Jalanan: Film Subversif tentang Jakarta Tercinta

Jalanan 1

Jalanan adalah film yang sangat subversif menurut saya. Film dokumenter ini merekam bagaimana hidup di Jakarta harus disiasati dengan berjuta akal yang memang melengkapi fitrah manusia sejak kita semua dilahirkan dari rahim alam raya.

Hal-hal yang dianggap sebagai tolok ukur kemapanan atau kesejahteraan sudah tidak lagi menjadi penting ketika menyaksikan Jalanan.

Jakarta adalah milik semua orang. Dia seperti manusia dengan banyak standar yang terlalu sering mengirim mixed signals; kamu merasa kenal baik dengannya tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa tentangnya. Dan itu sangatlah menarik.

Film dokumenter ini bercerita tentang tiga orang pengamen jalanan yang karakternya sangat kuat: Ho, Boni dan Titi. Semuanya adalah orang yang tidak pernah mau menyerah pada kondisi yang ada dalam genggaman. Mereka adalah pekerja keras.

Ho adalah seorang yang sangat positif dan blak-blakan. Ia bisa ngomong seenaknya, tapi tetap mudah dimengerti. Karakternya keras dan sangat merdeka, bahkan ketika keadaan tidak berpihak pada dirinya.

Jalanan 2

Boni cenderung lebih santai. Ia menjalani hidup dengan membuat keadaan jadi lebih mudah. Sangat easy going dan penuh dengan petuah sederhana yang membuat banyak orang bisa mengernyitkan dahi seketika ketika mendengar perkataannya.

Jalanan 5

Sementara Titi adalah perempuan yang memilih untuk memperbaiki kondisi hidup secara konstan. Kendati masalah domestik mendera; punya suami brengsek yang kerjanya memelihara ayam dan menghabiskan uang untuk rokok, keluarga yang sempat malu akan pekerjaannya atau pilihan sulit untuk belajar membaca dan menulis demi ijasah Paket C produk Departemen Pendidikan Nasional.

Seperti sudah disinggung di atas, mereka semua dipersatukan oleh profesi yang sama; pengamen jalanan. Profesi ini, rasanya tidak bisa ditemukan di banyak negara dunia ketiga lain selain Indonesia.

Jalanan menampilkan kisah ketiga orang ini mensiasati sekaligus mengajak penonton melihat sisi sederhana Jakarta yang tidak bercerita tentang betapa megahnya kota ini berdiri. Jakarta di Jalanan digambarkan sebagai taman bermain yang tidak nyaman tapi tetap punya daya cengkeram yang terlalu kuat.

Film ini mengajak kita semua melihat hidup di akar rumput bukan dengan kemasan menjual kesedihan yang bisa dengan mudah menarik perhatian. Jalanan menyajikan kondisi sebenarnya yang seringkali terlewat; satu dari puluhan ribu kehidupan sederhana Jakarta.

Fragmen-fragmen sederhana tentang Tosari, Cipayung, Kampung Melayu, Blok M, Sudirman-Thamrin atau daerah pinggiran Jakarta Timur yang akrab dengan banjir –karena letaknya di bantaran kali— terpapar dengan baik di Jalanan.

Daerah-daerah itu sebenarnya bukanlah daerah terpencil, ia terpetakan dengan baik dalam kehidupan orang Jakarta. Hanya saja, ada banyak detail kecil yang mungkin sekali terlewat sehari-hari. Itu yang membuat orang bisa terhenyak dengan mudah. Ini semacam semuanya terpampang di depan mata, tapi kok tidak pernah terlihat dengan jelas ya?

Fakta-fakta tentang banyak orang yang berusaha untuk memperjuangkan hidup mereka adalah sebuah upaya subversif untuk menyerang penguasa yang memang lebih suka memperhatikan tatanan kehidupan penuh polesan yang bisa jadi tidak terlalu diperlukan orang-orang di Jakarta.

Jalanan 3

Ada banyak tamparan yang berhasil direkam oleh film dokumenter ini. Dan, ia disusun tanpa skrip, tanpa rekayasa adegan –hanya rekayasa penyuntingan yang memang harus dilakukan untuk membuat kisahnya bergulir dengan runutan yang baik— dan tanpa tendensi yang pretensius. Ini hidup yang apa adanya. Bukan hidup yang ada apanya.

Rangkaian gambar gerak di Jalanan menyadarkan saya kembali bahwa memang hidup di Jakarta itu belumlah ok. Baik-baik saja, iya. Tapi belum ok.

Dari sisi personal, Jalanan mengembalikan kesadaran lama yang pernah mengusik saya ketika perjalanan Thamrin-Depok dengan bus kota belum sesesak tahun-tahun belakangan ini. Waktu itu, saya yang masih duduk di bangku SMP, harus menempuh perjalanan pulang dari halte Sarinah menuju rumah di Depok dengan bus Mayasari Bakti. Itu terjadi antara tahun 1996-1998.

Kebiasaan untuk duduk di bus kota dengan rute dan waktu tempuh panjang membuat saya melihat pengamen naik turun. Dan itu menghadirkan beberapa sisi perasaan; ada yang seru karena mereka sangat politikal atau lucu atau perpaduan keduanya, ada yang menyeramkan karena mereka melakukan penyisiran pada penampakan visual saya serta ada yang seadanya karena memang tidak punya kemampuan untuk bermain musik tapi harus cari uang untuk makan.

Pengalaman model begitu, membuat saya bisa menghargai Jakarta apa adanya. Paham dasar bahwa kota ini bukanlah milik mereka yang punya duit saja, tapi milik semua orang yang mau cari duit, –penduduk atau pendatang sama saja— tetap berlaku sampai kapanpun.

Realita itu cukup jadi barang yang mahal. Seringkali kita-kita yang hidup di Jakarta ini merasa bahwa hidup adalah persaingan yang harus dimenangkan. Jalanan, lewat tokoh-tokohnya, mengingatkan sebuah perspektif yang seringkali juga terlupakan: Bahwa manusia dilahirkan merdeka dan bebas melakukan apa yang ingin mereka lakukan, selama bisa bertanggung jawab.

Jalanan 4

Proses mengingatkan itulah yang menurut saya sangat subversif. Kita seolah ditampar untuk kembali menyadari bahwa hidup punya banyak bingkai dan beberapa di antaranya begitu menarik untuk diikuti dan memberikan inspirasi besar.

Ada satu kata-kata Ho yang menurut saya jadi punch line penting sekaligus bagian terbaik film ini. Bunyinya begini:

“Namanya hidup ya harus dihidupkan.”

Pengalaman nonton Jalanan saya sangatlah menyenangkan. Tidak percuma menunggu kurang lebih setahun setelah menyaksikan spin offnya –yang bercerita tentang Titi seorang diri—, Street Ballad.

Jalanan akan beredar luas 10 April 2014, untuk tahap pertama akan dimainkan di XXI Plasa Senayan, 21 Blok M Square dan Blitz Megaplex Grand Indonesia. Karena film ini mungkin tidak akan bertahan lama di bioskop, pastikan kamu meluangkan waktu untuk nonton di tiga hari pertama pemutarannya. Supaya tidak kelewatan. (pelukislangit)

Rumah Benhil, 29 Maret 2014
12.47

*) Semua foto dicuri dari internet kecuali foto keempat.

Trailer Jalanan bisa dilihat di:

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: