Setahun berlalu. Saya ada lagi di angkasa, menjalani sebuah perjalanan penting dalam potongan hidup saya bersama AirAsia. Saat ini, saya menumpang sebuah perjalanan Ferry Flight pesawat terbaru AirAsia Indonesia dari Toulouse di Prancis ke Jakarta.
Penerbangan ini adalah perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan pesawat berkelas jarak pendek. Tentu saja, karena masalah jarak, harus berhenti di beberapa tempat. Rute yang diambil adalah Toulouse – Dubai – KL – Singapura – Jakarta. Total perjalanannya sekitar 16 jam, lebih lama beberapa jam ketimbang penerbangan dengan menggunakan pesawat komersil.
Lagi-lagi, ini sejarah seperti sudah tertulis di atas. Kenapa? Bulan Mei ini, tepatnya tanggal 13, saya genap dua bulan bergabung dengan AirAsia. Kalau tahun lalu saya merayakannya dengan perjalanan ke Seoul, maka kali ini alam raya membawa saya menjelajah angkasa dengan rute yang tidak main-main; saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Toulouse, rumah perusahaan Airbus yang menjadi supplier pesawat AirAsia.
Tidak semua pegawai perusahaan ini punya kesempatan seperti saya, untuk itu rasa syukur harus dipanjatkan setinggi-tingginya.
Pergi ke Toulouse ini erat kaitannya dengan pekerjaan. Saya berkesempatan untuk membuat sebuah coverage khas bin unik yang mungkin belum pernah dicoba oleh maskapai penerbangan di manapun. Perusahaan mendukung saya untuk melakukan itu dan tentu memberikan kesempatan langka untuk masuk ke dapur yang belum pernah saya sentuh sebelumnya.
Tantangannya besar, begitu besar bahkan. Di tengah-tengah kepergian saya ke Prancis, ada sebuah program promo besar yang berlangsung di tanah air. Sudah gitu, treatment terhadap promo itu pun harus ekstra hati-hati karena memang berlangsung di tengah akhir pekan super panjang yang membuat kebanyakan pelanggan cenderung malas untuk melakukan transaksi.
Ini belum pernah terjadi sebelumnya dan saya bersyukur sekali lagi bisa mengendalikan pekerjaan saya dengan cukup ideal sembari berkeliling untuk membuat cerita baru yang akan tayang bulan depan.
Ok, tapi mari bicara yang lain. Cerita tentang pekerjaan agak membosankan. Perjalanan ini membawa saya ke sebuah ranah baru, sebuah ikatan yang sulit dijelaskan dengan akal sehat bersama konspirasi alam bernama takdir dan kesempatan.
Saya tidak punya rencana untuk mengunjungi Eropa tahun ini. Setelah perjalanan sakral ke tanah Inggris tahun lalu, saya memang tidak punya rencana untuk kembali ke benua ini.
Karena urusan bisnis, sudah pasti ekspektasinya beda. Saya bukan turis yang akan punya kesempatan mengunjungi banyak tempat dan merekam banyak kejadian menarik di tengah-tengahnya. Yang akan kejadian adalah bagaimana saya menyelesaikan seluruh rencana yang sudah disusun di Jakarta dan mengubahnya menjadi hal nyata yang bisa dibagi ke orang banyak.
Ekspektasi yang rendah ini pada akhirnya membuat saya jadi sedikit lebih loose menjalani perjalanannya dan malah membiarkan berbagai macam pengalaman seru masuk tanpa diminta.
Ketertarikan saya terhadap dunia penerbangan menjadi semakin besar setelah masuk ke sarang raksasa dan mendapatkan layanan kelas satu di banyak lengan potongan waktunya.
Saya bersetubuh dengan Paris yang sangat dinamis, sarapan di Champ Ellyses yang terkenal itu, mengunjungi halaman Museum Louvre, melakukan tanda salib di Katedral Notre Dame dan terbang dengan Air France ke Toulouse dengan status VIP di boarding pass saya.
Lalu, kota Toulouse juga memberikan impresi yang paling manis ketika saya menemukan diri saya tersesat di belantara betonnya demi menjadi jalan ke Toulouse Stadium hanya untuk membeli jersey Toulouse FC yang identik untuk saya dan Dylan, adik saya.
Perjalanan itu dilakukan dengan sepeda, anyway. Termasuk romantika berjalan di sebelah kanan dengan segala macam kekikukannya dan sejumlah adegan salah pilih rute. Cerita mendetail ada di bagian bawah tulisan ini.
Pada dasarnya, ada banyak hal baru mampir ke dalam diri saya. Kalau ditanya apa yang paling berkesan, maka saya harus memilih perjalanan ke kompleks Airbus di kawasan bandara Toulouse Blagnac.
Sedari awal, saya sudah menempatkan diri dalam posisi super beruntung; bisa merasakan perjalanan ‘A Money Can’t Buy Tour’ dengan melihat beberapa kawasan tertutup di dalam kompleks itu. Yang paling penting adalah mengunjungi hanggar Airbus Beluga, pesawat internal Airbus. Tur ini tidak dijual untuk umum dan hanya klien pembeli pesawat Airbus saja yang dapat kesempatan untuk mengunjungi sejumlah FAL (Final Assembly Line/ Pusat Perakitan Final Pesawat).
Biasanya, yang wajib dikunjungi adalah FAL Airbus A320 dan Airbus A380. Tapi saya dan orang-orang lain di dalam rombongan kemarin itu beruntung, kami bisa mengunjungi hanggar Airbus Beluga sebagai bonus tambahan.
Airbus Beluga adalah pesawat hasil modifikasi yang konsepnya diambil dari Ikan Paus Beluga. Pesawat ini berfungsi untuk mengangkut bagian-bagian pesawat dan memindahkannya dari satu pabrik ke pabrik yang lain. Kebanyakan rutenya adalah Toulouse-Hamburg.
Airbus Beluga dibangun dengan menggunakan teknologi Airbus A300-600 yang sudah lumayan berumur. Jumlahnya hanya lima buah dan semuanya dinomori berurutan, dibuat masing-masing pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2001.
Saya bersama rombongan kantor berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke hanggar, melihat dari dekat proses unloading partikel pesawat dan masuk ke dalam kompartemen kargonya. Itu pengalaman yang luar biasa hebat. Alam raya memang hebat dan membiarkan saya melihat dari dekat salah satu karyanya.
Bersama dengan Baskoro Adiwiyono, salah satu rekan perjalanan kemarin itu, kami bahkan dengan sombongnya bisa membanggakan apa yang baru saja kami lihat itu sebagai pengalaman yang luar biasa dan berkategori spesial. “Wah, kita bisa bilang sama orang kantor kalau kita sudah pernah masuk ke dalam Beluga nih, Bas,” celoteh saya padanya. Tentu saja, bukan sombong dalam arti sebenarnya. Tapi lebih kepada berkelakar saja.
Beluga menampilkan wajah yang begitu indah. “Tapi, pesawat ini akan segera masuk kandang dan pension,” terang salah seorang pegawai Airbus yang menemani kami berkeliling.
Seperti sudah diutarakan di atas, pesawat ini sudah masuk kategori kuno dan usianya sudah lumayan tua. Wajar jika ia sudah akan pensiun.
Lalu, sudut-sudut Toulouse juga menghadirkan kenangan mendalam tentang sisi Eropa yang humanis. Ini kota Eropa kelima yang saya kunjungi dan ia merupakan kota paling laid back dari semuanya. Bahkan Liverpool yang santai bin keras pun lewat sisi laid backnya dari Toulouse.
Kotanya bisa dibilang kecil. Yang membuat kota ini hidup adalah industri penerbangan. Ada beberapa pabrikan pesawat yang menjadikannya rumah. Yang paling besar, tentu saja Airbus.
Airbus memperkerjakan ribuang orang yang kemudian menjadi Toulouse rumah mereka. Mengadu nasib adalah cerita klise yang bisa ditemukan di hidup orang-orang yang tinggal di kota ini. Berbagai macam disiplin ilmu juga mampir berkunjung di sini.
Kalau bicara kota, cara terbaik menyusurinya (masih) adalah dengan mengambil peta umum lalu berkeliling sendiri. Kebetulan, moda transportasi yang ada di hadapan saya kemarin itu adalah sepeda. Seperti Paris, Toulouse juga punya sistem sepeda umum yang bagus.
Yang diperlukan hanya sekedar menggesek kartu kredit dengan sejumlah garansi uang yang akan kembali kalau sepeda dikembalikan dalam bentuk yang baik-baik saja. Pemakaian di bawah tiga puluh menit tidak dikenakan biaya. Kalau lebih dari itu pun, biayanya cenderung bersahabat.
Jadi, yang banyak dilakukan orang adalah dengan mengambil sebuah sepeda lalu menjelang tiga puluh menit, meletakkannya kembali di stasiun terdekat untuk kemudian mengambil sepeda yang lain. Berkeliling dengan metode ini lumayan seru, mungkin karena kotanya juga tidak besar.
Rute paling jauh saya kemarin itu adalah menemukan Stade de Toulouse yang menjadi kandang klub Ligue 1, FC Toulouse. Kalau melihat peta city center, stadion ini ada di lingkaran luar kota. Agak jauh, tapi memang layak dikejar.
Stade de Toulouse menjadi salah satu tempat penyelenggaraan Piala Dunia 1998, waktu di mana Prancis berjaya dengan kuintet lapangan tengah yang mungkin jadi salah satu yang terbaik sepanjang masa; kapten Didier Deschamps, Patrick Vieira, Emmanuel Petit, Youri Djorkaeff dan tentu saja sang maestro Zinedine Zidane.
Misi saya selain melihat dari dekat bentuk stadionnya seperti apa, juga adalah untuk mengunjungi toko resmi FC Toulouse yang terdapat di salah satu sudutnya. Saya ingin mencari jersey klub ini. Kebetulan musim sudah berakhir dan jersey mereka sudah diobral.
Ternyata, Toulouse juga punya scene musik yang bagus. Karena kota ini juga merupakan kota pelajar, maka hidup berkesenian hidup dengan sumringah. Di salah satu malam bahkan, ada Charlotte Gainsbourg bermain. Sayang, ia bermain di luar kota dan tidak ada akses kendaraan umum di tengah malam yang membuat saya mengurungkan niat untuk menyaksikan konsernya.
Yang paling banter bisa saya lakukan adalah berkeliling ke sejumlah toko rekaman yang berserakan di sekitar city center. Konon, kualitas rekaman di Prancis, hampir sama dengan apa yang dimiliki Inggris. Ada banyak spot yang menjadi surga bagi penikmat musik seperti saya. Karena keterbatasan waktu, saya hanya menyempatkan waktu untuk mengunjungi lima buah toko rekaman. Tidak bisa lebih, padahal masih ada sejumlah toko lain yang direkomendasikan oleh orang-orang yang saya temui di kota-kota itu.
Rata-rata orang yang saya temui menyambut hangat kedatangan saya. Begitu juga keinginan mereka untuk berbicara dan bertukar informasi. Ini pertanda bahwa mereka ramah terhadap orang asing. Seorang penjaga toko bahkan tidak sungkan untuk memberikan rekomendasi toko lain yang harus dikunjungi yang juga berarti mempromosikan toko lain yang menjadi saingannya. Bisnis seperti menjadi fakta nomor dua yang harus dilakoni sementara yang utama adalah bagaimana berbagi rasa dengan orang-orang seperti saya yang datang berkunjung.
Beberapa toko mengingatkan saya akan Manchester yang semarak untuk urusan rekaman. Hanya saja mungkin kota ini tidak punya banyak artis lokal yang bisa membawa Toulouse ke pentas dunia sebagaimana halnya Ian Brown, Morrissey dan Noel Gallagher membawa Manchester ke posisi itu.
Rekaman yang saya bawa pulang pun tidak sebanyak Manchester, tapi beberapa rekaman itu cukup personal dan cukup berarti untuk saya bawa pulang ke Jakarta. Dua yang paling penting adalah edisi cetak ulang OST. Into the Wild yang menampilkan Eddie Vedder lengkap dengan catatan Sean Penn di liner notesnya dan album pertama Brian Adams yang mencantumkan single Summer of ’69 favorit saya.
Cerita lengkapnya bisa dicek akhir minggu ini di The Jakarta Post. Saya akan menulis petualangan berburu rekaman di Toulouse. Akan diupdate di sini kalau sudah terbit.
Audrey Progastama, juga rekan kerja di AirAsia bilang di salah satu bagian perjalanan pulang nan panjang kami ke tanah Jakarta, “It’s probably your first and surely not the last one, pak.”
Mungkin. Toulouse menyenangkan selalu berharap bisa kembali ke sana. Kalau mau lihat apa yang saya hasilkan, silakan lihat sepanjang bulan Juni di halaman social media kantor saya. (pelukislangit)
Ditulis maraton dalam beberapa sesi:
1. AWQ5175, Toulouse-Dubai-KL-Singapura, 18 Mei 2012
2. Rumah Kalibata, 19 Mei 2012
3. QZ7690, Jakarta-KL, 21 Mei 2012
4. QZ7695, KL-Jakarta, 21 Mei 2012
I’m a proud friend
Slmat Siang,maaf ad yg tau info LowKer as Flight Attendant ga? Prefer Air Asia..kasi tau ya kl ada…makasiii:*