“Buatlah hari ini, jangan kau tunda-tunda lagi..”
(Shaggydog – Ditato)
Tahun 2013 ini, saya pertama kali punya tato. Buat saya, punya tato itu berarti menang melawan sebuah pertandingan besar yang sudah berlangsung lebih dari dua puluh tahun; pertandingan melawan rasa takut akan jarum.
Saya takut jarum. Ambil darah saja, takutnya minta ampun. Joke standarnya, “Ah, badan gede kok takut sama jarum?”
Padahal, jarum itu jahanamnya luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan benda itu masuk ke dalam tubuh saya lama dan benci sekali akan rasa sakit yang ditimbulkan olehnya. Tapi, saya selalu ingin punya tato. Gimana dong?
Untuk punya tato, tentu saja harus memberanikan diri untuk dirajah secara konstan oleh si jarum. Nah, persoalan itu yang terus menerus menggelayut beberapa tahun terakhir ini. Saya ingin punya sebuah tato, tapi saya harus berani mengalahkan rasa takut ini terlebih dulu.
Akhirnya, seminggu setelah ulang tahun yang ke-30, saya memberanikan diri untuk membuat tato pertama saya.
Sejak beberapa tahun terakhir, saya selalu ingin menuliskan nama keluarga saya dalam aksara hindi di tangan kiri saja. Penjelasannya kurang lebih seperti ini:
Nama Keluarga – Di keluarga ayah saya, pewaris nama keluarga Dass hanya ada dua orang; saya dan Dylan, si adik kecil. Saudara ayah, tidak ada yang memiliki keturunan laki-laki. Jadi, kamilah yang bisa meneruskan nama itu. Celakanya, di akta kelahiran kami, tidak ada nama Dass terpampang di sana karena berbagai macam alasan. Saya ingin mengabadikan nama itu di badan saya, ide dasarnya seperti itu. Tadinya sempat berbincang dengan sepupu saya yang tinggal di Kolkata untuk menggunakan aksara bengali, suku asal kakek kami. Tapi dari segi estetika, aksara hindi lebih baik visualisasinya ketimbang aksara bengali.
Posisi di Lengan Kiri – Saya selalu merasa bahwa saya lebih suka sisi kiri ketimbang kanan. Semua pilihan sejak kecil, selalu berbeda dengan kebanyakan orang; saya memilih bermain bola dengan kaki kiri ketimbang kaki kanan, saya lebih suka menghabiskan waktu ke toko cd ketimbang nangkring buang-buang duit di mall ketika kecil, meninggalkan kuliah karena merasa ia tidak cocok ketimbang melanjutkannya dan membohongi diri sendiri atau membiarkan rambut gondrong terurai di dalam beberapa periode. Saya berani untuk jadi orang yang berbeda. Dan di budaya Indonesia, tempat saya dibesarkan, kiri adalah simbol minoritas kalau dibandingkan dengan sisi kanan yang seringkali dianggap lebih baik dan sopan. Pilihan lengan kiri adalah manifestasi keinginan ini.
Tentunya, karena sudah tahu mau seperti apa, segala sesuatunya jadi lebih mudah. Saya memberanikan diri untuk membuat janji dengan Unboundkill dari Lawless Tattoo untuk membuat tato.
Keringat dingin muncul ketika Unboundkill memanaskan mesin tatonya. Di seberang, ada seorang yang badannya lebih besar ketimbang saya dan nampaknya dia santai saja. Pandangan itu membuat saya bisa lebih santai ternyata.
Benar saja, ketika jarumnya mulai masuk ke tangan saya, ternyata rasanya tidak sesakit yang dibayangkan. Mungkin karena memang secara nyata, jarum itu tidak masuk ke dalam daging, hanya main-main di permukaan saja.
Lalu, saya jadi orang paling sombong sedunia dengan berpikir, “Ah, cuma segini doang nih?”
Seperti yang bisa dilihat di gambar-gambar halaman ini, saya tidak punya tato yang njlimet desainnya. Karena memang ingin sebuah kesederhanaan untuk awalan. Tato pertama ini adalah simbol perlawanan terhadap diri sendiri. Dan saya menang.
Mungkin, di masa yang akan datang, akan ada tato-tato yang lain. Tapi menggambar nama keluarga di badan sebagai titik kick off adalah sebuah pilihan terbaik yang bisa diambil.
Kemenangan ini, adalah salah satu sedikit hal baik yang terjadi tahun ini. (pelukislangit)
Rumah Kalibata
30 Desember 2013
10.54
congrats mas Felix. cakep tatonya. 🙂
Makasih, koh.