Waktu sedang menguji saya. Jakarta sedang punya break panjang, total 4 hari. Sementara, hidup tetap bergulir dan dengan sendirinya kota ini mengendurkan tekanan pada penghuninya. Jalanan agak lowong. Banyak orang memilih untuk diam di rumah mereka dan merayakan kesunyian yang sementara ini, sebelum besok bertempur lagi dengan kerasnya jalanan dan rutinitas harian.
Di dalam kasus saya, durasinya jadi 5 hari. Hari Jumat yang lalu, saya sudah mengambil cuti terlebih dahulu dari kantor. Hitung-hitung, saya membayar kepadatan yang datang minggu sebelumnya di mana tugas kantor membawa saya berkeliling ke dua kota dan tentunya tetap melewatkan beberapa hari sisanya di spot saya di Jakarta. “I’ve had a bit too much,” ucap saya dalam hati.
Entah mengapa, saya tidak memilih untuk pergi agak jauh. Ada banyak faktor; uang cekak, bingung mau pergi ke mana dan kewajiban yang harus dibayar sama si ibu yang sudah terlalu kangen sama anaknya ini. Jadi, rencananya adalah membiarkan diri duduk di rumahnya di Depok dan melewatkan waktu berjalan begitu saja.
Diam di rumah membuat saya punya banyak mau. Ada banyak kenangan lama yang memanggil-manggil. Beberapa potongan hari-hari saya pulang dari Bandung, lalu sejumlah memorabilia masa lalu yang kembali terekam di kepala serta obrolan-obrolan gosip tidak penting dengan si empunya rumah.
Adik saya tercinta –yang juga kadang tinggal di rumah ini— sedang melanglang buana ke Nusa Tenggara Timur di mana ia telah menghabiskan beberapa minggu bergumul dengan pekerjaannya serta kembali membuat iri dengan prestasinya melihat tempat baru lebih dulu dari saya. Jadi, hanya ada saya dan si ibu.
Yang tidak boleh dilewatkan adalah memesan makanan khusus. Karena kedua anaknya sudah keluar dari rumah, ibu saya ini lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan melarutkan diri pada pelayanan gereja yang kadang-kadang jadi agenda utama ketika akhir pekan tiba. Malah kalau kami pulang, ia jadi sibuk di hari Minggu. Contohnya kemarin ini.
Sewaktu saya pulang di Minggu siang, ia bilang pada saya, “Mama nggak masak ya. Besok aja. Sekarang banyak agenda di gereja.” Saya mengalah dan memilih untuk makan di luar. Apa boleh buat?
Tapi ketika Senin datang, muncullah langsung permintaan menu makanan kepadanya. Maklum, sudah lama tidak jadi anak mama. Ibu saya ini masakannya boleh juga. Dan, karena ia ibu saya, sudah barang tentu ia mengerti apa kesukaan saya. Saya meminta dimasakkan oseng-oseng tempe dan ia menawarkan sayur tauge. Saya mengiyakan dan kemudian ia menambahkan menu dengan peyek teri kesukaan saya dan balado Cakalang yang sederhana tapi enak.
Makan makanan rumah inilah yang sudah lama tidak saya rasakan. Berdiri di sebelah meja makan untuk kemudian melihat pilihan menu yang tersaji dan mengambilnya adalah sebuah kemewahan yang tidak sering muncul di dalam hidup belakangan ini.
Ada di rumah juga berarti punya banyak waktu luang. Karena jumlahnya banyak, jadilah saya mengubek-ubek banyak hal seru yang ada di gudang rumah. Salah satunya adalah membuka kembali sejumlah kardus buku yang belum pernah saya buka kembali sejak saya pindah dari Bandung tahun 2008 yang lalu.
Beberapa kardus tidak pernah disentuh lebih dari lima tahun. Saya mencari sejumlah buku lama yang muncul di dalam perbincangan akhir pekan dan seru rasanya bisa menengok mereka lagi dan membaca ulang beberapa bagiannya. Buku tidak pernah kehilangan pesonanya. Di sela-sela proses membuka ulang kardus-kardus ini, muncul pula sejumlah buku yang tidak diperhitungkan. Lucu rasanya menemukan catatan-catatan kecil tentang kapan buku ini dibeli.
Ada buku Aku Ingin Jadi Peluru-nya Wiji Thukul yang dibeli di Jogjakarta tahun 2001 yang lalu. Belinya waktu itu dengan mantan pacar SMA di dalam sebuah perjalanan bersama kami ke kota itu. Atau ada buku Menolak Tunduk-nya Budiman Sudjatmiko yang dibeli tahun 1999 untuk kemudian dibaca habis dalam sebuah sesi menunggu adik di pelataran SMP Tarakanita I, Kebayoran Baru.
Buku-buku itu merekam banyak hal dan saya sangat menikmati untuk sejenak kembali ke memori-memori itu. Rasanya, inilah bagian terbaik dari diam di rumah dan menggunakan mesin waktu untuk kembali ke beberapa bagian masa lalu itu.
Lalu bagian yang juga keren mampir kemudian ketika saya selesai mengikat sepatu saya di ruang makan si ibu. Saya membuka kotak baju lama yang sekarang disusun di salah satu bagian ruang makan di belakang rumah.
Di kotak paling atas, tersusun banyak syal lawas milik si ibu. Tapi ada satu benda penting yang seketika langsung saya ambil; seragam tim sepakbola sekolah SMP Santa Theresia. Seragam itu saya gunakan di kelas tiga, kami memainkan sejumlah pertandingan dengan baju itu. Saya dulu kapten tim sekolah, memainkan sepakbola dalam tiga fungsi; kadang jadi bek kiri, bek tengah dan/ atau juga striker.
“Wah, ini sih nggak bener nih. Jadi nostalgia beneran,” ucap saya dalam hati. Seragam itu bernomor 17, sesuatu yang terus menerus saya pakai sepanjang kiprah saya sebagai atlet sekolahan. Well, hanya sekali rasanya saya punya nomor yang bukan 17, sewaktu bermain di Kolese Gonzaga di sebuah eksebisi.
Waktu itu saya kepincut sama Gianfranco Zola yang bernomor 25 di Chelsea. Dan karena, itu bukan pertandingan resmi, maka saya memilih nomor yang di luar kebiasaan. Tapi selebihnya, saya selalu memilih nomor punggung 17.
Rasanya, terlalu banyak senyum terbuang di rumah ibu beberapa hari belakangan ini. Senang rasanya bisa kembali ke sana dan mengingat-ingat beberapa adegan seru yang pernah terjadi. Rasanya juga, ini harus dilakukan lebih sering.
Setelah ini, kembali waktu sedang menguji saya: Apakah niat ini bisa diwujudkan di masa yang akan datang?
Oh tertinggal, rumah itu juga membuat saya menulis sejumlah tulisan yang sifatnya tidak profesional; Tulisan yang memang ditulis untuk memenuhi kebutuhan menulis tanpa harus memikirkan opini editor atau transferan honorarium yang masuk ke rekening beberapa minggu setelahnya. Long weekend saya berjalan dengan sangat menyenangkan. I am a happy guy. (pelukislangit)
1/15 Coffee.
15 Oktober 2013.
15.49
Itu di kardus di gudang ada cd Glenn selamat pagi dunia & Woodstock ga ye?