Kembali Lagi ke Ubud

Buat saya, Ubud adalah salah satu tempat paling indah di dunia ini. Ia meninggalkan kesan baik di dalam pikiran dan ingatan saya.

Ada satu janji yang selalu berusaha saya tepati: Liburan sekali setiap tiga bulan. Melihat jadwal di sisa tahun 2013 ini, rasanya saya tidak akan punya waktu untuk liburan lagi. Ada satu urusan pekerjaan dan sejumlah agenda pribadi yang memang tidak bisa ditawar. Saya harus ada di Jakarta ketika musim liburan tiba.

IMG_3996 (Large)

2013 adalah tahun yang ingin segera saya lewati. Tahun ini, penting. Ada banyak cerita dengan berbagai macam wajah yang mampir. Tapi, kebanyakan fragmennya berlatar belakang kehilangan. Saya paham bahwa segala sesuatunya harus dihadapi. Jadi, mari segera berlari menuju bagian akhir tahun dan memulai lembaran baru.

Namun bagaimanapun, ada kalanya saya harus berhenti dan menemukan sedikit ruang untuk diri sendiri. Seperti biasanya. Tidak banyak yang mengetahui bahwa saya selalu melakukan solo trip secara reguler dalam suatu kurun waktu tertentu. Sudah beberapa tujuan saya datangi.

Nah, akhir bulan November 2013 kemarin, saya ditugasi oleh kantor untuk melakukan sejumlah pekerjaan di Bali. Setelah cek jadwal dan beban kerjaan lainnya, akhirnya saya memutuskan untuk menambah dua hari libur di Bali selepas pekerjaan utama dijalankan. Untungnya, saya dapat pengganti libur untuk pekerjaan yang terjadi di akhir pekan. Jadi, bisa sekalian.

Total perjalanan saya adalah enam hari. Tiga hari dua malam terakhir dihabiskan untuk diri sendiri dan berlibur. Ubud adalah pilihan utama.

IMG_3953 (Large)

Di kantor saya, yang namanya perjalanan bisnis, biasanya dilengkapi dengan standar yang sangat baik. Ada kamar yang bagus, transportasi yang terjamin dan suplai makanan yang cukup. Tapi jam kerjanya gila. Jadilah, saya harus pintar-pintar mencuri waktu juga.

Di awal perjalanan, saya memutuskan untuk bertemu dengan seorang teman baru. Ia anak Jakarta yang pindah ke Bali untuk mencoba peruntungan. Rasanya ada banyak kasus seperti ini, tapi mereka yang bermigrasi ke Bali, cenderung lupa kampung halaman. Sangat bisa dimengerti karena memang aura pulau ini luar biasa magis; bisa mengubah pendirian dengan mudah dan tanpa pikir panjang. Nah, orang ini ternyata sisi sebaliknya. Ia tidak berpikir bahwa Bali akan jadi rumah permanen. Ia sadar, bahwa ia hanya jadi pengunjung.

IMG_3485 (Large)

Kami menghabiskan beberapa jam untuk ngobrol ngalor-ngidul. Tipe obrolan yang kalau diminta untuk diceritakan ulang, pasti sulit untuk dilakukan.

Orang ini, ternyata kangen sama Jakarta. Ia, mungkin, merasa bahwa Bali hanya akan jadi persinggahan untuk sementara. Jakarta, bagaimanapun juga adalah definisi rumah; kota yang akan selalu dirindukan karena sekian banyak dramanya. Saya sepakat dengan dia.

photo 6

Pembicaran kami berlangsung di sebuah restoran makan babi yang enak, konon jadi salah satu persinggahan untuk orang-orang Jakarta seperti saya yang sedang berkunjung ke pulau itu. Makanannya memang enak dan lumayan ramah di kantong.

IMG_3419 (Large)

Yang tidak enak adalah ketika ia harus mengantarkan saya kembali ke hotel dan melewati daerah yang mungkin punya status paling laknat di Bali, Kuta. Saya baru merasakan bahwa daerah ini kelewatan ramainya. Jalan kaki, kemudian setelah beberapa hari menghabiskan waktu di kawasan ini, adalah pilihan yang paling baik. Saya tidak menyukainya.

IMG_3571 (Large)

Itu juga membuktikan bahwa pilihan saya untuk berkunjung ke Ubud di ujung perjalanan kemarin itu jadi pilihan yang cocok. Singkat cerita, pekerjaaan berlangsung, Liverpool ditahan seri oleh Everton, konsumsi minuman keras saya jadi lebih banyak, waktu berlalu dan tibalah Ubud di depan mata.

Saya pindah daerah dengan menggunakan bus Perama yang ekonomis. Hanya kena IDR 80,000 untuk perjalanan round trip ke Ubud dari Kuta dan langsung ke bandara dari Ubud beberapa hari kemudian.

IMG_3965 (Large)

Rasanya, tidak perlu cerita banyak tentang rangkaian geografis Ubud. Ada banyak sumber yang rasanya lebih bisa menceritakannya dengan komprehensif ketimbang saya. Tapi, Ubud punya cerita masing-masing.

IMG_3892 (Large)

Kali ini, saya membiarkan paham lama saya masuk; Rencana paling baik adalah tidak punya rencana. Saya hanya ingin berjalan kaki sejauh mungkin, menantang diri sendiri dan berdamai dengan kehidupan barang sejenak. Rasa bosan akan kota besar waktu itu datang dan saya paham bahwa saya harus mengambil jeda.

Rencana paling baik adalah tidak punya rencana itu membawa saya berpetualang. Kunjungan saya sebelumnya membuat saya bisa lebih mudah memetakan kota kecil itu. Di pagi hari berikutnya, saya memutuskan untuk jalan kaki.

photo 5

Oh ya, malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, saya bisa tidur lebih dari sembilan jam. Harus masuk catatan karena awalan kunjungan ke Ubud kali ini sudah membahagiakan.

Jalan kaki hari itu, setelah melewati riset singkat, akan sangat panjang. Saya memutuskan untuk menjalani trek Campuhan Ridge Walks atau Bukit Cinta untuk kemudian masuk ke desa-desa penduduk dan jalan terus mengikuti intuisi menemukan jalan raya dan kembali ke pusat kota. Total, hari itu saya jalan sekitar sepuluh kilometer.

photo 1

Terakhir kali kejadian itu terjadi adalah tahun 2009 yang lalu. Tempatnya Simla di utara India. Jadi, saya sudah tidak melakukan hal seperti ini selama kurang lebih empat tahun. Ini yang saya sebut petualangan, keadaan di mana kita bisa menantang diri sendiri melakukan sesuatu yang tidak biasa dan ada di luar batas reguler yang dipancang.

IMG_3884 (Large)

IMG_3893 (Large)

Saya jalan selama lebih kurang empat jam. Bertemu dan bertegur sapa dengan banyak orang, menikmati wifi tengah sawah yang lumayan bisa diandalkan untuk sekedar memamerkan pemandangan yang saya temukan.

Anak kota ini kegirangan. Karena apa yang ia cari berhasil ditemukan.

photo 3

photo 4

Saya juga memutuskan untuk mengontak teman lama saya yang kebetulan tinggal di dekat kota itu. Awalnya, mungkin hanya untuk melepas kangen karena sudah terlalu lama kami tidak bertemu. Mungkin lebih dari tujuh tahun. Tapi kemudian, pertemuan dengannya membawa pengalaman baru lagi.

IMG_3880 (Large)

Ia membawa saya ke sebuah hostel di pedalaman Ubud. Pengelolanya adalah seorang Finlandia yang menghabiskan banyak waktu di Estonia. Ia ibu tunggal yang hidup dengan pacarnya yang memutar berulang sejumlah lagu Shaggydog sembari membiarkan hujan memberikan kesejukkan yang sedikit terlalu dingin untuk saya malam itu.

photo 2

Saya dan si teman itu juga menembus hujan dan kemudian membiarkan baju kami basah. Obrolan sore hari bersama si pemilik hostel membuat saya menyadari (lagi) bahwa kedamaian memang jadi spesialisasi Ubud.

photo 7

Si pemilik hostel bercerita tentang tempat yang ia kelola. Bagaimana ia membiarkan semua orang yang datang dan pergi meninggalkan kesan, bertukar cerita dan saling membagi kemurahan satu sama lain. Tempatnya sangat komunal. Tanpa pintu yang membatasi orang yang keluar masuk atau ruang lemari untuk menyembunyikan barang-barang berharga. Benar-benar seru dan membutuhkan kepercayaan (serta kesederhanaan) tingkat tinggi.

Mungkin satu hari nanti saya harus menginap di sini.

IMG_3879 (Large)

Teman saya juga mengajak makan iga babi di tengah sawah yang lumayan terpencil. Harganya masih lumayan bersahabat ketimbang iga babi yang terkenal dari Ubud itu.

Saya berakhir dengan baju basah dan sepatu demek dihajar hujan seharian. Tapi, pengalaman hari itu benar-benar berharga. Senang rasanya membiarkan ponsel mati dan tidak punya daya untuk diisi baterenya. Atau kemudian bertukar cerita dengan banyak orang dan bicara ngalor-ngidul.

Lagi-lagi, kalau ditanya membahas apa saja, saya tidak bisa mengulanginya. Persis seperti pembicaraan menyenangkan dengan teman di bagian sebelumnya tadi.

Ngomong-ngomong rangkaian pembicaraan, sejujurnya menyenangkan kembali bisa menempatkan diri dalam posisi lupa waktu untuk terus menerus bertukar kata dengan lawan bicara. Walaupun ternyata mengeluarkan banyak energi, tapi kisah yang didapat dan spirit yang tersisa kok jauh lebih banyak ya?

IMG_3997 (Large)

Beberapa pembicaraan yang saya lakukan di perjalanan kali ini menyenangkan semuanya.

Ubud di hari berikut memberikan pengalaman yang tidak kalah seru. Saya mengarahkan perjalanan ke arah Tegallalang. Tadinya mau nekat ke Kintamani. Tapi karena hanya tinggal punya singlet dan harus pulang ke Jakarta tengah malamnya, jadi sedikit kendor juga.

IMG_3998 (Large)

Hujan menyergap hari itu. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain melamum, makan babi dan minum bir. Kesempatan untuk melamun itu menghasilkan sejumlah ide baru untuk hidup. Mungkin bisa diwujudkan tahun depan.

Tiga hari dua malam rasanya lumayan pendek. Saya percaya bahwa saya punya ketergantungan sama kota ini sehingga kemudian harus secara reguler kembali ke sini.

IMG_3936 (Large)

Rencana paling baik memang tidak punya rencana. Itu berhasil lagi. Dan kembali jadi orang yang lebih segar dan hidup bergulir terus. Terima kasih, Ubud. Tidak sabar untuk bisa kembali lagi ke sana. (pelukislangit)

9 Desember 2013
Kantor Dharmawangsa
Ketika menghibur diri sendiri, 21:26

IMG_3962 (Large)

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

4 thoughts on “Kembali Lagi ke Ubud

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: