Boneknya Persebaya Surabaya dalam Kemasan Akademisi yang Jelek

Sesungguhnya, menemukan buku tentang sepakbola lokal, adalah sebuah pencapaian tersendiri untuk mengisi pengalaman saya keluar masuk toko buku. Sejak kecil, lingkungan saya memosisikan toko buku sebagai tempat untuk berekreasi, apapun subyek buku yang dicari. Jadi, sampai saat ini, tempat ia berada ada di posisi yang sama dengan toko cd atau toko olahraga.

Jadilah, Jumat malam kemarin saya masuk ke Gramedia di Grand Indonesia. Salah satu gerai Gramedia yang paling saya suka karena tadinya mereka menyediakan coffee shop yang punya pemandangan luar biasa –karena bisa langsung melihat ke Bundaran HI—. Tadinya? Ya, sekarang coffee shop di lantai tiga itu sudah kandas. Entah apa alasan pastinya. Gramedia sudah tidak lagi punya ruang dua lantai di mall itu. Sekarang hanya tinggal satu lantai.

Anyway, alasan saya masuk ke Gramedia adalah membeli soundtrack Perahu Kertas. Tapi di rak best seller, saya menemukan buku tentang Bonek, akronim dari Bondo Nekat (Frase dalam Bahasa Jawa yang artinya modal nekat, dalam Bahasa Indonesia). Bonek adalah salah satu kelompok suporter paling besar di negara ini. Beberapa waktu sebelumnya, informasi tentang keberadaan buku ini masuk ke dalam hidup saya via Twitter. Singkat kata, tanpa banyak pertimbangan, saya juga membeli buku ini.

Sesampainya di rumah, tanpa ganti baju, tanpa melepaskan kaos kaki dan segenap ritual beres-beres lainnya, saya langsung membuka segel plastik buku ini dan mulai membacanya.

Biasanya, fase membaca saya dimulai dengan halaman belakang yang berisi quote orang lalu membaca profil penulisnya untuk kemudian memulai dengan kata pengantar. Penjelasan penulis di kata pengantar sudah bisa membawa intuisi saya berpikir secara instan: Buku ini pasti ditulis oleh akademisi.

“Wah, nilainya pasti lebih nih,” pikir saya dalam hati. “Akademisi mau menulis tentang sepakbola lokal?” tanya saya lagi. Ini awalan yang bagus, menurut saya. Mungkin sama halnya tentang akademisi menulis musik –walaupun kalau gayanya diulang-ulang jadinya membosankan—. Semua hal bisa menjadi topik yang serius. Semua hal bisa dikaji dengan baik, kalau memang mau. Jadi, mau topiknya ringan atau berat, sebenarnya bisa diperlakukan dengan pilihan yang manapun. Balik lagi, semuanya tergantung penulis.

Sebelum lebih jauh, sebaiknya saya jabarkan dulu ekspektasi apa yang saya inginkan dari buku ini. Membaca judul yang sederhana seperti ini: Bonek – Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia, pikiran saya langsung mengembara ke ranah di mana cerita tentang Bonek dirajut; bagaimana ia terbentuk, apakah stigma buruk yang selama ini erat melekat itu benar adanya, bagaimana cerita tur away mereka jauh dari Surabaya rumah mereka dan masih banyak hal sederhana yang terjadi di level akar rumput lainnya.

Sepakbola lokal adalah teman baik saya. Saya pendukung Persipura Jayapura, tapi selalu menarik untuk melihat fenomena yang ada di kelompok suporter yang lain. Seorang teman baik yang kebetulan pernah menjadi korlap (akronim dari koordinator lapangan) The Jak bahkan pernah bercerita bagaimana ia mengawal anak buahnya dari daerah rumah sampai dengan stadion, termasuk bagaimana proses mendapatkan tiket suporter dan mengorganisir away days mereka.

Waktu tinggal di Bandung dulu, saya sempat ada di kelompok main bola yang sama dengan Herru Joko, pentolan kelompok suporter Viking yang kalau jalan sebentar saja, sudah disapa orang lokal saking terkenalnya. Saya juga berteman dan melihat proses tumbuhnya Budi Bram, ketua panitia pelaksana Persib Bandung sekarang ini, karena dulu kami ada di scene musik yang sama.

Saya, karena urusan pekerjaan, juga berurusan dengan dua tim terbesar di Indonesia. Begitu juga dengan adegan mencuri waktu pergi ke Sidoarjo menonton Persipura Jayapura yang sedang akan memastikan gelar juara –walaupun kali itu gagal terjadi di Sidoarjo—liga di tengah pekerjaan kantor di Surabaya.

Singkatnya: Topik sepakbola nasional ini saya pahami betul. Saya tahu dengan baik gambarannya seperti apa, tindak-tanduknya seperti apa.

Jadi, ketika ada menu berbahan dasar Bonek di atas meja, sudah barang tentu saya tertarik. Makanya harapannya sudah diatur untuk agak sedikit tinggi. Pertama, karena memang rasanya belum ada buku yang membahas kelompok suporter secara spesifik. Kedua, karena memang Bonek itu menarik, militansi mereka papan atas dan fanatismenya luar biasa. Ketiga, Bonek jadi subyek hangat di dalam proyek saya bulan Juli lalu di Surabaya. Keempat, saya ingin tahu bagaimana sebenarnya mereka berjalan di dalam aktivitas harian karena saya –jujur— tidak suka Persebaya Surabaya dalam hal preferensi sepakbola.

Cukup untuk intro panjangnya. Saya mengikuti gaya penulisan ilmiah yang punya banyak latar belakang, walaupun tentu saja saya kurang punya kemampuan menulis ilmiah dah cenderung mendengarkan hati ketimbang melampirkan catatan kaki bejibun yang malah bikin pusing orang yang membacanya.

Buku ini mengawali cerita dengan bercerita panjang lebar tentang sejarah kekerasan di sepakbola. Mengambil obyek penelitian Tragedi Heysel yang berpihak pada penjelasan penjahatnya suporter Liverpool. Tentu saja selalu ada dua sisi mata uang yang bisa dijadikan kajian. Tidak masalah untuk ini.

Penulis juga memotret peran pemerintah Inggris lewat berbagai macam kaki tangannya untuk membuat sepakbola mereka lebih baik.

Tapi sayang ada beberapa fakta melenceng: Penulisan Margaret Thatcher yang berantakan, lalu larangan tampil untuk klub Inggris yang sedikit salah (seluruh klub Inggris dilarang tampil di Eropa karena Tragedi Heysel selama lima tahun, sementara Liverpool sembilan tahun tapi hanya menjalani hukuman enam tahun saja), korban Tragedi Heysel (penulis menyebutkan semua korban adalah pendukung Juventus, padahal ada enam pendukung Liverpool kehilangan nyawanya di pertandingan itu).

Maksudnya baik, menggambarkan sejarah hooligansime yang memang marak di Eropa lalu kemudian menyangkutpautkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia pada masa yang sama. Tapi rasanya jadi tidak maksimal.

Penulis mengambil Inggris sebagai ladang penelitiannya. Tapi, dia tidak mengambil contoh, misalnya, Milwall FC yang secara tradisional dikenal sebagai biang keroknya hooliganisme di Inggris. Contoh yang diambil adalah Liverpool dan Manchester United yang populer di Indonesia. Padahal, di era itu, Manchester United belum jadi sebesar sekarang.

Bagian ini, benang merahnya satu: Risetnya tidak tepat.

Lalu kemudian buku ini membawa saya jalan ke kisah awal terbentuknya Bonek. Ini menarik, sebenarnya. Campur tangan media lokal, Jawa Pos, digambarkan begitu besar pada proses ini. Salah satu faktor pendorongnya adalah bahwa beberapa awak Jawa Pos adalah penggemar Persebaya Surabaya itu sendiri. Lalu Dahlan Iskan, pentolan Jawa Pos, menyaksikan langsung perilaku penggemar Chelsea di London yang menurutnya bisa diadopsi kepada penggemar Persebaya. Terutama untuk bagian marching menuju stadion.

Intinya, peran media besar untuk memperkenalkan konsep “Tret, tret, tret” yang bisa diterjemahkan sebagai rangkaian away days awal penggemar Persebaya Surabaya. Kemudian juga punya nama khusus Bonek.

Nama Bonek ini dijelaskan dengan penjelasan yang sangat empiris dan mudah diterima. Begitu juga diferensiasinya dengan banyak penggemar klub lain yang mulai terbentuk nyaris satu dekade kemudian di pertengahan 90-an.

Saya mendapatkan informasi penting tentang sejarah terbentuknya Bonek. Sesuatu yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Jadi, ada poin plus di sini. “Langit cerah datang,” pikir saya dalam hati lagi. Setelah awalan yang buruk, sudah sepantasnya buku ini memberikan harapan ketika penjelasan dasar tentang apa itu Bonek menemui ekspektasi saya.

Tapi, seiring berjalannya kisah membaca saya, harapan itu ternyata palsu. Penulis mengulang-ulang apa yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Setidaknya ada empat kali Tragedi Heysel yang jadi sumber bencana bagi sepakbola Inggris diulas dengan penjelasan yang sama, lengkap dengan kehadiran sosok Margaret Thatcher –atau Margaret Teacher menurut penulis— dan peranannya.

Begitu juga dengan pengulangan bagian Dahlan Iskan yang mengambil inspirasi dari penggemar Chelsea atau asal muasal konsep “Tret, tret, tret”. Repetisi ada di mana-mana. Dan itu tidak menyenangkan untuk dibaca.

Gaya penulisan yang terlalu ilmiah juga membuat kening saya mengernyit sekaligus bertanya, “Apakah buku ini akan diterima dengan baik oleh pembacanya?”

Rasanya ada banyak orang yang sama seperti saya. Konsep sepakbola itu menyenangkan; rekreasional, penuh fanatisme kedaerah, aksi-aksi heroik dan mengajarkan fair play yang bisa diadopsi dengan mudah oleh hidup sehari-hari. Tapi penulis memilih untuk menggunakan gayanya yang sangat akademisi –belakangan saya diinformasikan oleh salah satu follower di Twitter bahwa si penulis ini dosen—ketimbang gaya populis untuk membuat buku ini bisa diterima oleh orang yang lebih banyak kuantitasnya. Sayang, seribu sayang.

Membaca tentang Bonek, tidak perlu catatan kaki yang diambil dari berbagai macam literatur asing yang kesannya njelimet. Saya punya beberapa referensi bacaan dengan topik sepakbola, kebanyakan tentang Liverpool, tapi semuanya enak untuk dibaca. Kaya akan data juga, kaya akan rekaman sejarah, tapi tidak perlu melampirkan catatan kaki.

Saya menempatkan bacaan model begini sebagai teman menjelang tidur, teman mengisi kekosongan di perjalanan atau teman ketika liburan. Tapi, dengan pengemasan yang seperti ini, tentu saja saya tidak akan merekomendasikan buku ini kepada teman yang punya ketertarikan yang sama.

Bonek yang hebat itu, tidak perlu dibingkai dengan kacamata akademis yang malah membuat sosok komunitasnya tidak terjangkau oleh orang banyak.

Kenapa, misalnya, tidak membahas bagaimana korwil-korwil terbentuk. Bagaimana, secara detail digambarkan demografis orangnya seperti apa. Atau bagaimana kekonyolan mereka di jalanan demi mendukung Persebaya Surabaya.

Kalau boleh mengambil perbandingan –maafkan saya, penggemar Persebaya Surabaya—, apa yang disajikan oleh pembuat film Andi Bachtiar Yusuf ketika memotret sosok Yuli Soempil, dirigen Aremania lewat film The Conductors itu sangat sederhana. Pesan yang ingin disampaikan dalam usaha itu terkirim dengan baik. Itu yang tidak saya dapatkan dari buku ini.

Saya menyelesaikan buku ini dalam dua jam. Bukan karena bukunya menarik, tapi lebih ke bagaimana akhiran buku ini. Bagian terakhir diberi judul “Penutup”. “Wah, makin gila nih lama-lama,” pikir saya lagi. Seperti baca skripsi rasanya.

Tentu saja, bukan kesan itu yang ingin saya cari dari buku ini. Saya kecewa. Tapi lebih kepada bagaimana kemampuan penulis untuk membungkus apa yang ada di dalam pikirannya.

Sejujurnya, senang menyaksikan bahwa sepakbola lokal sudah punya tempat di rak toko buku. Semoga akan ada lebih banyak buku-buku seperti ini di pasaran ke depannya. Dan, saya siap membaca.

Terakhir –mengadopsi konsep “Penutup” tadi—, saya tidak merekomendasikan buku ini. Bonek layak diperlakukan lebih baik dari penjabaran yang ada di dalam buku ini. Saya sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri potensi yang mereka punya. Buku ini terlalu dangkal dan kerdil. Sekali lagi, sayang seribu sayang. (pelukislangit)

 
Sabtu, 25 Agustus 2012
Rumah Kalibata, 11.31 AM
Kecewa yang masih ada walaupun sudah dibawa tidur, berarti kecewa yang benar-benar kecewa.

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

15 thoughts on “Boneknya Persebaya Surabaya dalam Kemasan Akademisi yang Jelek

    1. Hai Mas Aga. Maaf baru respon. Saya tidak menyebarkan sikap kebencian kok. Saya paham dengan jelas dan kagum tentang beberapa hal yang dimiliki oleh Bonek. Saya pernah kerja dekat dengan mereka dan punya respek yang besar.

      Dan simak rangkaian kalimat terakhir saya. Saya bilang, “Terakhir –mengadopsi konsep “Penutup” tadi—, saya tidak merekomendasikan buku ini. Bonek layak diperlakukan lebih baik dari penjabaran yang ada di dalam buku ini. Saya sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri potensi yang mereka punya. Buku ini terlalu dangkal dan kerdil. Sekali lagi, sayang seribu sayang.”

      Semoga bisa dipahami betul dan dibaca menyeluruh tulisan ini, Mas Aga. Salam.

      1. Penyakit dari penulis lokal akhir-akhir ini adalah cukup puas dengan hanya mengandalkan riset dari google, dengan berbagai alasan (dalam konteks ini penulis dan penerbit hanya membayangkan penjualan dilihat dari massa bonek yang besar dan loyal) . padahal banyak source yang perlu diverifikasi lagi kebenarannya.. Immersion Journalism menurut saya teknik yang paling keren untuk meneliti kultur fans sepakbola. dimana si penulis juga harus merasakan diri sebagai bonek untuk tahu apa itu bonek, dimana subjektivitas bakal sangat mempengaruhi hasil akhirnya, tapi saya yakin tulisannya bakalan lebih menggigit. bukan hanya tulisan tanpa jiwa dari “sekedar” googling comot sana sini ..

  1. Dengan adanya buku itu.. Setidaknya apa yg ada dalam ‘big question mark’ di kepala anda sedikit terkurangi..
    Bonek adalah panggilan hati..bukan dibentuk atau sengaja utk diciptakan..bahkan lahirnya nama ‘BONEK’ pun tidak ada yg berani mengklaim kpn..
    BONEK jg bukan public enemy seperti yg anda sangka..kita hanya suporter..karakter arek suroboyo yg keras membalut kita..yang membuat kita berani menempuh segala resiko demi persebaya yang kita sayangi..tapi jangan dikira kita brutal..kita brutal jika ada penyebabnya..kita tidak akan memulai jika tidak dimulai duluan..bahkan jaman kemerdekaan bung tomo jg mengkomando arek2 suroboyo dlm menghadapi sekutu.. ‘Jangan menembak jika tidak ditembak duluan’..
    jika anda ingin tahu seperti apa BONEK..datanglah ke kota surabaya..
    Rasakan bagaimana hijaunya kotaku..
    Rasakan bagaimana keramahan kotaku..
    Salam hangat untuk saudaraku di ujung timur negeri ini..
    Hiduplah INDONESIA RAYA..
    Salam 1 nyali.. WANI…

    *menjadi suporter itu biasa..tapi menjadi bonek itu suatu kebanggaan..

    1. Hi Mas Jefry, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk memberikan komentar. Terima kasih juga sudah membaca tulisan saya. Lewat tulisan ini, saya bilang bahwa saya respek sekali dengan keberadaan Bonek. Yang menurut saya tidak bagus adalah bukunya.

      Bonek layak diperlakukan dengan baik. Saya tidak khawatir dengan keadaan sebenarnya. Tapi kan, kita sama-sama tidak bisa menyangkal bahwa anggapan suporter sepakbola itu biang rusuh. Kita pasti sering menemukan diri bahwa menonton sepakbola itu tidak rusuh kok.

      Saya pernah berurusan dengan Bonek dan terlibat aktif dalam sebuah proses sepakbola yang melibatkan mereka. Saya paham bagaimana Bonek berjalan. Jangan khawatir.

      Hanya saja, buku ini jelek. 😦

  2. kritikan yang tajam sekali … tetapi beranikah sampeyan membuat buku yang mungkin atau paling tidak menurut penilaian sampean ini bagus …
    kalo cuman kritik anak SD pun bisa- tentunya dengan cara pandang dan penilian mereka …
    kan ndak layak juga kalo sampean disandingkan dengan anak SD …:D
    apalagi kalo saya lihat tulisan sampean ini -ibarat orang mengoreksi nyampe ujung rambutnya pun sampean “kritik”…
    haduh haduh haduh …sampean ini …

    1. Hai Mas Ipoenk, maaf baru balas. Sebenarnya, bukan masalah apakah saya bisa membuat buku sejenis atau tidak. Karena saya kan memberikan sudut pandang orang yang sudah membacanya. Boleh dong saya mengkritisinya? Wong saya mengeluarkan uang untuk membeli buku ini. Saya punya hak untuk mengatur persepsi saya atas apa yang sudah saya baca dan saya cerna.

      Buku ini seharusnya bisa ditulis dengan lebih baik. Karena memang topiknya luar biasa hebat. Kalau efek yang ditimbulkan setelah membaca buku ini seperti saya sekarang, sosok Persebaya Surabaya berubah kan? Kesannya cetek. Padahal tidak. Untung dalam kasus saya, ada banyak pengalaman lain yang membantu saya merekam sosok Persebaya Surabaya dalam porsi yang sangat baik.

      Saya kenal Persebaya Surabaya sejak saya kecil. Keluarga kakek saya berasal dari Jawa Timur dan dua paman saya adalah penggemar Persebaya Surabaya sejak tahun 70-80an ada di stadion dan mengikuti tim ini berkelana ke banyak tempat. Saya tahu dengan pasti bahwa Persebaya Surabaya layak ditulis dengan kemasan yang jauh lebih baik. 🙂

      Terima kasih sudah membaca tulisan saya ya.

  3. Ketika saya membaca buku ini memang saya jg mendapatkan kesan yg sama seperti yg dirasakan, buku ini terkesan sangat akademis sekali. Tapi mohon maaf jg saya rasa dlm hal penulisan / catatan suporter yg dibukukan, saya rasa sangat sedikit yg dikemas dalam kajian kultur akedemisi. Contoh terburuk adalah film andy bachtiar itu, konyol dan sangat berlebihan (bahkan di film itu jg digambarkan “intercourse” di wc stadion) sangat saya sayangkan klo buku spt ini dibandingkan dg karya film (yg maaf) sangat picisan spt itu

    Salam

  4. Bang Felix yang budiman,
    terlepas dari apa yang tertulis di buku BONEK dan tulisan review Anda mengenai bukunya, saya ucapkan banyak terima kasih karena telah mengangkat sebuah tulisan mengenai buku ini -yang secara tidak langsung menambah ke-eksis-an PERSEBAYA & BONEK.

    Jujur, sampai sekarang saya susah mendapatkan buku ini, dan bagaimanapun juga, review Anda tidak mengubah pendirian saya untuk menambah koleksi buku saya dengan yang satu ini, karena bagaimanapun, bagi saya -yang juga BONEK- segala hal dan publikasi positif tentang BONEK dan PERSEBAYA wajib didukung (termasuk membeli merchandise resmi mereka).

    Mungkin ada beberapa pembaca yang menyalahartikan tulisan Anda dengan berfikir bahwa Anda mendiskreditkan BONEK, padahal maksud Anda adalah mengkritisi isi dan cara penulisan buku ini. Mungkin bagi mereka, menghina buku ini berarti menghina BONEK dan PERSEBAYA, walaupun hal itu sangat tidak relevan sama sekali. Namun sekali lagi, bukankah segala macam kontroversi tentang BONEK-lah yang membuat BONEK itu besar (termasuk saat BONEK melakukan kegiatan positif, seperti amal atau bakti sosial, juga dianggap sebagai sebuah tindakan kontradiktif, mengingat imej yang dicapkan pada BONEK).

    Pada akhirnya, bukan hal positif atau negatif, pro dan kontra-nya saja yang menjadi fenomena terhadap BONEK, melainkan BONEK itu sendiri. Artinya, apapun pembahasan masyarakat maupun media, jika itu menyangkut BONEK, pasti akan laku di pasaran, setidaknya bisa membuat orang sekedar mengagumi, mencibir, atau tersenyum simpul.

    Di dunia persepakbolaan Indonesia, siapa sih yang tidak mengenal BONEK atau PERSEBAYA, dengan segala macam prestasi dan kontradiksinya? Dua nama ini tak bisa dipisahkan dan jujur saja, bagi saya, dua nama inilah yang membuat sepakbola Indonesia semakin menarik untuk dicermati.

    Sekali lagi, terima kasih telah mengangkat buku ini sebagai bahan tulisan Anda. Mungkin lain kali saya akan mampir lagi (atau buat ulasan juga) setelah membeli dan membaca buku ini.

    Salam hangat,
    Arisandy Joan Hardiputra, S.E. a.k.a CECEN CORE
    Sekretaris BONEK MEDAN.

    1. Halo! Maaf juga baru balas. Terima kasih atas waktunya menulis panjang lebar dan berkomentar tentang tulisan saya. Buat saya, Bonek itu selalu jadi fenomena bagus untuk sepakbola Indonesia kok. Tidak ada keraguan untuk itu. 🙂

  5. Semua kritik di ulasan buku ini sebenarnya adalah tanggung jawab editor atau penyunting. Tentu penulis juga punya tanggung jawab, tapi jelas dari sisi proses penerbitan, penyunting bukulah yang mesti membereskan apa-apa yang menggagalkan tema seksi macam bonek muncul jadi buku juara….

  6. Apapun yg ditulis penulis, apapun anggapan2 yg sampean tanggkap setelah membaca,
    tanggaplah dg arif, jangankan cerita buku ini, orang sholat saja bisa disalahkan/dikritisi kalau yg melihat dari sudut pandang yg tidak luas, ini karya anak negri harus dihargai meskipun tidak butuh dihargai, bukan karna saya bonek lebih suport kpd crt buku ini , benar / salah crtnya sy tetap menikmati ktn yg benar tdk perlu dibela dan yg salah tdk usa disudutkan , ayo kita rangkul agar adem moto , negoro wes rusak ojok melok2 rusak !!! Wani

    1. Hi Mas Bagus, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menulis komentar. Diskusi itu ujungnya sesuatu yang lebih baik untuk semua pihak kalau memang mau mendengar dan menerima keberadaan kritik. Hehe. Saya sih selow banget. Ujungnya diskusi kok. Tidak sepakat itu sah-sah saja.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: