Ini masih ada kaitannya dengan perjalanan ke Toulouse kemarin. Salah satu yang saya propose di dalam rencana kerja saya adalah kesempatan untuk melihat langsung proses take off dan landing pesawat. Lalu kemudian merekamnya
Kegiatan ini, mewajibkan saya untuk duduk di jump seat (kursi tambahan) yang ada di dalam cockpit. Tentu saja, ini pengalaman penting yang harus coba diwujudkan dengan segala upaya daya.
Beberapa belas bulan terakhir, saya punya kesempatan unik untuk berhubungan baik dengan industri penerbangan dan beberapa common sense di sini. Kesempatan ini membawa saya tertarik untuk mengetahui beberapa prosesnya dengan lebih mendalam.
Dunia ini isinya pergaulan akrab dengan teknologi super canggih. Jika selama ini saya hanya duduk anteng sebagai penumpang dengan berbagai macam kepentingan, mumpung ada peluang maka saya memberanikan diri untuk melangkah berkenalan lebih jauh.
Ide awalnya adalah untuk memberikan gambaran kepada orang banyak apa sih rasanya duduk di dalam cockpit pesawat ketika proses take off dan landing terjadi.
Tentu saja, kalau belum merasakannya, saya tidak bisa menggambarkannya. Di perjalanan pulang dari Toulouse kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk duduk di jump seat di sektor Kuala Lumpur – Singapura. Penerbangan yang pendek itu menjadi saksi pertama saya mendapatkan kesempatan ini.
Awalnya sudah barang tentu sedikit deg-degan. Apa rasanya melawan gravitasi di garda depan? Terbang di kursi penumpang saja kadang-kadang menguras energi walaupun sebenar-benarnya hanya duduk saja.
Proses menerbangankan yang dilakukan oleh dua orang penerbang di dalam cockpit juga lumayan menarik ternyata.
Untuk kamu yang membaca tulisan ini, sekedar gambaran, Airbus A320 yang dioperasikan oleh perusahaan tempat saya bekerja sudah menggunakan teknologi Fly by Wire. Untuk penjelasan lengkapnya bisa dibaca di sini: http://en.wikipedia.org/wiki/Fly-by-wire.
Pada intinya, sudah tidak ada lagi stir kemudi yang berfungsi untuk mengendalikan pesawat. Semuanya diganti dengan sebuah joystick yang lebih berguna ketika landing dan take off terjadi. Sepanjang penerbangan, perhitungan yang kemudian disalurkan via kemampuan mesin lebih mengambil peranan. Begitu juga dengan sistem auto pilot yang sebenarnya lebih sering bekerja ketimbang proses menerbangankan pesawat dengan kemudi manual.
Yang utama harus dilakukan oleh penerbang adalah mengecek keadaan sekitar dan mengantisipasi apa yang ada di sepanjang perjalanan untuk kemudian menerjemahkannya via komunikasi dengan sistem yang mengendalikan mesin. Itulah kenapa ada pameo luas bertajuk, “Flying is safer than driving.”
Kembali ke kisah saya duduk di cockpit. Karena udara cerah dan begitu terang benderang, saya beruntung bisa menyaksikan alam raya memainkan perannya dengan menjembatani pergerakan manusia dari satu kota ke kota lainnya. Langit biru menjadi latar belakang yang indah untuk menemani saya menjalani pengalaman take off dan landing pertama dari moncong pesawat. Yang juga ajaib adalah perasaan yang muncul ketika pesawat menembus awan pekat yang menghasilkan turbulensi. Di situlah saya berasa kecil dan tidak berarti menghadapi alam raya. Well, diingatkan lagi sih lebih tepatnya.
Sebelum terbang, saya juga dibrief oleh dua orang penerbang yang sedang bertugas dengan sejumlah protokol keselamatan yang harus dilakukan jika misalnya saja kondisi darurat terjadi. Senang rasanya mengetahui bahwa saya ada di perusahaan yang mengagungkan keselamatan di atas segala-galanya. Cara mereka memberikan pengarahan merupakan cerminan betapa proses ini dilakukan secara layak.
Setelah mengetahui seluruh protokol keselamatannya, siaplah saya melihat dari dekat apa yang terjadi. Ketika pesawat meluncur dengan cepat di runway dengan kecepatan minimal 300 km/ jam, saya mulai merasakan tekanan keras. Maklum, roda pesawat berada di bawah posisi saya duduk. Guncanganya agak kencang memang.
Sulit menjelaskan secara visual dan verbal apa yang saya alami sepanjang duduk di jump seat kemarin itu, tapi memang untuk orang yang punya ketertarikan terhadap dunia penerbangan dan kebetulan tidak berposisi sebagai penerbangan sehari-hari, yang model begini harus dirayakan. Lumayan keringat dinginlah kemarin itu.
Yang paling unik adalah pengecekan reguler yang dilakukan oleh salah satu penerbangan terhadap sejumlah kondisi pesawat. Bentuk manual check listnya seperti menu di restoran babi langganan saya dulu di Bandung; kertas A5 berlogo perusahaan yang dilaminating. Begitu juga dengan manual lapangan parkir di sejumlah airport tertentu yang memang sepertinya ditinggalkan di dalam pesawat supaya bisa mudah menjadi panduan untuk penerbangan.
Penerbang-penerbang itu rasanya bekerja dalam lingkungan yang menyenangkan selain tentunya selalu berada dalam tekanan fisik yang hadir dari alam raya. Menarik sih. Saya sih, dengan tidak berpikir dua kali, pasti akan mengiyakan kalau memang ada kesempatan seperti ini.
Setelah terbang 20 jam kemarin itu –total perjalanan semuanya dari Toulouse sampai tiba di Jakarta—, saya duduk di dalam bus yang sama dengan CEO perusahaan saya, Dharmadi. Ia bertanya pada saya, “Jadi, gimana rasanya duduk di jump seat? Ini pertama kan buat kamu, Felix?”
Sunggingan senyum menjawab semuanya, baru kemudian kalimat ini mengalir, “It was a life-changing experience, pak.” (pelukislangit)
QZ 7695 – 21 Mei 2012 & Rumah Kalibata – 22 Mei 2012
mantabbss om…gimana om caranya mau kerja di tempat om…saya ngebet banget neh ke Airlines tempat om kerja…
Duh kapan ya om dapet kesempatan seperti om.. Nice info bgt om,
Bayangin dr tulisan om, udah lumayan bikin kringet dingin..
Mauuu banget
🙂