya mencoblos semua partai. Sebagai bentuk keadilan. Haha. Tentu saja, suaranya tidak sah. Karena memang itu tujuannya.
Nah, sekarang pemilihan presiden sudah semakin dekat. Saya mendukung Joko Widodo, bintang terang perubahan yang sedang hangat jadi buah bibir di Indonesia. Saya tidak peduli partai apa penyokongnya.
Buat saya, figur orang lebih penting ketimbang partai. Orang bisa mengubah permainan, asal dilakukan dengan kolektif. Yang akan kita pilih adalah nahkoda yang akan memimpin Indonesia maju ke depan.
Saya pernah melihat Joko Widodo dan Jusuf Kalla bekerja dari dekat. Karakternya berbeda, Joko Widodo mirip seperti saya dan orang Indonesia biasa lainnya. Sosoknya tidak berjarak dengan rakyat biasa. Sementara Jusuf Kalla punya sisi teknokrat yang membuat urusan dengannya sedikit birokratis. Tapi, orangnya bisa dijangkau oleh orang biasa. Dan senang ngobrol. Keduanya suka berinteraksi dengan orang banyak. Itu modal bagus.
Saya masih ingat kesalahan besar saya memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang cenderung ‘palsu’ dalam tindak-tanduknya. Ia memang membawa Indonesia ke arah ekonomi makro yang lebih baik di periode pertama, tapi kehilangan kepercayaan karena gerbong pendukungnya serakah dan bergantian mengisi halaman pesakitan tersangka korupsi negara ini.
Omong kosong bicara bersih-bersih. Negara ini sistemnya bobrok. Mentalitas adalah masalah paling besar. Kondisi kita sederhana: Memilih yang terbaik dari yang terburuk.
Dan pasangan ini, jadi pilihan saya.
Joko Widodo mungkin bukan yang terbaik. Tapi dia adalah simbol pembaruan. Lihat saja Jakarta. Memang, pekerjaan besarnya di Jakarta tidak diselesaikan. Tapi ia maju untuk sebuah pertarungan yang lebih besar. Jangan lupa juga, bahwa Jakarta akan baik-baik saja di tangan wakilnya –jika ia terpilih nanti— Basuki Tjahaja Purnama.
Pembaruan yang ia bawa dalam gerbongnya membuat sebagian besar warga Jakarta memilih tokoh dan melupakan sosok brengsek partai politik di belakang si sosok itu. Mereka yang dirasa kena di hati, itulah yang dicoblos.
Indonesia sekarang bergerak ke arah sana. Mesin partai tidak pegang peranan yang absolut. Dan karenanya, saya jadi antusias mengikuti proses pemilihan ini.
Joko Widodo, kembali lagi, adalah proses. Ia, sebagai simbol pembaruan, bertugas memberikan inspirasi bahwa bangsa ini bisa keluar dari jargon basi bernama perubahan yang selalu muncul ketika musim pemilu muncul.
Perubahan itu terlalu muluk untuk diharap datang cepat dan bereaksi dengan cepat. Ia adalah proses dan proses itu makan waktu yang lama. Yang diperlukan, bukan mengubahnya. Tapi memulai proses itu. Joko Widodo, menurut saya, adalah nahkoda yang baik.
Yang ia sajikan dengan sederhana –terlepas dari itu dirancang oleh sosok jenius di belakang layar atau tidak— adalah ketulusan untuk mengubah sosok pemimpin. Itu yang paling diperlukan oleh Indonesia saat ini. Memiliki seseorang yang “sama dengan kita” adalah sebuah hal yang sangat mahal yang sudah dirindukan terlalu lama oleh bangsa ini.
Dan karenanya, orang ini keren.
Jusuf Kalla, saudagar dari timur, adalah pilihan yang sifatnya “aman”. Pengalaman yang segudang, bisa jadi juru damai dan orang yang lihai melihat peluang. Sosok ini menarik.
Ok, kalau kamu menonton The Act of Killing, tentu melihat penampilannya dengan baju Pemuda Pancasila dan berkomentar pedas nan penuh kontroversial. Saya tidak sepakat dengan apa yang tersaji di sana. Tapi, kita harus realistis, balik lagi ke premis yang sudah disajikan di atas, “Memilih yang terbaik dari yang terburuk”.
Ibaratnya sepakbola, Jusuf Kalla ini adalah Ian Rush yang mengawal berkembangnya Robbie Fowler di Liverpool di pertengahan 90-an. Robbie Fowlernya tentu saja adalah Joko Widodo. Tugasnya menjaga jalur dan memberikan pemahaman birokrasi karena ia lebih matang.
Semoga saja bisa jadi tim yang baik. Contoh baik dari Basuki Tjahaja Purnama layak dicontoh. Ia, sebagai orang nomor dua, memosisikan diri jadi bawahan Joko Widodo yang memang pemimpin paling besar sekaligus jadi jagoan utamanya. Semoga Jusuf Kalla bisa seperti itu.
Tahun ini, saya memilih untuk menggunakan hak politik saya. Dengan memilih Joko Widodo. Hari ini cukup membahagiakan. (pelukislangit)
Rumah Benhil
19 Mei 2014
23.15
Tentang harapan besar yang digantungkan
Gambar diambil dari http://www.jkw4p.com
Oh tapi ini sungguh membuat gue ilfil pada si bapak cawapres:
http://m.kompasiana.com/post/read/611353/2/jusuf-kalla-agama-kristen-ada-300-aliran-islam-cuma-satu-kurang-toleran-apa-indonesia.html
Bukan karena Islam atau Kristennya, tapi harapan gue adalah sebagai orang yang akan memimpin bangsa, kok ngomong tanpa dasar fakta.
Reblogged this on K I K I O N U G R A H A.
Saya melihat penampilan JK dalam The Act of Killing sama sekali berbeda. Ya, saya tidak sepakat ketika JK harus berpidato menggunakan atribut ormas. Tapi bagian pidato JK bagi saya tidak menyiratkan dukungannya terhadap aksi premanisme/mendukung tindak tanduk ormas tersebut. Jelas, JK menggaris bawahi kata preman yang diartikan sebagai manusia bebas (free man), “orang yang bekerja diluar pemerintahan, orang swasta yang melaksanakan jalan, orang yang berani mengambil resiko dalam berdagang”, jadi bukan preman dalam defenisi sempit.